BAB 3 – Safana dan Sindirannya

1751 Words
Semenjak kejadian menampar Shaka, Safana jadi tidak tenang ke mana-mana. Bahkan di kampus-pun dia merasa khawatir. Takut Shaka tiba-tiba muncul, lalu mematah-matah tubuh Safana jadi empat bagian, seperti ancaman yang dia layangkan saat Safana dalam kondisi mabuk. Benar-benar mengerikan!“Kenapa, Fa?” tanya Kamania heran, pasalnya sebelum dan sesudah mereka memasuki kantin, Safana tidak bisa diam. Selalu toleh sana-sini, seakan mencari sesuatu. “Safa ada janji sama yang lain, ya? Kama nggak apa misal Safa sibuk. Makan sendiri nggak bahaya, kok. Mas Aja nggak akan tahu.” “Eh, enggak, Nyo–Kama! Aku di sini aja, kebetulan lapar banget.” Safana nyengir, setelah itu dia melambai pada pelayan kantin, memesan menu seperti yang mereka rencanakan–mie ayam dan bakso. “Pulang kuliah jadi mau ke toko buku? Kebetulan aku mau beli note tempel. Soalnya habis.” “Jadi. Sudah izin sama Mas aja, katanya boleh asal nggak lama. Dia juga minta Kama aktifin ponsel, Safa juga harus sama. Supaya kalau dihubungi langsung diangkat. Sekarang tinggal kirim pesan ke Megan saja, maka semuanya beres.” “Siip, itu jadi bagian aku.” Jempol Safana teracung sempurna. Dia menatap Kamania dengan sudut bibir melengkung ke atas. Interaksi mereka benar-benar lepas. Safana senang Kamania tidak menarik garis perbedaan saat mereka di luar mansion. “Jurusan musik itu gimana, sih? Banyak nyanyinya ya ketimbang tulis menulis?” “Enggak juga. Dasarnya ‘kan materi dulu, baru nanti praktik.” Obrolan mereka sempat terjeda karena pelayan kantin datang. Kompak Safana dan Kamania menyebutkan pesanan mereka, dengan wajah berseri-seri karena di rumah tidak ada menu sejenis ini–karena Rajata ingin yang sehat-sehat untuk istri tercinta. “Kama kayaknya mesti beli permen buat tenggorokan, deh. Jaga-jaga biar nggak radang.” “Memangnya udah sakit?” “Belum, buat jaga-jaga saja.” “Oooh.” Safana mengangguk-angguk mengerti, kemudian dia menengok sekali lagi karena masih merasa was-was. Shaka memang menakutkan, keberadaannya mengancam, ditambah ulah Safana yang di luar akal, makin kompleks rasa khawatirnya. “Kama, aku mau nanya, kamu tuh masih temenan nggak sama tuan muda?” “Tuan muda siap–oh, Kama tahu! Shaka, kan? Iya, masih temenan, tapi nggak bisa dekat lagi, karena Mas Aja bisa cemburu. Sebenarnya canggung juga, sih, karena Kama tahu Shaka gimana.” Keningnya mengernyit tidak yakin saat menatap Safana balik. “Eh, apa sekarang sudah berubah, ya? Nggak tahu, intinya begitulah, Fa.”  “Kamu pernah suka nggak sama tuan muda? ‘Kan katanya lebih dulu kenal Shaka dibanding ... Tuan Raja.” “Enggak, dia cuma teman. Nggak lebih dari itu.” “Oh, kasihan.” “Siapa yang kasihan, Fa?” “Nggak, nggak ada.” Safana nyengir lagi, kemudian dia berseru senang saat pesanan mereka datang. Bakso dan mie ayam, paket komplit dengan es teh. Bahkan hanya melihat saja, Safana dibuat ngiler sengiler-ngilernya. Ini surga dunia sesungguhnya. “Nanti kalau Tuan Raja perjalanan dinas, kita bikin ini aja, deh. Supaya bisa makan banyak-banyak.” “Tapi rumah ada cctv-nya. Mas Aja punya mata di mana-mana,” bisik Kamania seraya mengusap sendok dan garpu dengan tisu. Dia juga meracik bumbu untuk mie ayam plus ceker dan sayap. “Kama sebenarnya belum pernah nanya, orang kayak dia tuh pernah nggak ya makan kayak ginian?” “Kamu aja nggak tahu, apalagi aku.” Dihirup Safana kuah baksonya, kemudian mengerang pelan karena begitu nikmat. “Kama, ayo dong rayu Tuan Aja, supaya izinin Lita sama Lira bikin mie ayam sama bakso di mansion. Please, kita makannya pasti enggak maruk-maruk amat. Dibagi-bagi juga sama yang lain. ‘Kan penghuninya cukup banyak.” “Safa mau banget, ya?” “Iya, banget.” “Ya udah, nanti aku coba minta izin.” “Yeay! Kamu memang terbaik!” Otomatis Safana mencubit pipi Kamania, lampiasan rasa senang dan gemasnya. “Setahun, dua tahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun lagi, aku bakal mau terus kok jadi pelayanmu. Tapi, enggak jadi ah, aku nggak mau seumur hidup jadi pelayan. Mau sekali-sekali jadi nyonya, deh.” “Aaamiin,” sahut Kamania sembari terkikik geli. *** Mereka di mall, mencari barang-barang kebutuhan Kamania. Setelah ketemu dan membeli, mereka kemudian mampir di starbucks hanya untuk menikmati milk shake juga frapuccino. Mereka duduk di dekat kaca, mengobrol sembari melihat-lihat sekitar. Berkat Kamania, Safana merasa jadi remaja gaul kebanyakan. Banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari tugas sampai bahasan Safana kalau dia besok akan keluar siang-siang. Ada janji dengan Melly dan Olin, mengerjakan makalah yang akan dikumpul hari rabu. Safana membawa motor sendiri, sebab Olin sudah mengirim alamat kostnya di grup mereka. “Anak jurusan musik gimana? Mereka kalau bicara suaranya pasti adem semua.” Safana berkata sambil membayangkan, sebab Kamania saja begitu lembut pas ngomong. “Aku kalau ke ruanganmu pasti ngantuk. Berasa dinina boboin sama tiga puluh orang Lyodra. Adem, halus, ada yang serak-serak basah, pokoknya mantap.” “Enggak kayak gitu, tapi mereka semua memang bagus. Kama jadi merasa ... di kelas itu mungkin Kama sendiri yang kurang, karena seperti yang Safa bilang, suara mereka kayak Lyodra. Setiap latihan, Kama dengarnya jadi insecure. Mereka itu tipe yang ketemu bakat langsung diasah, nggak seperti Kama sempat kejeda.” “Enggak apa, suara kamu bagus, kok. Serius. Aku, Mara sama Megan mengakui. Tuan Raja juga pasti iya.” Mendengar nama suaminya disebut, Kamania langsung tersipu. Pada dasarnya orang yang paling sering mendengar nyanyian Kamania adalah Rajata. Pria itu juga tidak ragu menyanjung sang istri, bahkan rela mengeluarkan biaya mahal-mahal demi les Kamania. Tapi sebanyak apa pun pujian, rasa insecure memang tidak bisa dihindari. Datangnya tidak menentu dan kebetulan setiap mereka masuk ruang latihan, Kamania sering merasakannya di sana. “Kayaknya Kama harus belajar bersyukur lagi, deh, soalnya–” Omongan Kamania terjeda karena ponsel di dalam sling bag berdering. Lewat isyarat mata Kamania meminta izin untuk mengangkat, yang dibalas Safana dengan anggukan seraya menyesap kembali prafuccino-nya kembali. Tatapan Safana mengedar ke sekeliling, kakinya mengetuk-ngetuk lantai tanda sangat menikmati. Safana berpikir, betapa beruntungnya dia bertemu majikan seperti Kamania. Karena bisa merasakan kehidupan seperti ini. Meski statusnya pelayan, Kamania tidak segan menganggap Safana teman. Benar-benar kasta tidak pernah dipertimbangkan di mata perempuan itu. Saat dia mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk, Safana nyaris tersedak karena melihat Riko dan beberapa orang berjalan menuju kasir untuk memesan. Refleks Safana menutup wajah, supaya tidak dilihat dan dikenali. Percaya diri memang dia, tapi tidak ada salahnya jaga-jaga. Pikiran Riko tidak tertebak. Tidak mendatangi Safana, mungkin dia gentle mau menyapa Kamania langsung. “Fa, kayaknya ... Kama pulang duluan,” ujar Kamania tiba-tiba, membuat Safana menoleh kaget. “Itu ... Mas Aja katanya susulin ke sini. Tapi, Kama harusnya jalan juga, supaya dia enggak jauh nyusulnya.” “Eh, aku gimana?” “Ini, Mas aja titip kasih uang.” Kamania lantas menyodorkan lima lembar seratusan ribu, membuat Safana ngiler tapi tahan diri. Tidak boleh murahan di depan uang. “Katanya Safa bisa naik taksi nanti. Maaf ya, Fa. Maaf banget, soalnya Mas Aja dadakan ke sini. Kama juga nggak tahu.” “Iya, nggak pa-pa. Kamu perlu aku temenin, nggak?” “Nggak usah. Makasih banyak ya, Fa. Kama pulang dulu.” “Hati-hati di jalan. Makasih buat ongkosnya, sama Tuan Raja juga bilangin makasih.” Kamania mengacungkan jempol, dia langsung beranjak setelah melambaikan tangan pada Safana. Sekarang tersisa Safana sendiri, nelangsa tapi masih sempat cengar-cengir saat memasukkan uang ke dalam dompet. Ingatan tentang Riko hilang begitu saja, berganti dengan kesenangan dapat rezeki tidak terduga. Safana memang ada uang, tapi jauh lebih enak kalau dikasih orang lain uang. Enak banget pokoknya. Sekarang dia juga siap-siap pergi, mau keliling-keliling dulu supaya senang. Tidak berbelanja, ya cuci mata. Memang sejak zaman batu, mall tidak akan pernah jadi tempat main Safana. Dia itu cocok sama pasar tradisional, beli pakaian yang bisa ditawar-tawar. Atau pengejar diskonan dan gratis ongkir di online shop. Saat Safana meninggalkan meja, sebuah panggilan otomatis membuatnya memejamkan mata. ‘Kan, apa dia bilang? Riko pasti memanggil kalau melihat Safana. Entah apa motivasinya, intinya Safana tidak suka. Mereka bermusuhan sekarang. Berondong minim akhlak memang sepantasnya dijauhi. “Mbak!” Tidak memperdulikan sekitar, Safana bergegas keluar. Langkahnya cepat, sembari melindungi wajahnya dengan telapak tangan supaya Riko tidak melihat. Percuma memang, tapi tidak ada salahnya juga mencoba. Lagian Safana cukup malu, karena dilihat banyak orang. “Lo nggak bisa giniin gue, Mbak. Ada yang mesti gue bahas dan lo harusnya kasih gue waktu buat ngomomg.” Karena jengah, Safana langsung menghentikan langkah. Dia menoleh dengan wajah kesal, bertolak pinggang seakan menantang. “Apalagi? Riko, harusnya kamu tahu, setelah aku blokir tuh kita nggak boleh dekat lagi. Untuk temenan-pun kita nggak cocok, soalnya kamu bawa pengaruh buruk–” Mulut Safana tiba-tiba dibungkam, membuat matanyaspontan melotot. “Udah, ke tempat sepi dulu. Malu gue, Mbak.” Kemudian Riko beralih meraih tangannya, menggenggam–menyeret–menuju tempat sepi versinya. Setelah itu Riko berhenti, berikut melepaskan tangan Safana. “Begini, pertama gue merasa bersalah banget. Gue minta maaf karena nggak ngasih tau lo kalau itu minuman beralkohol. Kedua, niat gue soal temen lo–” Safana yang gemas, langsung mencubit bibir Riko. Sampai dia mengaduh dan mengerang kesal. “Begini, Dek!” