Part 11: Marah

1433 Words
"Bapak tuh ngapain sih pake acara jemput saya segala?!" Omel Alika baru juga masuk mobil. Arlan menekan pedal gas dan mulai menjalankan mobil, entah kenapa Arlan tidak ingin pakai supir. "Saya sudah janji sama Ayah kamu." "Ck!" Alika berdecak, lalu setelah itu memilih fokus memainkan HP nya. Membuat keadaan disana terasa sangat mencekam. Arlan beberapa kali nampak membasahi bibir, merasa ragu ingin mengatakannya pada gadis ini tapi semakin ia tutupi ia juga merasa tak nyaman. "Manager kamu itu siapa namanya?" Alika spontan menoleh, menatap Arlan aneh. "Aldo, kenapa?" "Hmm ... dia udah punya pacar?" Alika spontan menatap tajam Arlan. "Kenapa Bapak nanya-nanya begitu?" Selidiknya mulai terdengar tak enak. "Saya nanya baik-baik kenapa kamu sewod sih?" Kesalnya. Alika menipiskan bibir dengan sorot mata menajam. "Lagian Bapak juga ngapain ngurus hidup orang? Bapak urus aja hidup Bapak sendiri, jadi orang jangan suka julid!" Arlan benar-benar tersinggung oleh ucapan gadis ini, memangnya apa salahnya sih jika ia bertanya? Padahal Arlan juga bertanya baik-baik. Tak ingin membuat keadaan makin merunyam lelaki itupun memilih diam, namun jujur kali ini Arlan sedikit kecewa dengan sikap gadis ini. Ckitt. Mobil yang mereka tumpangi sampai, Alika langsung membuka pintu mobilnya dan berjalan keluar tanpa mengucapkan apapun. Membuat wajah Arlan makin mengeras. Lelaki itu memarkirkan mobilnya dan berjalan keluar, mood nya benar-benar hancur padahal masih pagi. Bruk! "Sshhh!" Desis Arlan saat seorang pegawai tidak sengaja menumpahkan kopi ke jasnya. Pegawai itu terlihat langsung memias pucat melihat siapa yang baru ia tabrak. "M-mmm-maaf ... P-ak." Ucapnya gemetar. "KAMU PUNYA MATA GAK SIH?!" Bentak Arlan, sudah badmood ditambah kecelakaan seperti ini membuat laki-laki itu makin ingin meledak. Suara keras Arlan langsung menyentak banyak orang disana, masalahnya meskipun terkenal galak Arlan tidak pernah sampai semurka ini. "M-maaf Pak, maafin saya." Pegawai itu sampai berlutut ketakutan. Arlan mendecak kesal, melepas jas nya dan melemparnya ke lantai dengan emosi. "Kamu lihat pakaian saya kotor, dan kulit saja lecet!" Arlan menunjuk bekas basah kopi di kemeja putih nya, masalahnya kopi yang ditumpahkan tadi masih panas. "M-maaf Pak .. maaf--" "Kamu saya pecat, pergi!" Bentak Arlan tentu saja mengagetkan semua orang. Arlan mendengus tak peduli, melenggang pergi namun harus terhenti saat melihat Ayahnya yang sedang menatap kearahnya. Tatapan tajam Agam dibalas Arlan dengan tak kalah tajam, terlanjur emosi membuat pemuda itu tak mengenal kata takut. "Ikut ke ruangan Ayah!" Tegas Agam lalu melangkah besar-besar ke ruangannya. Suasana disana makin mencekam dan menegangkan tatkala Arlan mengikuti langkah Ayahnya, semua orang sudah saling berbisik-bisik menerka apa yang mungkin terjadi. Setelah sampai di ruangan, dua orang itu duduk berhadapan di sofa. Agam terlihat marah tapi Arlan pun tak gentar sama sekali. "Katakan, ada masalah apa?" "Gak ada." Agam menggeram tertahan. "Lalu pagi-pagi sudah membuat ribut seperti tadi?" "Ayah mau salahin aku?" Arlan langsung angkat suara. "Pegawai tadi yang ceroboh menumpahkan kopi panas ke tubuh aku, apa salah jika aku pecat dia?" "Salah Ar!" Arlan menipiskan bibirnya tajam, lalu berdiri membuat Agam mendongak. "Terserah Ayah lah, lagian semua keputusan ada di tangan Ayah!" Tandas Arlan sebelum melenggang pergi. "ARLAN!!" Teriak Agam tapi pemuda itu sudah hilang tak menggubris. Agam menghela napas panjang, memijit pangkal hidungnya. "Sebenarnya anak itu kenapa?" Gumamnya tercengang. *** Alika diam-diam melirik Arlan yang baru masuk ruangan, keributan yang diciptakan Arlan sudah terdengar sampai lantai atas. Arlan berjalan kearah mejanya, dan bekerja seperti biasa. Membuat Alika tak bisa mengalihkan tatapannya dari lelaki itu, masalahnya noda coklat kopi sangat kontras dengan kemeja putihnya. Alika menarik napas dalam sebelum berdiri mengambil kotak P3K. "Pak biar saya bantu obati luka Bapak." "Gak perlu!" Arlan menepis tangan Alika risih, lelaki itu kalau marah memang lama ngambeknya. Alika jadi menghela napas pelan. "Kulit Bapak pasti melepuh." "Saya bilang gak usah ya gak usah, sana balik ke meja kamu!" Tegas Arlan membuat Alika memejamkan matanya mencoba sabar. "Kalau saya gak mau Bapak bisa apa?!" Tantang balik Alika, tak ayal membuat Arlan tersentak. "Sekarang lepas pakaian Bapak!" Titah Alika jadi galak. Dan entah kenapa Arlan langsung menurut patuh membuka kemejanya. Alika langsung melenguh panjang melihat kulit putih lelaki itu yang melepuh, perlahan Alika berjongkok untuk mengoleskan obat pada perut Arlan. Arlan jadi membuang muka menahan salah tingkah malu. "Ssshh." Desis Arlan menahan perih. Alika langsung meniup luka tersebut membuat Arlan jelas tersentak. "Kalau gak cepat diobati bisa infeksi." Gumam gadis itu pelan. Arlan jadi menunduk, melihat ujung kepala Alika dibawahnya. "Kenapa kamu peduli sama saya?" Arlan entah kenapa ingin menanyakannya. Alika yang sudah selesai mengobati luka perut Arlan mendongak, menatap lurus lelaki itu. "Karena saya masih punya hati nurani." "Lalu yang kamu lakukan tadi pagi apa? Kamu bahkan sudah menghina saya." Alika menghela napas panjang. "Maaf untuk hal itu, tapi saya memang tidak suka dengan pertanyaan Bapak. Menurut saya pertanyaan Bapak tadi tidak pantas disebut pertanyaan melainkan sebuah pernyataan." Aku memang sedang memberitahu kamu. "Yasudah saya mau lanjut bekerja lagi." Alika kemudian berbalik pergi masih dengan sorot mata Arlan yang mengikuti punggung gadis itu. Tanpa Arlan ketahui, kalau wajah Alika langsung berubah merah karena melihat tubuh setengah telanjangnya tadi. *** "Bapak gak perlu antar saya, saya bisa minta tolong Aldo buat jemput saya." Ucapan Alika tersebut membuat Arlan langsung terdiam. "Saya sudah janji sama Ayah kamu." "Ck! Itu mulu sih Pak alasannya!" Dengus Alika jengkel. "Makanya nurut, mulai sekarang kamu pulang pergi sama saya." Alika langsung merengut, menurutnya Arlan ini terlalu menyebalkan. Kenapa sih lelaki ini usil banget dengan hidupnya, padahal hubungan mereka juga cuma sebatas Bos dan karyawan. "Tapi-- PAK?!" Alika berjengkit kaget karena tangannya di tarik paksa oleh Arlan. Dan Alika makin megap-megap karena satu kantor melihat kejadian itu, ya ampun apakah otak lelaki ini sudah geser?! "Pak lepasin, dilihat banyak orang!" Desisnya masih berusaha melepaskan tangan. Arlan diam-diam menahan senyuman samarnya, lelaki itu memang sengaja melakukan hal ini. Wait! Tunggu! Kenapa Arlan jadi senang begini?! "Ish! Bapak tuh sengaja ya narik-narik saya di depan banyak orang?!" Amuk