Chapter 4

1721 Words
Hari Minggu ini keluarga Ramdhan berencana untuk makan bersama di salah satu restoran langganan keluarga. Tidak semua anggota keluarga turut serta. Langit memilih untuk tinggal di rumah saja. Lintang mengikuti Langit. Rasanya sungkan jika ia harus turut serta tanpa Langit. Rangga dan Devana juga tak ikut karena ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Hanya Ramdhan, Marsha, Varel, dan Mirna yang berangkat. Interaksi antara Langit dan Lintang masih minim. Langit masih jarang mengajaknya bicara. Gadis itu pun tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membangun komunikasi dengan suaminya. Langit tampak sibuk mengerjakan pekerjaan kantor yang menumpuk. Ia memeriksa file dalam laptop. Lintang memperhatikan sang suami yang seolah tak memiliki waktu istirahat di hari libur sekalipun. Ia berinisiatif untuk membuatkan Langit jus buah. Lintang melangkah menuju dapur. Ia mengambil satu buah apel di kulkas. Ia terkesiap saat derap langkah mendekat ke arahnya. "Lintang, lagi bikin jus, ya?" Rangga tersenyum ramah dan menatap Lintang lekat. Gadis itu merasa sungkan. Ia teringat akan amarah Marsha yang menuduhnya perempuan ganjen. Sungguh, ia tak ingin menambah masalah lagi. Ia tak mengerti kenapa Rangga masih saja mendekatinya. Lintang mengangguk. "I...iya..." Rangga menggeser posisinya hingga lebih dekat pada Lintang. Lintang sedikit menjauhkan badannya. "Aku bantu ngupas apelnya, ya..." Lagi-lagi Rangga mengulas senyum. Tangannya mulai beraksi, mengusap pinggang Lintang hingga gadis itu terkesiap. Di saat yang sama Langit masuk ke dapur karena hendak mengambil air putih. Ia kaget bukan kepalang melihat Rangga memeluk pinggang Lintang. Lintang segera menjauh. Sebelum gadis itu menegur Rangga, Langit sudah lebih dulu menghardik. "Apa-apaan kalian?" mata Langit membulat. Pagi tadi ia memilih tak menghiraukan ucapan Marsha yang memintanya untuk mendidik Lintang karena bertingkah genit pada Rangga. Kali ini ia menyaksikan langsung bagaimana Rangga dan Lintang berdekatan di dapur. Bahkan tangan Rangga memeluk pinggang Lintang. "Langit... kami cuma mau bikin jus," jawab Rangga sedikit terbata. "Ternyata benar kata Mbak Marsha. Kamu senang menggoda laki-laki." Langit menatap Lintang dengan sorot amarah menyala-nyala. Ia yakin betul bahwa kemarahannya bukan lantaran karena ia cemburu. Ia merasa apa yang dilakukan Lintang sudah sangat keterlaluan. Ia tak ingin suami dari kakaknya digoda oleh Lintang. Harga dirinya sebagai suami seakan terkoyak. "Mas, aku nggak menggodanya. Mas Rangga tiba-tiba deketin aku. Aku baru saja mau menegurnya, tapi Mas Langit udah keburu salah paham." Mata Lintang sudah berkaca. Ia takut Langit semakin salah paham dan lebih mendengar perkataan Marsha. "Ya, Lintang menggoda saya dan menawari saya jus." Rangga yang memang licik itu begitu piawai memutarbalikkan fakta demi menjaga reputasi diri. Lintang melongo tak percaya. Satu per satu karakter semua penghuni rumah megah ini terungkap. Bagaimana bisa seorang laki-laki dewasa seperti Rangga pintar menjilat dan berdusta. Langit semakin geram mendengar penuturan kakak iparnya. Tatapan itu menghunjam ke arah Lintang seolah menguliti setiap inchi tubuhnya. "Aku nggak menggodanya, Mas. Aku bikin jus buat Mas Langit." Lintang menitikkan air mata. Ia semakin takut melihat raut wajah gahar sang suami. Mendengar suara ribut di dapur, Devana melangkah ke dapur untuk tahu apa yang terjadi. "Ada apa ini?" Devana yang mengenakan gaun merah muda menatap Langit, Rangga, dan Lintang bergantian. "Lintang mencoba menggodaku," tukas Rangga tanpa beban. Devana membulatkan mata dan mendelik ke arah Lintang. "Itu bohong, Mbak. Itu fitnah..." Mata Lintang semakin basah. Ia berharap ada satu diantara mereka yang percaya padanya. Namun Ketiganya seolah bersatu untuk menyudutkannya. "Kemarin kamu menggoda Mas Rangga di taman, sekarang menggoda di dapur. Apa nggak cukup punya suami Langit? Dasar murahan!" kata-kata Devana meluncur tegas dan menusuk. Ia menatap Lintang penuh benci. "Astaghfirullah, Mbak... demi Allah aku nggak menggoda Mas Rangga." Lintang melirik Langit dengan tatapan memohon agar Langit percaya padanya. Langit segera menarik tangan Lintang dan membawanya ke kamar. Amarahnya semakin membumbung dan ia ingin meluapkannya saat itu juga. Rangga mengembuskan napas lega. Devana bersedekap dan menatapnya sinis. "Mas tertarik sama Lintang?" Rangga menoleh ke arah Devana. Wajah perempuan itu terlihat begitu dingin. "Nggak, kan Lintang yang godain Mas." Devana menghela napas dan berbalik. Saat ia hendak melangkah keluar dapur, Rangga menarik tangannya lalu memeluknya erat. "Kamu cemburu?" bisik Rangga di telinga Devana. Devana melepaskan tangan Rangga yang melingkar di pinggangnya. Ia menatap kesal ke arah laki-laki itu. "Awas ya Mas kalau macam-macam sama cewek lain." "Udah aku bilang, dia yang godain aku. Aku cuma cinta sama kamu, Dev." Rangga berusaha menyentuh lengan Devana. Ia belum mau kehilangan perempuan yang teramat menggairahkan itu. Devana memalingkan wajahnya ke arah lain. Laki-laki itu yang selama ini mengisi kekosongan hatinya pasca ditinggal suaminya untuk selamanya. Ia cemburu setiap kali Rangga menunjukkan ketertarikan pada perempuan lain. Pengecualian untuk Marsha. Devana sadar diri, ia hanya kekasih gelap Rangga. Rangga mengusap pipi Devana lembut. "Jangan marah lagi." Matanya awas melirik sekeliling. Tanpa ragu ia mencium bibir ranum Devana dan mengecap rasa manisnya. Devana yang semula enggan membalas akhirnya terpancing dengan ciuman panas yang dilayangkan Rangga. Buru-buru Devana melepas ciumannya. "Takut ada yang lihat, Mas." Devana berkata lirih, sedikit gugup. "Kita ke hotel sekarang. Pakai mobil sendiri-sendiri. Kamu dulu yang pergi. Aku menyusul." Rangga berbisik pelan lalu mengedipkan matanya dan berlalu dari hadapan Devana. ****** Langit menggandeng Lintang hingga masuk ke kamar. Ia menutup pintu keras-keras. Langit melepaskan cengkeramannya dan menatap Lintang masih dengan aura kemarahan yang mendominasi. "Kamu sadar posisimu di rumah ini? Kamu punya suami. Masih saja ganggu suami orang!" Lintang terisak. Ia tahu, sedari awal Langit tak menyukainya. Namun bukan berarti laki-laki itu bebas menghakimi. "Demi Allah aku sama sekali nggak menggangu Mas Rangga. Dia tiba-tiba datang deketin. Aku sadar benar sudah jadi istri Mas. Meski Mas nggak pernah nganggap aku, tapi aku tahu bagaimana menjaga kehormatanku." Lintang menyeka air mata yang terus berjatuhan. Langit menggeleng. Ia tak habis pikir, Lintang selalu saja menangis. Ia belum lama mengenal Lintang. Bisa saja apa yang disampaikan ibunya bahwa Lintang mewarisi sikap ganjen Suryati benar adanya. "Menjaga kehormatan? Aku bahkan nggak tahu apa kamu benar-benar menjaganya? Bagaimana jika kamu sudah menggoda banyak laki-laki sebelum menikah denganku?" Lintang tercekat mendengarnya. Bagaimana bisa Langit menilainya serendah itu? "Aku nggak pernah menggoda laki-laki. Aku selalu menjaga diri. Aku bahkan nggak pernah pacaran. Aku masih suci. Bagaimana bisa Mas menilaiku serendah itu?" Langit melangkah mendekat ke arah Lintang tanpa berkata-kata. Lintang tergugu, menerka-nerka apa yang hendak dilakukan suaminya. Amarah itu mungkin masih merajai. Namun melihat istrinya terpaku dengan gaun cantik yang membalut tubuh indahnya membangunkan sisi laki-laki Langit yang sudah sejak semalam ia coba redam kala paha mulus sang istri terekspos. Lintang tersentak kala dengan kasar Langit membentangkan kerah gaunnya yang memiliki tiga kancing di bagian atas. Tiga kancing itu terlepas. Denting suara kancing-kancing yang berhamburan ke lantai terdengar begitu nyaring. Tangan kekar Langit meremas gundukan kenyal yang terpampang indah hingga membuat Lintang terperanjat. Anehnya ia tak bisa menolak. Ia sadar betul, Langit berhak atasnya. Ia rasakan sensasi itu diiringi perasan gugup yang berkecamuk tak menentu. "Buktikan padaku kalau kamu masih suci," bisik lirih Langit. Lintang tak mampu berucap lagi kala secepat kilat bibir Langit membungkam bibirnya dengan rakusnya. ****** Napas itu naik turun seiring dengan air mata yang menitik. Ia tak menangisi apa yang telah hilang darinya karena ia sadar benar, Langit berhak mendapatkannya. Ia mengikhlaskan keperawanan yang telah terenggut dan darah segar yang mengalir diantara dua pahanya menjadi bukti dirinya yang belum terjamah siapapun. Hanya Langit yang pernah menjamahnya. Hanya Langit... Lintang memiringkan tubuh polosnya yang tertutup selimut. Ia meringkuk seperti anak kucing merindukan induknya. Ia bahagia jika memang Langit benar-benar menginginkannya, tapi bukan begini caranya. Langit menggagahinya dengan begitu kasar, dengan sisa kemarahan dan emosi yang masih meledak-ledak. Ia pasrah dengan perlakuan Langit meski harus menahan sakit kala Langit mencium setiap jengkal tubuhnya yang diakhiri dengan gigitan kecil di beberapa bagian. Matanya terpejam kuat dan ia menahan rasa sakit yang begitu hebat kala sesuatu yang asing menerobos ke dalam dirinya dan mengoyak sesuatu yang telah ia jaga, membungkam tuduhan Langit yang sempat menilainya begitu rendah. Laki-laki itu terdiam kala menatap tetesan air mata mengalir dari kedua sudut mata Lintang. Seusai penyatuan itu keduanya saling memunggungi. Lintang larut dengan tangis karena diperlakukan kasar oleh Langit sekaligus menahan rasa sakit yang masih membekas, terutama di bagian sensitifnya. Sementara Langit merutuki diri, kenapa ia tak bisa mengendalikan diri menyentuh Lintang. Langit terpejam. Rasa nikmat dan terpuaskan masih terasa sensasinya dan harus ia akui, detik ini ia bisa mengatakan seperti yang teman-temannya katakan, ya dia suka seks, sangat suka. Namun ia sadar, ia telah menyakiti Lintang karena tak berlaku lembut di momen intim pertama mereka. Isak tangis Lintang membuatnya kacau. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Diliriknya sang istri yang masih memunggunginya. Arogansi Langit runtuh. Ia masih punya hati untuk setidaknya menghargai apa yang sudah Lintang berikan untuknya. Untuk wanita yang masih memegang teguh prinsip dan nilai agama, keperawanan adalah harga matinya yang tak akan ia serahkan pada sembarang orang, hanya suami yang berhak atasnya. Langit menyadari hal itu. Mungkin Lintang juga tak tahu, ini pengalaman pertama untuk Langit dan ia tak bisa melupakan begitu saja atas semua yang barusan terjadi. Langit menarik tubuh Lintang agar menghadap ke arahnya. Hatinya tersentuh menatap wajah Lintang yang dipenuhi air mata. Netra beningnya yang digenangi bulir air seakan menceritakan dukanya yang mendalam. Terlebih isak tangis itu masih menyayat dan menggetarkan telinga juga hatinya. Langit menyingkap selimut warna peach itu. Pandangannya menyasar pada kissmark yang bertebaran di tubuh sang istri. Beberapa titik tampak sedikit lebam karena ia terlalu bernafsu. Ia tahu sentuhan kasarnya mungkin membuat Lintang kesakitan. Wanita itu masih menangis. Jari-jari Langit mengusap perut rata sang istri. "Mana yang sakit?" tanya Langit lirih. Lintang tak menjawab. Sakit hatinya jauh lebih perih dibanding sakit di tubuhnya. Lintang tersentak kala Langit mengecup lembut titik-titik tubuhnya yang tampak sedikit lebam. Ia pikir, kecupan itu sedikit menetralkan rasa sakit yang masih terasa. Rasa haru menelusup ke ujung sanubari Lintang. Ia terharu karena Langit masih punya belas kasih. Langit mengusap air mata Lintang yang masih mengalir. Ia menarik tubuh Lintang dalam pelukannya. "Maafkan aku," bisik Langit lirih. Lintang menatap ke dalam manik bening suaminya. Pria ini bisa membuatnya takut tapi juga terlindungi di saat yang bersamaan. "Aku nggak pernah menggoda laki-laki lain. Mas Langit adalah laki-laki pertama yang menyentuhku," ucap Lintang dengan sorot mata yang masih berkaca. Langit mengusap rambut Lintang lembut. "Ya, aku percaya." Langit menarik kembali tubuh Lintang dalam pelukan. Untuk sesaat Lintang membeku. Pelukan itu terasa begitu lembut dan hangat. Lintang menyukai sisi lain Langit saat lembut seperti ini. Ia merasa dianggap dan dilindungi. Matanya perlahan terpejam. Ia harap, esok akan menjadi lebih baik untuknya dan Langit. ****** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD