Ten

1344 Words
Kanaya hanya 1 jam di rumah omnya dan segera pamit pulang setelah menjenguk dan bercakap cakap sejenak dengan om Imam dan tante Isti, ia tak ingin kemalaman pulang karena jarak rumahnya yang cukup jauh dari rumah om dan tantenya. Kanaya dan tante Isti keluar dari kamar om Imam di lantai dua dan membiarkan omnya itu istirahat karena masih lemah walau sudah lebih baik dari sebelumnya. Mereka menyusuri lorong lantai dua menuju tangga untuk turun ke lantai 1, tetapi baru beberapa langkah tangan Kanaya ditahan tante Isti. Kanaya menghentikan langkahnya dan menatap tante Isti bingung. "Kenapa tan?" "Benar Aldric bukan pacar kamu? pasti pacar kamu kan? jangan bohong Kay." "Ya ampun tante, masih saja bertanya. Aku bilang bukan ya bukan, dia teman kerja aku satu divisi di marketing," jelas Kanaya pada tante Isti. "Masa hanya teman mau antar kamu, ikut masuk lagi." "Entah," jawab Kanaya mengendikkan bahunya. Kanaya kemudian berjalan mendahului tantenya turun ke lantai 1, ia melihat Aldric sedang fokus pada ponselnya. Kanaya kemudian berbalik dan melihat tante Isti dibelakangnya. "Aku pulang tante," ucap Kanaya yang membuat Aldric mengangkat kepalanya, Aldric kemudian berdiri dan juga pamit pada tante Isti. Aldric fokus di jalanan menuju rumah Kanaya, sesekali ia melirik Kanaya yang juga fokus melihat jalan yang mereka lalui. "Keluarga kamu asyik ya Kay," ucap Aldric memulai obrolan, Kanaya menoleh pada Aldric. "Asyik bagaimana maksud kamu?" "Maksud aku saling perhatian, saling sayang." "Semua keluarga juga seperti itu Al," jawab Kanaya santai. "Keluargaku enggak," gumam Aldric. "Kenapa Al?" tanya Kanaya. "Hah...? enggak, nggak apa apa. Aku iri dengan keluarga kamu, saling perhatian satu sama lain." "Apa yang harus kamu iri dari keluarga aku, keluarga aku pas pas an hidup juga biasa saja, dari semua keluarga besar kami, ayah dan ibu tidak ada apa apanya dibanding adik adik ayah dan ibu yang kaya." "Kaya belum tentu bahagia Kay," jawab Aldric. Kanaya kembali menoleh pada Aldric, ucapan Aldric sepertinya mencerminkan perasaannya saat ini yang tidak bahagia. "Bahagia itu pilihan Al, kaya atau miskin bisa bahagia, bahagia itu dari hati." Dada Aldric serasa dihantam palu godam tepat di jantungnya, ucapan Kanaya seperti tepat sasaran. Hatinya tidak bahagia walau berlimpah harta, hidupnya hampa karena tak mendapatkan kasih sayang kedua orangtuanya, ia di push jadi pribadi yang kuat, tidak cengeng. Tak ada perhatian dan kasih sayang seperti yang ada di keluarga Kanaya, hal itu membuatnya berontak. Walau otaknya encer dan mampu memenuhi semua tuntutan papanya tapi ia menjadi pemberontak, nilai bagusnya tetap namun ia jadi suka melakukan hal yang tidak disukai papanya mulai dari suka minum minuman keras, tawuran saat dulu masih sma, suka ikut geng motor dan banyak lainnya. Hati Aldric puas saat papanya menahan amarah karena kelakuannya namun tidak pernah bisa marah karena nilainya masih yang terbaik walau sikapnya berandalan. Namun dihati terdalamnya ingin memiliki kehidupan normal, seperti Kanaya. Berkumpul saat sarapan dan makan malam juga diselingi obrolan ringan. Papa dan mamanya terlalu sibuk dengan kegiatan sebagai CEO, meeting sana, meeting sini, gathering sana gathering sini hingga rumah sepi seperti tidak ada kehidupan, hanya ada puluhan art saja dan dirinya yang kesepian. Aldric menginjak rem mendadak saat ia sadar hampir menerobos lampu merah membuat kepala Kanaya terbentur hingga Kanaya menjerit. "Ouch....., hati hati Al. Kamu melamun?" omel Kanaya mengusap dahinya yang terbentur. "Sorry sorry…" jawab Aldric kelabakan. "Jangan suka melamun kalau sedang mengemudi, bahaya." "Iya sorry Kay." Aldric kemudian melajukan mobilnya saat traffick light menyala hijau, tak berapa lama mereka sampai di depan pagar rumah Pak Andrian. Aldric akan membuka pintu dan keluar dari mobil namun ucapam Kanaya menghentikannya. "Stop...tidak usah turun. Lagi pula ini sudah malam, hampir jam sebelas. Tidak baik bertamu ke rumah orang." Kanaya kemudian keluar dari mobil dan menutup pintu mobil Aldric. "Hati hati, jangan ngebut," pesan Kanaya membuat Aldric terdiam. Tidak pernah ada yang memberikan ucapan seperti itu saat ia kan pergi atau mengemudi, dulu ia pergi tanpa orang tahu dan pulang juga tidak ada yang tahu. Aldric merasa ada yang mengkhawatirkan dirinya, ada sesuatu yang aneh menyusup di hatinya, rasa hangat yang belum pernah ia rasakan dan ia menyukainya. Oooo---oooO Kanaya melihat Arda dan Aldric berbicara serius di ruangannya, seperti ada sesuatu yang mereka ributkan karena wajah Aldric marah pada Arda. Aldric terlihat keluar dari ruangan Arda dan kembali duduk di mejanya, ia kembali fokus pada pekerjaannya. Kanaya ingin bertanya pada Aldric tapi ia tak ingin terlihat akrab dengan pria itu, ia hanya ingin tahu kenapa Aldric seperti marah pada Arda. Jam makan siang tiba, Kanaya dan Sarah makan di tempat biasa mereka dan tim marketing Alpha makan di tempat biasa yaitu di cafe seberang gedung kantor. Biasanya Aldric akan makan bersama Arda tapi Kanaya tak melihat Aldric, hanya ada Arda seorang diri saja. "Pak Arda sepertinya sedang konflik dengan Aldric," ucap Sarah. "Hhh...., kenapa Sar?" tanya Kanaya kelabakan. "Kamu melamun Kay?" "Enggak kok," jawab Kanaya terbata, tapi memang sebenarnya Kanaya sedang memikirkan apa yang membuat Aldric dan Arda bertengkar, tak mungkin masalah pribadi karena ia tahu Aldric dan Arda profesional dalam bekerja dan tak mungkin mencampuradukkan antara masalah pribadi dan pekerjaan. Kanaya juga tidak melihat Aldric saat jam makan siang ini, apakah dia sudah makan ataukah belum, Kanaya takut jika Aldric akan sakit jika tak makan siang. Kanaya menggeleng pelan, kenapa ia malah khawatir pada Aldric, ia bahkan tak menyukai sifat playboy Aldric dan sifat badboynya itu. "Kamu sehat Kay? dari tadi sikap kamu aneh, melamun, menggeleng, ada apa sih?" "Tidak ada apa apa Sar, aku hanya sedikit pusing," kilah Kanaya, ia tak mau Sarah tahu ia mengkhawatirkan Aldric. Setelah jam makan siang, Kanaya dan Sarah kembali ke divisi mereka dan kembali bekerja, saat masuk dalam ruangan divisi marketing Alpha, Aldric sudah duduk di meja kerjanya dan fokus pada layar laptopnya. Kanaya kembali ke meja kerjanya, ia melirik Aldric sejenak, masih ada kemarahan di wajahnya. Walau Kanaya belum pernah melihat Aldric marah tapi sepertinya masalahnya serius. ~~~ ~~~ Kanaya menggeliat, ia buka matanya hari masih dinihari dan kandung kemihnya penuh. Ia segera menuju kamar mandi dan buang air kecil, dilihatnya jam dinding masih pukul 2 dinihari. Kanaya akan berbaring saat ponselnya berdering, ia heran siapa yang jam seperti ini menghubunginya. Dengan malas dan mata masih mengantuk Kanaya mengambil ponselnya di meja nakas, ia tertegun saat melihat nama Aldric disana. "Halo....." "Kanaya?" "Iya, kenapa Al?" "Ini saya perawat di rumah sakit mbak, pemilik ponsel ini kecelakaan dan sekarang di igd rumah sakit." "Apa??!" pekik Kanaya, memang ia mendengar suara penelepon bukan suara Aldric. "Iya mbak, mas Aldric ini kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit." "Bagaimana keadaannya? apa lukanya parah?" kejar Kanaya. "Mbak Kanaya ke rumah sakit saja dulu." "Baiklah, rumah sakit mana?" "Rumah sakit Pelita." Kanaya segera melompat dari ranjang menuju lemari dan berganti pakaian, tak lupa memakai jaket, ia segera memesan ojek online agar cepat sampai di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Kanaya segera berlari ke igd dan mencari keberadaan Aldric, Aldric terlihat berbaring di bed igd. Kanaya berjalan mendekati bed dan menatap wajah Aldric yang hanya ada luka di pelipis saja. Kanaya mengedarkan pandangannya dan mencari dokter piket dan mendatanginya. "Selamat malam dokter," sapa Kanaya. "Selamat malam, Kanaya?" "Shan? kamu Shan kan?" tanya Kanaya. "Iya Kay, tidak menyangka kita bertemu disini, kamu ngapain dini hari ke igd, kamu sakit?" "Bukan...teman aku kecelakaan, itu," tunjuk Kanaya pada Aldric. "Oh pengemudi mobil ferrari itu, mabuk dia dan mobilnya menabrak pembatas jalan." Kanaya mendelik mendengar penjelasan Shan, Aldric mabuk hingga mobilnya menabrak pembatas jalan. "Bagaimana keadaannya? parah?" "Untungnya enggak sih Kay, hanya luka ringan saja, tapi tangannya mungkin sedikit keseleo. Dia teman apa pacar hingga kamu dinihari begini menyempatkan datang," tanya Shan menatap Kanaya dengan pandangan menyelidik. "Teman Shan, kebetulan aku yang ditelepon masa aku nggak datang, kenapa juga tadi tidak menghubungi orangtuanya?" gerutu Kanaya. "Sebenarnya harusnya begitu tapi kata perawat yang aku minta menghubungi keluarganya, yang ada hanya nomor ponsel kamu dan Arda. Saat menghubungi Arda ponselnya mati jadi pilihannya menghubungi nomor lainnya yang ternyata kamu." Kanaya menatap Shan tak percaya, mana mungkin tidak ada list kontak di ponsel Aldric, lalu banyak wanita yang ia pacari apakah tak disimpan nomor mereka, Kanaya kemudian menoleh pada Aldric yang masih terbaring dengan mata terpejam. Kanaya menghembuskan nafasnya kasar, kenapa dia yang malah harus datang ke rumah sakit, bukan orangtuanya, walau ada konflik seberat apapun tetap saja mereka pasti datang jika dihubungi dan mengatakan anaknya kecelakaan. Kanaya kemudian berdiri dan mendekati Aldric bertepatan dengan Aldric yang membuka matanya. "Kay....!?" pekik Aldric terkejut mendapati Kanaya ada didepannya. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat jika ia sedang ada di rumah sakit, tangannya kanannya juga diinfus. Lynagabrielangga    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD