Chapter 5

1520 Words
Selepas momen intim itu, Langit tak serta merta bersikap hangat. Terkadang ia masih dingin dan jarang bicara. Hanya saja ia tak lagi ketus. Ia juga lebih menghargai keberadaan Lintang dengan berpamitan setiap kali pergi dan mempersilakan Lintang untuk menjabat tangannya dan menciumnya setiap kali melepasnya berangkat kerja. Lintang menyadari hatinya mulai hangat. Sepanjang hari ia selalu memikirkan Langit dan mendoakannya di manapun suaminya berada. Cinta perlahan tumbuh tanpa mampu ia cegah. Sebenarnya ia takut untuk jatuh cinta. Ia takut berharap banyak sementara Langit tak sanggup memenuhinya. Lintang juga tak tahu entah seperti apa perasaan Langit terhadapnya. Namun ia tak bisa membohongi perasaannya. Ia merasa bahagia jika ada Langit bersamanya. Sejak Langit menyentuhnya, Lintang tak bisa lupa akan sensasi asing yang meski membuatnya meringis menahan sakit tapi juga begitu nikmat di satu sisi. Langit tak lagi menyentuhnya dan ini membuat Lintang bertanya-tanya, apakah Langit tak lagi berminat padanya? Apakah ia telah mengecewakan Langit? Lintang merindukan pelukan hangat Langit. Ia rindukan ciuman panas Langit yang hingga kini masih terasa jejaknya. Ia menyukai aroma tubuh Langit yang maskulin dan menenangkan. Ia menyukai hembusan napas Langit yang beraroma mint. Ia suka suara Langit ketika berbicara lirih di telinganya. Segala tentang Langit menjadi sesuatu yang mendominasi pikirannya. Ia selalu ingin tahu tentang apa yang disukai dan tidak disukai Langit. Dunianya seolah terfokus pada Langit. Ini pertama kali bagi Lintang merasakan cinta yang luar biasa. Malam disapu gerimis yang merintik pelan. Langit menutup laptopnya dan bersiap untuk tidur. Ia melirik Lintang yang duduk selonjoran di atas ranjang dengan satu buku dalam genggaman. Wanita itu terlihat begitu serius saat membaca. Tentu, Langit tak akan bisa lupa akan momen panasnya bersama Lintang. Ia pun ingin kembali mengulang tapi ia takut apa yang ia lakukan akan kembali menyakiti Lintang. Ia berikan jeda untuk Lintang agar tubuhnya lebih siap. Lintang meletakkan bukunya di nakas. Ia melirik Langit yang melangkah mendekat ke ranjang. Terkadang ia gugup menatapnya. Ada debaran yang bertalu terlebih saat wajah tampan itu terpaku padanya. Lintang menunduk. Semburat merah itu menyapu wajahnya. Ditatap sedemikian intens oleh sang suami membuatnya grogi. Entah sampai kapan perasaan asing dan sungkan itu terus menyergap. Rasanya ia belum bisa lepas jika berhadapan dengan Langit seperti ada tembok besar yang menghalang. Langit duduk di sebelah Lintang. Ekor matanya melirik sang istri yang duduk tenang tanpa menolehnya. Langit bingung harus memulai dari mana. Rasanya ia menginginkan Lintang malam ini. Aroma tubuh Lintang seakan menjadi candu yang membuatnya ingin kembali menyentuh dan mencium sekujur tubuhnya. Ikrar untuk tidak menyentuh Lintang menguar begitu saja. Kini ia justru merasa ketagihan dengan keintiman bersama sang istri. Lintang merebahkan badannya dan memiringkan badan, memunggungi Langit yang masih terdiam. Rasa-rasanya Langit tak bisa menahan lagi. Ia sudah sah menikah dengan Lintang dan ia berhak untuk meminta jatah dari istrinya. Rasanya begitu sulit menjalani pernikahan tanpa seks. Langit menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Lintang. Ia menyentuh lengan Lintang. Untuk sesaat Lintang membeku. Wanita itu semakin gugup saat jari-jari Langit menurun ke bawah dan menyingkap rok gaunnya. Lintang sedikit terperanjat, kala dengan berani Langit mengusap pahanya. Lintang membalikkan badan. Matanya beradu dengan Langit. Keduanya saling menatap. Tanpa kata, seakan mata yang berbicara. Langit meneliti setiap detail wajah Lintang. Ia tahu, ia belum sepenuhnya memberikan hatinya untuk Lintang. Namun ia bukan laki-laki yang tak tahu terima kasih. Ia menghargai bagaimana Lintang menjaga dirinya dan hanya menyerahkan dirinya seutuhnya padanya. Sesuatu yang mungkin jarang ia temukan pada perempuan lain di zaman sekarang. Lintang kembali gugup. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tersentak saat bibir Langit sudah mendarat di bibirnya dan perlahan memagutnya dengan lebih dalam. Lintang semakin berdebar. Namun ia merasa lebih siap untuk membalas ciuman Langit. Hasrat pria itu semakin menanjak seiring dengan napas Lintang yang memburu. Ia bisa mendengar degup jantung sang istri yang berpacu lebih cepat. Gairahnya semakin melesak kala satu desahan lolos dari bibir Lintang. Langit tak menyangka, istrinya yang polos bisa menjadi seliar ini kala mereka bergumul di ranjang. Hasratnya terpuaskan dan rasanya ia tak akan pernah bosan untuk mengecap kenikmatan dari tubuh istrinya. Permainan panas itu terus membara hingga keduanya mencapai pelepasan. Lintang pikir, setelah itu Langit akan berhenti. Namun nyatanya, aktivitas panas itu kembali berulang. Lintang bahagia karena merasa diinginkan. Ia tahu mungkin Langit belum mencintainya. Namun ia harap, berawal dari momen panas mereka di ranjang, cinta akan tumbuh di hati Langit. ****** Lintang menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya. Pagi ini ia jauh lebih bahagia. Langit mendekat ke arahnya dengan hanya bertelanjang d**a. Ia bersiap berganti pakaian. Lintang memperhatikan tubuh sang suami lekat-lekat, begitu indah dan proporsional. Ia tak lagi malu menatap Langit dengan binar kekaguman yang semakin membara. Lintang membantu Langit mengaitkan kancing kemejanya. Sentuhan jari-jari Lintang di dadanya membuat laki-laki itu kembali bergejolak. Kalau tak ingat hendak berangkat kerja, rasa-rasanya ia ingin kembali menyentuh Lintang. Semalam ia menggempur Lintang habis-habisan, tapi ia masih saja berhasrat dan tak pernah bosan untuk menyentuh Lintang kembali. Lintang menatap Langit yang juga menatapnya. Langit bisa melihat ada cinta yang sedemikian besar di mata Lintang. "Kenapa menatapku seperti itu?" Lintang memberanikan diri untuk bertanya. Langit tersenyum. "Nggak ada larangan untuk menatap seseorang yang sudah sah kita nikahi." Wajah Lintang tersipu. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sesuatu yang ia tahan sejak Rangga menggodanya di dapur. "Mas....ehmmm..." "Ada apa Lintang?" Lintang menghela napas pelan. Ditatapnya sang suami lekat-lekat. "Apa Mas nggak kepikiran untuk tinggal terpisah dari keluarga besar ini? Mungkin ini lebih baik agar kita benar-benar belajar mandiri dan nggak ada lagi yang akan mengganggu ketenanganku. Mas pasti paham maksudku." Langit mengangguk. Ia mengerti maksud istrinya. "Aku akan bicara sama Papa dan Mama. Sebenarnya Papa melarang anak, menantu, dan cucunya untuk keluar dari rumah ini. Ia ingin semua keluarga tinggal di rumah ini. Tapi nanti aku coba bicara sama Papa." Lintang tersenyum dan mengangguk. "Mudah-mudahan Papa mengizinkan. Banyak non mahram di rumah ini dan itu nggak baik. Bukan berarti aku nggak senang tinggal bersama Papa Mama. Tapi aku sangat terganggu dengan Mas Rangga." Lintang lebih berani untuk mengutarakan isi hatinya. Kadang ia berpikir, apa jika suami terpuaskan masalah ranjang, ia akan lebih mudah menuruti keinginan istri? Pengecualian jika sang suami sudah mencintainya dari awal. Lintang belajar satu