Bab 1. Pesta Lajang
"Hai cantik, ayo ikut denganku, kita akan bersenang-senang," goda pria botak, sambil menarik tangan seorang wanita yang saat ini dalam kondisi pengaruh minuman beralkohol.
Wanita bernama Gracie itu merasa ketakutan dan kaget. "Lepaskan! Lepaskan aku!" Ia berteriak dan berusaha memberontak, walaupun rasanya sudah begitu lemah dan tak berdaya.
Namun pria botak itu terus saja menarik, bahkan dengan berani memeluk tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, Gracie menginjak kaki si pria botak, membuatnya merasa kesakitan dan melepaskan pelukannya.
"Wanita b******k! Mau kemana kamu?" teriak pria botak.
Akan tetapi, Gracie tak peduli dan terus berlari dengan tubuh sempoyongan. Namun ia bingung harus lari ke mana, sementara tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk terus berlari. Saat merasa sudah tidak ada pilihan lain, Gracie memutuskan untuk masuk ke salah satu ruangan VIP karaoke. Dan ternyata, di ruangan itu ada seorang pria yang sepertinya mengalami hal yang sama dengannya – pria itu juga sedang mabuk dan mencoba mengendalikan diri.
"Siapa kamu? Apa jangan-jangan, kamu adalah wanita suruhan temanku?" kata pria tersebut dengan nada terkejut, samar-samar ia melihat wajah seorang wanita di hadapannya.
Gracie tak menjawab, ia mendekati pria tersebut dengan hati berdebar. Sebagai seorang gadis yang selalu menjaga kehormatannya, entah mengapa kali ini ia nekat melakukannya. Dalam kegelisahan, ia duduk di pangkuan pria itu, berusaha untuk tersenyum seolah tak ada yang terjadi.
"Hsstt ... jangan berisik. Tolong bantu aku," gumam Gracie sembari menempelkan jari di bibir pria itu, memohon bantuan dengan wajah memelas.
Namun, pria tersebut seakan tak tahan dengan kedekatan Gracie yang mendebarkan. Dalam sekejap, ia membalikkan tubuh wanita itu dan membaringkannya di atas sofa. Tatapan mata mereka saling beradu, membuat jantung keduanya semakin berdebar kencang.
"Kamu sangat tampan," gumam Gracie sambil mencoba mengendalikan perasaannya yang kini mulai berkecamuk, antara keinginan dan rasa takut.
Pria itu pun tampak kehilangan kendali diri. Dalam hentakan emosi, ia meraih bibir Gracie dan melumatnya dengan liar, merasakan kehangatan yang sama, saling mencari dan membutuhkan. Dalam keadaan tak sadar, Gracie membalas perbuatan itu dengan penuh gairah, tak peduli siapa pria itu dan apa statusnya dalam hidupnya.
Keduanya terus terjebak dalam cumbuan mesra yang tak henti, Gracie berusaha untuk lebih dekat, meraba rasa nyaman yang tak sempat ditemuinya selama ini. Tanpa sadar, ia mulai membuka kancing kemeja pria itu dan menciumi leher serta dadanya. Meninggalkan tanda kepemilikannya pada pria itu sebagai bukti kesalahan yang telah diperbuat.
Setelah itu, pria tersebut bergantian mencium leher Gracie dan tangan nakalnya mulai menjelajahi bukit indah di balik dress yang ia kenakan. Gracie merasakan denyutan di hatinya, campuran antara nafsu dan harapan. Suara desahan mulai keluar tanpa sadar, matanya merem melek mencoba merasakan sensasi yang dirasa oleh tubuhnya.
Semakin lama keduanya semakin menggila, mereka melakukan hubungan yang tak seharusnya dilakukan di ruangan tersebut, sehingga terdengar suara desahan yang saling bersahutan. Untungnya ruangan tersebut kedap suara dan sudah dikunci oleh Gracie karena tadi ia berniat untuk bersembunyi. Setelah puas mengeksplorasi satu sama lain, mereka pun terlelap dalam posisi berpelukan.
***
Pukul 02.00 dini hari, Gracie terbangun, merasa sangat terkejut melihat kondisinya saat ini. Instingnya ingin berteriak, namun ia langsung menutup mulutnya, takut menimbulkan kegaduhan. Rasa syok menyeruak, tak percaya bagaimana hal ini bisa terjadi padanya. Sudah dekat dengan pernikahan yang diatur oleh orangtuanya dan pria yang diam-diam ia cintai sejak kecil, namun di malam pengantin, ia malah menyerahkan kesuciannya untuk pria asing.
Beberapa jam yang lalu …
"Ini dia yang kita tunggu-tunggu, Graciella Anatasya Maddison. Akhirnya kamu datang juga! Kami kira kamu nggak akan datang."
Kedatangan wanita cantik berambut panjang, memiliki mata bulat dan hanya tinggal sehari lagi, wanita yang akrab disapa Gracie itu akan menjadi istri orang, disambut dengan antusias oleh sahabat dan teman-temannya.
"Duh … girls, kenapa sih kalian harus ajak aku pesta di malam pengantin seperti ini? Kalian tahu 'kan, besok aku akan menikah," ujar Gracie dengan wajah cemas.
"Ya ampun, Gracie! Apa salahnya sih, kita mengadakan pesta lajang? Justru karena kamu besok sudah jadi istri orang, ya sekarang kita harus senang-senang lah," sahut Luna, sahabat Gracie.
"Aku baru tahu, mau nikah saja harus ada pesta lajang seperti ini," ucap Gracie sambil berpikir.
Namun sebelum Gracie bisa mengambil keputusan, temannya, Sheren, angkat bicara, "Sudahlah, Grac, kamu juga sudah ada di sini. Lagi pula, kita hanya karaoke dan minum-minum sedikit saja kok. Ayolah! Nanti kalau kamu sudah punya suami, belum tentu kamu bisa seperti ini lagi."
Mendengar penjelasan Sheren, Gracie merenung sejenak. Memang betul, dia tak bisa tahu apa yang akan terjadi setelah menikah nanti. Mungkin inilah kesempatan terakhirnya untuk bersenang-senang bersama teman-teman dekatnya. Namun di sisi lain, perasaan cemas dan khawatir besok akan menikah, menjadi beban yang cukup berat di hatinya. Dia berharap pesta ini tidak akan mengakibatkan sesuatu yang tak diinginkan.
"Grac, kamu memikirkan apa? Kapan lagi sih kita bisa seperti ini? Ayolah duduk, kita nikmati pesta malam ini, pesta lajang sebelum kamu sah menjadi istri orang dan diatur-atur sama seorang laki-laki," ucap teman lainnya, Ruby, penuh semangat sambil menarik tangan Gracie.
"Hmm, oke. Demi kalian aku akan menikmati pesta lajang malam ini," jawab Gracie, akhirnya pasrah. "Kalian benar juga, besok aku sudah sah menjadi istri Alfa, aku pasti akan sulit menghabiskan waktu bersama kalian." Gracie merasa kehilangan.
"Nah, itu kamu tahu. Ayo, kita nikmati pesta lajang malam ini! Kita happy-happy! Pokoknya kita habiskan waktu bersama sebelum besoknya kamu bersanding dan kita bertiga jadi bridesmaid kamu," ujar Luna, menambah semangat calon pengantin.
"Iya, iya, ayo," sahut Gracie, mulai terbawa suasana.
"Kebetulan kami sudah menyiapkan minuman untuk kamu." Luna menyerahkan segelas minuman kepada sahabatnya itu.
"Cheers!" Seru keempat wanita itu sambil beradu gelas.
Lalu, tanpa berpikir panjang atau merasa curiga sedikit pun, Gracie langsung saja meneguk minumannya sampai habis.
Mereka melanjutkan berpesta dengan bernyanyi, berjoget dan tertawa riang bersama, seolah semua beban hidup telah lenyap. Akan tetapi, tiba-tiba saja Gracie merasakan sesuatu yang tak biasa pada dirinya, kepalanya terasa pusing yang membuatnya terduduk lemas di sofa.
"Grac, kamu baik-baik saja?" tanya Luna dengan wajah khawatir.
Gracie merasa kepalanya terasa berputar, rasanya tak bisa berpikir jernih. Ia ingin segera menyudahi kegelisahan ini, namun tak ingin membuat sahabatnya merasa cemas. "Aku baik-baik saja. Aku mau ke toilet dulu ya," ucapnya lirih sambil mencoba tersenyum.
Luna menawarkan diri untuk mengantarnya, namun Gracie menolak, "Nggak usah, kamu lanjut saja nikmati pestanya sama teman yang lain. Biar aku pergi sendiri." Dia tak ingin mengganggu kesenangan teman-temannya.
"Ya sudah kalau begitu, tapi kamu hati-hati ya. Tahu 'kan toiletnya di mana?" pesan Luna dengan rasa khawatir.
"Gampang. Lagi pula, aku 'kan bisa tanya sama pelayannya," jawab Gracie, mencoba merasa lebih baik dan segera saja keluar dari ruangan tersebut untuk mencari toilet.
Akan tetapi, semakin lama, keadaannya semakin memburuk. Kepalanya terasa semakin berdenyut dan pandangannya berkunang-kunang. Gracie merasakan sesuatu di dalam tubuhnya yang bergejolak.
"Kenapa rasanya panas sekali? Ada apa ini?" gumam Gracie, bingung dengan apa yang sedang terjadi padanya saat ini.
Tak ada tanda-tanda yang jelas, tetapi tubuhnya terasa begitu panas, seolah menyala. Tiba-tiba, seorang pria botak dan tua menghalangi jalannya, menarik perhatian Gracie.
Bersambung …