Maunya Apasih?

1042 Words
“Aaaaa—astaghfirullahaladzim! Kenapa Gus Zeehan masuk ke kamarku?!” Salwa menjerit sembari menutupi wajahnya dengan selimut saat mendapati suaminya bertelanjang d**a di dalam kamar. Keringat masih mengalir di kening dan d**a bidang pria itu—tanda kalau Gus Zeehan baru saja selesai berolahraga. “Diam, Salwa! Kalau kamu terus berteriak, orang-orang bisa datang berbondong-bondong. Mereka pasti mengira aku sudah melakukan hal yang tidak-tidak padamu!” “Gus Zeehan, tolong pakai baju dulu. Aku mau ke kamar mandi.” “Memangnya apa hubungannya antara aku pakai baju dan kamu ke kamar mandi?” “Ih! Gus Zeehan, jangan sok nggak ngerti. Cepat pakai bajunya atau keluar dari kamar ini.” “Aku tidak akan melakukan keduanya. Ini kamarku, dan aku bebas melakukan apa saja. Lagi pula, semalam kita juga tidur seranjang.” Salwa membelalakkan mata. Saking nyenyaknya tidur, dia sama sekali tidak sadar kalau suaminya kembali masuk kamar dan tidur di sebelahnya. Padahal dalam kontrak pernikahan sudah jelas tertulis, mereka tidak boleh tidur sekamar—apalagi seranjang. Kalau pun terpaksa, salah satu dari mereka harus tidur di sofa. Lalu semalam, apa yang dilakukan Gus Zeehan? “Kita tidak boleh tidur bareng, apalagi satu ranjang. Kenapa Gus Zeehan tidak membangunkanku atau tidur di sofa?” “Aku sudah coba membangunkanmu. Tapi kamu tidur seperti kerbau. Sampai ngorok dan sama sekali nggak bangun.” “Aku ngorok?! Nggak mungkin! Jangan memfitnahku, Gus Zeehan!” “Terserah kamu mau percaya atau nggak. Yang jelas, suara ngorokmu sangat mengganggu. Makanya sejak jam tiga pagi aku memutuskan olahraga.” Salwa memukul-mukul bantal, menyesali kelalaiannya. Bisa-bisanya dia ngorok saat tidur dengan suami sendiri. Tapi tetap saja, Gus Zeehan juga salah. Dia yang bikin kontrak, dia juga yang langgar. Terpaksa, Salwa turun dari ranjang dengan mata tertutup. Gus Zeehan benar-benar tak mau pakai baju atau keluar dari kamar. Dia malah duduk santai di sofa yang menghadap langsung ke pintu balkon. “Dasar aneh. Tiba-tiba pulang tanpa kabar, terus marah-marah nggak jelas, sekarang malah langgar aturan sendiri,” gerutu Salwa sembari mencuci muka. Karena sedang datang bulan, Salwa memang tidak perlu bangun untuk shalat Subuh. Rencananya ingin bersantai sebentar sebelum membantu di dapur. Tapi semua itu kandas karena suaminya berkeliaran setengah telanjang, hanya mengenakan celana dalam super ketat. “Mau ke mana, Salwa?” tanya Gus Zeehan tiba-tiba. “Mau bantu-bantu di dapur. Sarapan Gus Zeehan nanti Bibi yang siapkan.” “Yang jadi istriku itu kamu, bukan Bibi. Jadi siapa yang harus buatkan sarapan, hm?” Tubuh Salwa seketika membeku saat dipeluk dari belakang. Nafas hangat Gus Zeehan menerpa tengkuknya. Tangan besarnya melingkar di pinggang Salwa. Untuk pertama kalinya, Salwa dipeluk oleh pria lain selain Abi Hasbi. Kedua matanya refleks terpejam, mencoba menetralkan degup jantung yang kian tak terkendali. “Gus, tolong lepaskan aku,” pintanya pelan. “Jawab dulu pertanyaanku.” “Aku—aku yang akan buatkan sarapan. Tapi tolong, lepaskan dulu.” Bukannya melepas, Gus Zeehan justru mempererat pelukannya. Bibirnya mengecup puncak kepala Salwa dengan lembut. 'Gus Zeehan ini maunya apa sih?' gerutu Salwa dalam hati. Semalam marah-marah, pagi ini malah mesra-mesraan. Semua aturan kontrak dilanggarnya sendiri. “Gus, Eyang Uti pasti nyariin aku. Aku janji mau bantu beliau siapkan kamar buat keluarga jauh yang mau menginap.” “Tenang, beliau nggak akan ganggu pengantin baru. Salwa aku lapar.” Lapar kok mengendus tengkuk istri? Kelakuannya aneh benar. Wajar kalau Salwa sampai takut. “Aku ngantuk, tapi nggak bisa tidur,” keluhnya seperti anak kecil. “Ya sudah. Gus rebahan saja dulu, nanti aku buatin bubur ayam dan minuman hangat. Siapa tahu habis sarapan bisa tidur nyenyak.” “Harus ikut. Aku takut kamu kabur, terus suruh Bibi yang masak.” Akhirnya, Salwa pun turun ke lantai bawah ditemani sang suami. Lengan kekar Gus Zeehan melingkar posesif di pinggangnya seperti tempelan jin mencum. Penampilannya masih sama: tak mau pakai baju, dengan alasan gerah dan belum mandi. Untungnya, Bibi sedang membantu di dapur Bu Nyai, jadi tak ada yang melihat penampilan eksentrik suaminya itu. *** “Suamimu nggak ikut ke sini, Nak?” tanya Eyang Uti. “Masih tidur, Eyang. Eh, baru tidur lebih tepatnya.” “Tumben pagi-pagi tidur. Lagi nggak enak badan?” Salwa menggeleng. “Alhamdulillah sehat, Eyang. Cuma katanya tadi malam nggak bisa tidur.” “Kebanyakan mikir kerjaan kali. Nanti malam kalau masih susah tidur, tolong dibantu ya, Nak.” Bantu? Salwa bingung sendiri. Gimana caranya bantu orang insomnia? Lagi pula, dia tak mau lagi tidur sekamar dengan pria aneh itu. Sungguh, Gus Zeehan benar-benar mengerikan saat berada di rumah. Berkeliaran tanpa busana dan sok percaya diri. Setelah menyiapkan kamar untuk para tamu, Salwa menuju dapur untuk membantu Mbak Yanti menyiapkan makanan bagi para tetangga. Karena asyik ngobrol sambil masak dengan para Mbak santri, tak terasa waktu makan siang pun tiba. Salwa buru-buru pamit pulang. “Denger-denger Gus Zeehan pulang? Beneran, Wa?” tanya Mbak Yanti. “Iya, Mbak. Tadi malam datangnya.” “Tumben kamu nggak cerita.” “Aku juga nggak tahu kalau beliau pulang, Mbak.” “Kasih kabar aja enggak. Keterlaluan.” Salwa mengajak Mbak Yanti melipir ke belakang dapur. Dia ingin mencurahkan isi hatinya soal keanehan sang suami. “Pas malam pertama aja dia tidur di sofa. Tapi semalam malah seranjang. Aneh banget, Wa,” komentar Mbak Yanti sambil menggeleng. “Sampai rumah langsung marah-marah. Katanya aku nggak jemput di bandara, terus nggak angkat telepon, nggak bales pesan. Terus insomnia kumat, aku yang disalahin.” “Kayak anak kecil lagi tantrum. Ya sudah, kamu sabar aja. Mending sekarang balik deh, sebelum Gus Zeehan marah lagi. Bawa ini aja, sayur dan lauknya.” “Mana mau dia, Mbak. Habis sarapan tadi malah minta sup ayam kampung buat makan siang. Aku udah masak sih sebelum ke sini, jadi tinggal panasin.” “Kangen masakan istri, kali.” “Lah, makan masakanku aja belum pernah. Ada-ada aja kamu, Mbak.” “Oh iya kah?” “Hm, seingatku sih belum.” Salwa bergegas pulang setelah mencurahkan isi hati. Dia menyusuri taman bunga yang tampak cantik. Entah kenapa, dia merasa Gus Zeehan sengaja membuat jalan setapak itu hanya untuknya. Tak banyak Mbak santri yang bisa lewat sana. Jalan ke pondok putri sudah punya jalurnya sendiri. “Salwa, dari mana kamu?! Suamimu kelaparan dan kamu pergi nggak tahu waktu—”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD