“Mbak!”
Safana melongos saat Riko memanggil, dia terus berjalan di lorong kampus, kemudian berbelok memasuki kelas. Perlu diingat, sekali saja menjahati Safana, maka tidak ada kesempatan kedua untuk memulai pertemanan lagi. Oh! Mereka memang bukan teman, karena dari awal Riko tidak punya niat itu. Dia hanya mau tahu info Kamania dari Safana. Dasar berondong busuk!
“Permisi,” ucap Safana sopan, saat melewati deretan kursi di pojok yang sudah ditempati dua orang. “Aku boleh gabung di sini, nggak? Eh, masih kosong, kan?” Tadinya Safana ingin langsung duduk, tapi dipending dulu takutnya sudah berpenghuni. “Yang pojok sini enak. Enggak terlalu depan, tapi jelas kalau dengar penjelasan dosen.”
“Enggak ada, Mbak. Silakan pakai,” jawab salah satunya. Mereka tersenyum ramah, juga mengangguk sekali. Satu kelas memperlakukan Safana seperti ini, sopan dan segan. Karena yang paling tua, jadi bicara mereka agak beda dibanding yang sepantaran–kecuali Riko. Padahal tidak apa kalau mau santai. Safana justru suka. Kaku itu tidak bebas. “Mbak udah dapat kelompok? Kalau belum, bisa gabung sama kami. Kebetulan kami kurang satu orang.”
“Satu kelas ini ‘kan genap lima puluh. Nah, kita berdua belum buat list di grup kelas, karena masih belum cukup. Tadi malam kulihat belum ada nama Mbak di daftar kelompok lain, jadi bisa disimpulkan kalau Mbak belum masuk manapun,” sahut yang satunya lagi. Safana ingat mereka berdua, Melly dan Olin. “Jam terakhir udah diserahin ke dosen, jadi kita diburu waktu nih, Mbak.”
“Kelompok apa, ya?” Setelah bertanya dengan polosnya, Safana tetiba menepuk jidat. Bukan main kencangnya, sampai muncul bercak kemerahan dan dia kesakitan sendiri. “Maaf-maaf, aku beneran lupa. Untung kalian kasih tahu. Iya, masukin aja namaku di kelompok kalian. Atau aku ya yang isi list-nya?”
“Aku aja, Mbak. Nggak pa-pa.”
“Iya, santai, Mbak. Syukurnya kita bahas sekarang.”
Safana meringis sekaligus berterimakasih. Bergantian dia mengangguk pada Melly dan Olin, yang disambut anggukan pula dari mereka. Ngomong-ngomong mereka masih 19 tahunan, jadi sopan banget sama Safana. “Gara-gara kerja, aku jadi lupa sama ini. Tapi kayaknya nanti kalau ada tugas lagi, mesti ditulis di note tempel, terus diletakin di meja belajar supaya bisa dilihat.”
“Bagusnya gitu, Mbak. Oh iya, nanti kita bikin grup buat diskusi. Jadi kalau udah dapat tema, langsung dibahas mau ngerjainnya di mana. Kami free, kapanpun Mbak kosong, kita bisa kerjain. Waktunya ‘kan masih ada dua minggu lagi.”
“Eh, jangan. Kedengarannya aku egois. Kalian jangan sungkan gitu sama aku, santai aja. Anggap aku sepantaran, ya meskipun kenyataannya enggak,” kekeh Safana sambil menggaruk tengkuk. “Gini aja, kita diskusiin soal tempat dan tanggal di grup, aku juga bisa kapanpun keluar kalau izin. Kerjaanku yang enggak kaku-kaku amat, asal jangan sering keluar.”
“Oke!” sahut Olin semangat. “Ngomong-ngomong, Mbak kerja apa, sih? Apa majikannya baik jadi dikasih izin kapanpun misal mau pergi-pergi? Oh iya, Mbak juga sambil kuliah, memangnya nggak apa?”
“Aku pelayan kebersihan di rumah besar gitu. Soal kuliah, majikan sendiri yang kasih izin. Aku punya misi penting di kampus ini.”
“Misi? Jadi agen rahasia?” bisik Melly tertarik.
Sontak Safana tertawa, kemudian mengibaskan tangan. “Bukan, kok. Misinya ya ... belajar aja. Ini juga bentuk terima kasih atas kerja keras selama ini. Majikanku jarang senyum, tapi dia baik. Kalau istrinya baru ramah banget. Kami akrab berteman, sering ngobrol dan jalan bareng. Mungkin karena dari kalangan sederhana kali ya, jadi merakyat gitu.”
Kompak Melly dan Olin mengangguk-angguk, terlihat kalau mereka menyimak dengan baik apa yang dia jelaskan. Hal itu tanpa sadar buat Safana senang. Jarang ada yang seperti ini, sebab kerjaan Safana kadang masih dipandang sebelah mata. Padahal apa yang salah dari pelayan atau pembantu? Selagi halal mah sah-sah saja.
“Terima kasih udah ajak aku gabung di kelompok kalian. Kalau enggak, mungkin aku kebingungan sendiri, soalnya masih belum dekat sama yang lain. Aku juga nggak lihat grup tadi malam, jadi–”
“Mbak, lo tadi nggak dengar gue panggil?” Riko tiba-tiba muncul, wajahnya mengernyit kesal, mengundang tatapan tanya dari Melly dan Olin. Sementara Safana sendiri sudah mendengkus. “Ada yang mau gue bicarain, ayo keluar bentar, mumpung belum jam masuk. Enggak jauh, kok, cuma belakang kampus.”
“Duh, aku lagi sibuk, Ko. Kamu nggak lihat kalau aku lagi ngobrol sama Melly dan Olin.” Kemudian Safana mengkode mereka dengan anggukan. “Iya, kan? Kita bahas kelompok dan tempat diskusi tugas?”
“Eh, i-ya bener kami bahas itu.”
“’Kan bisa ditunda dulu, istirahat juga bisa.”
“Maaf nih, tapi aku nggak mau ninggalin mereka.”
Riko berdecak tidak suka. “Gue mau bahas kenapa lo blokir nomor gue.”
“Eh, diblokir, ya?” Mata Safana mengerjap polos, pura-pura tidak tahu. “Duh, kayaknya aku mabuk terus nggak sengaja pencet ini-itu. Maaf ya, Ko.” Lalu Safana menjilat bibir bawahnya, menampilkan wajah selugu mungkin tanpa terkesan kalau dia sebenarnya menyindir. “Sekali lagi maaf.”
“Lo nggak salah!” Setelah berucap tidak santai, Riko berdehem sekali kemudian pergi. Tersisa Safana yang cekikikan, juga mendapat tatapan tanya dari Melly dan Olin. “Sejak kapan kalian berdua dekat, Mbak?”
“Eh, enggak dekat, kok.”
“Tapi Riko bilang Mbak blo–”
“Pokoknya kami nggak temenan. Dia itu cuma ... cuma iseng,” jawab Safana asal, cari aman sebenarnya. Lagian enggak akan lagi Safana mau diajak ini-itu sama Riko. Pantang pisang berbuah dua kali, pantang Safana tertipu dua kali.
***
Seminggu setelah apartemen kapal pecah, sekarang kehidupan Shaka kembali ke sebagaimana mestinya. Bekerja di hari kerja, pulang sesekali ke rumah kalau mamanya meminta, atau berkunjung ke rumah oma dan opa kalau rindu. Sesekali dia juga akan nongkrong sama teman, tapi tidak sering-sering amat.
Safana masih Shaka ingat. Bagaimanapun perempuan menjengkelkan itu sudah membuat memori berkesan di kepala. Saking berkesannya, Shaka sampai mengumpat jika teringat. Walaupun tidak dipungkiri, ada hal yang membuatnya tertawa. Salah satu contohnya, Safana berjoget tidak karuan dalam kondisi mabuk.
Berapa kira-kira usia perempuan itu? Dulu Shaka tidak memikirkan, karena otaknya tersita pada Kamania. Sekarang pelan-pelan dia berusaha menghilangkan, karena mau tidak mau harus dikubur sebab Kamania sudah terlarang. Meskipun Shaka jengkel setengah mati pada Rajata, dia tetap waras untuk tidak merebut istri orang. Pantang Shaka mengambil langkah kotor seperti itu, kecuali kalau Kamania sudah janda.
Ya Tuhan, tanpa sadar dia mendoakan sepupunya meninggal.
Keterlaluan!
“Pak, awas kaca!”
Teriakan itu membuat Shaka mengerjap, kemudian membelokkan langkah sedikit ke arah kanan. Benar, hampir saja dia menabrak kaca pembatas gara-gara melamun. Menggelikan sekali! Apalagi ini masih di wilayah kantor. Mau ditaruh di mana nanti muka Shaka kalau dia beneran menabrak kaca?
“Kepikiran pacar ya, Pak?”
Pertanyaan sang satpam membuat Shaka nyaris mendengkus, tapi dia menutupi dengan senyum tipis. “Kerjaan, Pak. Tidak tenang saya kalau pulang dalam keadaan kerjaan belum selesai, tapi sudah terlalu capek untuk melanjutkan lagi.”
“Oalah, kirain mikirin yayangnya. Sudah, mending istirahat dulu, kerjaan cukup dikerjakan di hari kerja.” Satpam yang bernama Amin itu langsung menarik gagang pintu untuk Shaka, juga tersenyum ramah. “Selamat sore, Pak. Selamat istirahat. Hati-hati di jalan.”
“Terima kasih banyak. Bapak juga, ya.”
Setelah mendapat anggukan, Shaka mantap berjalan menuju parkiran. Di kejauhan terlihat Rajata bersama Indra, hal itu membuat Shaka berdecak kemudian memperlambat langkah. Ogah sekali terjebak dalam satu lokasi, meskipun pada kenyataannya mereka di wilayah parkiran. Muka songong Rajata benar-benar memancing Shaka untuk menonjoknya.
Ponsel di kantong celana tiba-tiba bergetar, membuat Shaka terpaksa berhenti. Dia langsung mengambil benda tipis itu, kemudian mengernyit saat mendapati nama oma muncul sebagai penelpon. “Halo, Oma?” Sapa Shaka setelah menerima panggilan.
“Shaka cucuku, malam ini kamu ada rencana, Nak?”
“Tidak ada, Oma.”
“Baguslah. Temani Oma ke rumah Rajata, mau menjenguk sekaligus lepas kangen sama mereka. Megan bilang Kama tidak enak badan, apa dia sedang hamil, ya? Oma tidak tenang sebelum memastikan sendiri.”
Shaka nyaris mengumpat, tapi untung bisa ditahan. “Bagaimana dengan opa?”
“Dia ada tamu malam ini, jadi tidak bisa diganggu. Kalau kamu setuju, nanti habis Magrib jemput Oma ke sini. Tidak akan lama, Nak. Cukup setelah memastikan kondisi Kama. Paling satu sampai dua jam. Kamu sendiri tahu kalau Raja tidak suka dikunjungi kediamannya.”
“Dan Oma sendiri tahu gimana hubungan kami.”
“Ayolah, kalian tidak selamanya mau begini, kan? Berdamai lebih baik, lagipula mereka saling mencintai, bukan yang dipaksa-paksa.”
“Aku terdengar seperti cucu tiri.” Shaka kembali mendengkus, terlebih saat mobil Rajata lewat di depannya. “Kapan Oma mau membelaku? Rajata sudah cukup dengan apa yang dimilikinya sekarang.”
“Oma selalu membelamu. Kamu saja yang tidak sadar, Nak.”
Shaka menghela napas, merasa lelah sendiri karena tahu kalau pembicaraan ini berakhir dengan oma keluar sebagai pemenang. “Ya sudah, habis Maghrib aku jemput Oma. Ingat, kita tidak akan lama di sana.”
“Ini yang Oma tunggu dari tadi.”
“Hm. Aku pulang dulu, Oma.”
“Iya, hati-hati di jalan, Nak.”
Panggilan langsung Shaka putuskan, kemudian dia kembali melanjutkan langkah. Hah, harus tahan-tahan diri lagi malam ini, karena dia menginjak wilayah kekuasaan Rajata. Semoga saja penyakit menyebalkan pria itu tidak kambuh.
***
Sehabis makan malam, Safana biasanya berjalan-jalan di area taman belakang. Kadang dia duduk di bangku hanya untuk menikmati waktu sendiri, kadang bersama Mara, atau bisa juga membawa ponsel untuk streaming lagu-lagu kesukaan.
Bagi Safana, waktu seperti ini terasa sangat berharga. Dia jarang punya me time, selain semuanya digunakan untuk bekerja, sekarang rutinitasnya bertambah dengan kuliah. Bukan Safana mau mengeluh, hanya saja sesaat dia merasa jenuh karena hidupnya disibukkan dengan yang berbau mencari uang dan menuntut ilmu. Tidak bisa menikmati seperti orang seusianya kebanyakan.
Dia ingin cekakak-cekiki di cafe, nonton di bioskop, jalan-jalan bahkan belanja di mall. Dia juga ingin punya pacar, yang tidak memandang dari pekerjaan maupun dijadikan ajang tanya karena ada yang tertarik dengan Kamania. Duh, Safana sekali lagi bilang kalau dia tidak mengeluh, hanya merasa jenuh saja.
Kalau sudah begini, dia tidak lebih dari remaja ngambek. Duduk dengan memeluk kaki, sementara kepala bertumpu di lutut. Safana hanya mengenakan gaun malam sederhana, meskipun begitu, dia tetap menarik dengan penampilan seadanya. Usia 24 tahun itu seakan tidak berpengaruh, karena nyatanya Safana punya wajah yang awet muda.
Gemersik rumput diinjak seseorang membuat Safana mendongak. Dia langsung awas menatap sekitar, mempertajam penglihatan karena cahaya taman yang temaram. Sebelah kakinya turun begitu saja ke tanah, mulai tidak tenang karena merasa ada orang lain yang datang. Me time Safana terganggu karena orang antah-berantah ini.
Dari arah samping mansion, Safana melihat seseorang menuju ke arahnya. Sontak Safana berdiri, memasang kuda-kuda bersiap untuk menghajar–kalau-kalau itu orang jahat. Tapi, siapa yang berani masuk? Mansion ini dijaga ketat. Yang berniat macam-macam, baru menginjakkan kaki di pagar saja sudah pasti langsung terkapar.
“Siapa?” tanya Safana memberanikan diri.
“Siapa?” tanya orang itu balik.
“Kamu yang siapa?”
“Kamu yang lebih dulu bertanya!”
Lho, kok sewot? Safana otomatis kesal. Dengan menghentakkan kaki, dia berjalan menantang untuk melihat rupa orang itu. Kalau salah satu penjaga mansion ini, Safana tidak akan berdiam diri. Dia cubit tangannya sampai merah, memberi pelajaran karena berhasil membuat Safana was-was.
“Aku pemilik taman ini,” klaim Safana pongah.
“Kalau begitu, saya pemilik mansion ini.”
Saat mereka dalam jarak bisa melihat wajah satu sama lain, Safana langsung menganga. Langkahnya berhenti, bak dipaku tidak bisa lanjut lagi. “Nga-nga-ngapain?” tunjuknya tidak konsisten, tapi berusaha menenangkan diri. “Tuan Muda ... ngapain?”
“Oh, ternyata si macan betina.” Shaka mengangguk sekali, lantas melipat tangan di depan dadaa. “Sejak kapan taman ini punyamu?”
“Sejak ... sejak ... Tuan Muda kenapa di sini?”
“Terserah saya, dong!”
“Pasti mau culik Nyonya Kama!”
“Hei, kamu–” Shaka sampai syok sendiri dengan tuduhan itu. Dia tertawa tidak percaya, kemudian mengambil langkah lebar supaya mereka berhadapan. “Dapat pemikiran itu dari mana? Kamu pikir saya sejahat itu, hah?”
“Y-ya siapa tahu.”
Langsung Shaka mengintimidasi Safana, membuat perempuan itu mundur dan menciut. “Kalau orang lain mendengar, mereka pasti berpikir saya orang cabull. Karena bagaimana bisa punya niat menculik istri orang.”
“Ma-maaf.”
“Mana keberanianmu tadi?”
Safana langsung menekuk kakinya, menangkup kedua tangan dengan wajah kentara resah. “Tuan Muda maaf, saya bersalah.” Tidak tertinggal, dia menepuk bibir sebagai bentuk penyesalan. “Janji tidak akan lancang lagi, jadi tolong lepaskan saya.”
“Apa jaminannya supaya saya bisa percaya?”
“H-hah, maksudnya?”
Shaka berjongkok di depan Safana, kemudian mendongakkan kepala perempuan itu dengan telunjuknya. “Saya penasaran, sejak kejadian malam itu, kenapa kita jadi bertemu lagi? Saya curiga, jangan-jangan kamu menguntit saya.”
“Hah, enggak, kok!”
Diam-diam Shaka terkekeh geli, cukup terhibur dengan wajah tegang Safana. Ngomong-ngomong, dia di sini karena tidak mau terjebak di satu ruangan yang sama dengan Rajata dan Kamania. Pasti akan jadi canggung kalau sampai Shaka bertahan di sana.
“Kamu pasti suka saya.”
Sedetik setelah pertanyaan bercanda itu keluar, wajah Shaka dibuat tertoleh karena Safana menamparnya. Benar-benar menampar yang bukan bercandaan. Sebenarnya karena refleks, tapi dia belum sadar. “Sampai ayam beranak kucing, kucing bertelur ayam, saya tidak akan suka Tuan Muda!”
***