perempuan dengan tinggi tak sampai bahunya itu. Arlan langsung belagak mengedarkan pandangan dengan wajah tanpa dosa. "Geer banget sih kamu. Ayo pulang!" Arlan langsung mendorng-dorong tubuh Alika masuk ke mobil untuk merubah topik pembicaraan. Tentu saja membuat Alika makin jengkel. "Dasar gak jelas banget sih!" Dumelnya misuh-misuh sebal. Kalau tadi pagi mood Arlan hancur kali ini mood nya sudah membaik. Kenapa gadis ini bisa membolak-balikkan hatinya, sih? "Berhenti sebentar, Pak!" Titah Alika tiba-tiba tentu saja membuat Arlan langsung mengerem mobilnya dadakan. "Kamu kenapa sih?!" Alika mengabaikan, gadis itu tersenyum senang melihat penjual martabak di pinggir jalan. Alika melepas seatbelt nya, sebelum keluar gadis itu tak lupa mengenakan maskernya supaya tidak dikenali. "Saya mau beli martabak dulu Pak." Grep. Alika tersentak, mengernyit menatap Arlan yang mencekalnya. "Biar saya belikan." Arlan melepas seatbelt nya dan bersiap turun. "Gak usah--" "Udah kamu diam saja." Tegas Arlan dengan mutlak membuat Alika sudah tidak dapat berkutik. Arlan selanjutnya turun dan mulai membeli martabak, Alika di balik kaca mobil memperhatikan lelaki itu. "Dia baik juga ternyata." Gumamnya tanpa sadar tersenyum kecil. Beberapa menit setelahnya Arlan sudah kembali membawa satu kotak martabak, dan menyerahkannya pada Alika. Gadis itu langsung tersenyum lebar membuat Arlan jadi ikut tersenyum melihatnya. Arlan mulai kembali melajukan mobilnya, disebelahnya Alika terlihat tersenyum sepanjang jalan membuat Arlan jadi berpikir. Apakah efek martabak sebesar itu? "Aldo pasti suka martabak nya." Gumam Alika bahagia. Ckitt!! Alika yang tidak siap harus terhuyung maju karena ulah Arlan yang mengerem dadakan. Gadis itu mendelik, mengusap jidat nya. "Kenapa sih Pak?!" "Jangan bilang kamu beli martabak buat Aldo." Alika jadi mengerutkan dahinya aneh. "Emang." Arlan tanpa sadar mencekam stir kemudi erat, sampai urat di tangannya menonjol. "Lelaki itu sudah punya pacar." Ujar Arlan akhirnya mengatakannya juga. Alika melotot, kaget dan syok. "Bapak jangan asal ngomong ya!" Arlan mengeraskan rahangnya. "Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, lelaki itu berpelukan dengan seorang perempuan!" "Kalaupun bener belum tentu itu pacarnya, memangnya Bapak sudah memastikan?!" Arlan terdiam tak habis pikir, ternyata kata orang kalau cinta itu buta memang benar. Gadis di depannya ini sudah sangat terbutakan oleh cinta. "Buka mata kamu, terima kenyataan!" Arlan mulai geram. Alika langsung menonjok d**a Arlan sampai lelaki itu mundur syok, dengan napas memburu Alika menatap Arlan penuh benci. "Saya gak percaya sama Bapak, gak usah asal fitnah!" Bentak Alika lalu turun dan berlari pergi tergesa-gesa. "Gak mungkin, gak mungkin Aldo punya pacar." Gumamnya makin mempercepat larinya, Alika tidak akan percaya begitu saja pada ucapan Bos nya itu. Alika berlari menuju rumah Aldo yang kebetulan bersebelahan dengan rumahnya, untung saja posisinya turun tadi sudah dekat dengan rumahnya. Senyum Alika langsung mengembang saat melihat mobil Aldo ada di halaman rumah, tanpa menunggu lama gadis itu masuk dengan terburu-buru. "Aldo---" Dan ucapannya langsung menggantung di udara. Saat melihat Aldo tengah mengelus mesra pipi perempuan di dalam rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD