Gracie merasa dunianya seakan mau runtuh, ia mencoba merenung, menyadari betapa bodohnya karena membiarkan hal ini terjadi. Dalam hatinya, ia mencoba mengenali laki-laki itu dan mengapa mereka bisa sampai begitu jauh. Wajahnya tampak begitu sedih, campur aduk perasaan dan pikiran yang saling bertentangan.
"Kenapa aku bisa melakukannya, aku benar-benar bodoh. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" kata Gracie di dalam hatinya, mencari jawaban atas situasi yang tak terduga ini.
Samar-samar Gracie mengingat, ia lah yang sudah masuk ke dalam ruangan tersebut dan menggoda sang pria, hingga mereka menghabiskan waktu semalam bersama. Tetapi, tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengembalikan apa yang telah terjadi.
Masa depan dan harapan pernikahannya dengan pria yang sebenarnya dicintainya, kini semuanya hancur di hadapannya. Tidak ada jawaban yang pasti, tapi satu hal yang ia tahu, ia harus menghadapi segala konsekuensi dari perbuatan bodohnya itu. Semakin ia mengingat malam itu, semakin menyesal dengan apa yang dilakukannya. Kini ia hanya bisa berharap mendapat kebijaksanaan dalam menghadapi situasi pahit ini.
Merasakan jantung berdebar kencang, Gracie terburu-buru bangkit, berusaha menenangkan rasa gugup yang melanda hatinya. Pikirannya melayang pada pria yang baru saja mengambil keperawanannya, mencurigai bahwa pria itu adalah gigolo yang bertugas memuaskan para tamu wanita di pesta. Tanpa berpikir panjang, ia segera meninggalkan segepok uang di atas nakas, sebagai imbalan atas apa yang terjadi tadi. Lalu, dengan langkah tergopoh-gopoh, ia melangkah keluar dari ruangan tersebut.
"Kenapa malam ini harus terjadi hal seperti ini? Apa aku melupakan segalanya dan melanjutkan hidup seperti biasa?" batin Gracie sembari berusaha mengendalikan perasaan gugup yang masih menyelimutinya.
Tanpa disadari, saat Gracie keluar dari ruangan itu, ada seseorang yang bersembunyi di balik pintu ruangan lain, mengawasinya dengan senyum sinis yang mengandung kemenangan.
Gracie yang tak menyadari adanya mata-mata di sekitarnya, melanjutkan langkah kaki menuju ke sebuah ruangan, tempat di mana ia berpesta bersama teman-temannya sebelumnya. Namun, ketika sampai di sana, ia terkejut melihat ruangan tersebut sudah kosong. Pikirannya mencoba mencari logika dalam situasi ini, berpikir bahwa mungkin mereka sudah mencarinya dan tidak menemukan Gracie sehingga memutuskan untuk pulang mengingat waktu sudah larut malam.
Merasa hampa, Gracie memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut, wajahnya tampak muram saat memikirkan pernikahannya yang hanya tinggal hitungan jam lagi. Pernikahan yang semestinya menjadi momen terbahagia, kini terasa begitu berat di dadanya. Gracie mencoba menenangkan pikirannya yang kacau, menghadapi ujian yang sedang mengepung hidupnya.
***
Pernikahan berlangsung lancar dan meriah, dihadiri oleh kerabat, sahabat dan rekan bisnis kedua orang tua Alfa Bratajaya, teman kecil Gracie yang kini telah resmi menjadi suaminya. Di sisi Gracie, sang kakek yang menemani, menggantikan kedua orang tua yang telah tiada. Semua ini bermula dari perjodohan yang telah direncanakan sejak kecil oleh orang tua mereka berdua.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sepanjang pernikahan, bahkan saat resepsi berlangsung, Gracie merasa gelisah karena peristiwa semalam yang tak bisa dihindari. Meskipun di bibir ia terpaksa tersenyum, menyambut tamu undangan yang hadir.
Andini, ibu Alfa, menghampirinya dengan penuh kehangatan. "Kamu kenapa, Sayang? Gugup ya, sekarang sudah menjadi istri?" bisiknya, mencoba mengurangi kecemasan Gracie.
"Iya, Ma," jawab Gracie singkat, tak ingin banyak bicara.
"Oh, itu biasa, nanti kamu juga akan terbiasa," ujar Andini dengan lembut, mencoba menenangkan Gracie. "Yang penting sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya Alfa. Mama senang sekali dan Mama yakin, kedua orang tua kamu di surga juga pasti akan bahagia menyaksikan pernikahan kalian hari ini."
Gracie menghela napas, mencoba menyerahkan segalanya kepada takdir. Namun, perasaan cemas, gelisah masih terus menghantuinya.
"Iya, Ma, aku juga bersyukur sudah menikah dengan Kak Alfa," jawab Gracie sambil tersenyum hangat, berusaha menutupi rasa gelisah di hatinya.
Di dalam hatinya, Gracie merasa bersyukur telah menikahi pria idamannya dan berharap hidupnya akan berubah menjadi lebih baik. Gracie juga berniat akan jujur kepada Alfa dengan apa yang sudah terjadi padanya, berharap suaminya itu bisa menerima apa adanya.
"Cucu Kakek satu-satunya, akhirnya sekarang kamu sudah menikah dengan Alfa. Kakek lega karena sudah bisa melanjutkan keinginan kedua orang tuamu. Dan ingat, sekarang usiamu sudah 24 tahun. Satu tahun lagi, saat usiamu sudah genap 25 tahun, maka kamu akan mewarisi semua harta warisan Kakek," ucap Lucas Maddison, kakek Gracie yang menghampiri cucunya itu.
Gracie mencoba untuk fokus pada pesan sang kakek, tetapi ia tahu bahwa itu bukan prioritas utamanya saat ini. "Iya, Kek. Yang penting, aku sudah bisa mengikuti keinginan mama dan papa, dan menikah dengan pria yang aku cintai," jawabnya dengan tulus. Ia ingin meyakinkan Lucas bahwa cinta, bukan harta, adalah alasan utama dia menikah dengan Alfa.
"Ya, syukurlah kalau seperti itu," ucap Lucas. Alfa, mulai hari ini, Kakek percayakan Gracie padamu. Tolong jaga dan cintai cucu Kakek sepenuh hati." Dia beralih pada cucu menantunya.
"Iya, Kek, tenang saja. Aku pasti akan menjaga Gracie dengan sepenuh hati," jawab Alfa berjanji.
***
Ketika acara resepsi pernikahan selesai, Gracie dan Alfa pulang ke kediaman Maddison, langsung menuju ke kamar pengantin yang sudah dipersiapkan. Di saat itu, Gracie merasa ini adalah hal yang tepat untuk jujur, mengingat sebelum menikah ia sudah sangat ingin berbicara kepada Alfa, namun pria itu seolah tak ingin mendengar ucapannya sehingga pernikahan pun telah terjadi.
"Kak, ada yang mau aku bicarakan?" ucap Gracie gugup.
"Kebetulan, aku juga ingin berbicara," ucap Alfa.
"Ya sudah, Kakak saja yang duluan," sahut Gracie.
Alfa menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Gracie, kita memang berteman sejak kecil dan sangat akrab, tapi aku sama sekali tidak pernah mencintaimu. Pernikahan ini terjadi semata-mata hanya karena penjodohan orang tua kita."
Ucapan Alfa membuat Gracie merasa sangat terkejut. Hatinya berdegup kencang dan air matanya mulai menggenang. "Maksud kamu, jadi kamu menikah denganku hanya karena terpaksa?" tanya Gracie dengan suara lirih.
Alfa mengangguk. "Ya, tentu saja. Apa kurang jelas? Aku tidak pernah mencintaimu, jadi mana mungkin aku mau menikah dengan wanita yang tidak aku cintai kalau bukan karena terpaksa."
Gracie merasa seperti ditampar keras. "Jadi, kamu sama sekali tidak pernah mencintaiku?" tanyanya seakan tak percaya.
Alfa menggeleng. "Tidak!" Kemudian, Alfa menyerahkan sebuah berkas kepada istrinya. "Kamu baca ini dan cepat kamu tanda tangani."
"Ini apa, Kak?" Tanya Gracie, merasa bingung.
"Kamu lihat saja," jawab Alfa datar.
Dengan perasaan tidak karuan, Gracie pun membuka berkas tersebut. Ia sangat terkejut melihat apa yang tertulis di atas kertas, membuatnya benar-benar tak habis pikir.
Bersambung …