hal, mungkin untuk mendapatkan hati Langit, ia memang harus belajar untuk selalu menghargai Langit dan menyenangkannya, termasuk urusan ranjang. Ini bukan hal yang dilarang. Ia telah sah menjadi istri Langit. Langit mengangguk kembali. Ia tak yakin ayahnya akan mengizinkan. Namun ia tak tahu jika tidak mencobanya. ****** Semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Seusai melahap makanannya, Langit memberanikan diri untuk membicarakan apa yang sudah ia bicarakan dengan Lintang di kamar. "Pa, semisal Langit minta izin sama Papa untuk tinggal di rumah sendiri bersama Lintang, apa Papa mengizinkan?" Pertanyaan Langit membuat Ramdhan dan Mirna kaget. Marsha dan Rangga juga terperanjat mendengarnya. Sedangkan Devana tersenyum sinis. Ia berpikir Lintang sudah pintar mempengaruhi Langit sampai minta izin untuk tinggal terpisah. "Kamu tahu, kan? Papa ingin semua anak, menantu, dan cucu Papa tinggal di satu rumah. Rumah ini begitu besar dan masing-masing sudah punya bagian. Kenapa harus tinggal di rumah sendiri?" Ramdhan membulatkan matanya. "Iya, Pa. Tapi setelah menikah penting untuk kami belajar mandiri dan mengatur rumah tangga sendiri. Kami akan sering berkunjung ke rumah ini meski nanti tinggal terpisah." Langit menjelaskan dengan tenang. "Papa tidak ingin kamu dan Lintang meninggalkan rumah ini!" Ramdhan berkata tegas. Mirna melirik Lintang dengan segala rasa tak sukanya. "Kenapa kamu ngotot ingin tinggal terpisah? Apa karena Lintang yang merengek minta tinggal di rumah sendiri?" Mirna masih awas menatap Lintang dengan ketusnya. Lintang terdiam. Ia tak berani menyela perkataan ibu mertuanya. "Belum lama tinggal di sini, kamu sudah memberikan pengaruh buruk untuk Langit. Kamu pikir kamu bisa menguasai anak saya dan menuruti keinginanmu?" Mirna menajamkan pandangannya. "Menantu-menantu saya tidak ada yang seperti kamu. Mereka fine-fine saja tinggal di sini. Mereka tak ada yang berani yang mengubah tradisi keluarga!" tatapan Mirna semakin menghunus dan menatap sang menantu dengan rasa benci. "Langit yang inisiatif ingin tinggal terpisah, bukan Lintang," ucap Langit untuk menetralkan amarah sang ibu. "Tidak usah melindungi istri kamu, Langit." Mirna mengalihkan tatapannya ke arah sang putra. "Sudah... Lebih baik kita teruskan sarapan. Jangan bahas masalah ini lagi." Ramdhan tak ingin suasana semakin memanas. Lintang tercenung. Rasanya begitu sulit untuk mengubah tradisi keluarga. Selama ada Langit di sisinya, ia akan mencoba bertahan. ****** Lintang mengantar Langit hingga ke halaman. Pak supir sudah siap menunggu. Langit menatap datar sang istri "Aku ingin kamu bertahan dulu. Mungkin suatu saat, mereka akan mengizinkan." Lintang mengangguk. "Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku, Mama jadi marah-marah." "Bisa saja kita nekat keluar dari sini. Hanya saja aku nggak ingin Mama marah dan aku ingin ridho darinya. Aku ingin keluar dari rumah ini tanpa beban." "Iya aku mengerti. Aku nggak masalah untuk menunggu sampai saat itu tiba." Langit melirik Pak supir yang berdiri di sebelah mobil. Rasanya ia ingin mencium Lintang, tapi tak enak hati karena ada sang supir yang berdiri mematung. Langit mendaratkan kecupan di kening sang istri. Hati Lintang terasa hangat. Selanjutnya ia menjabat tangan Langit dan menciumnya. "Aku berangkat dulu, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Lintang menatap laju mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Senyum terulas dari bibirnya. Untuk pertama kali, Lintang merasa benar-benar dianggap sebagai istri. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD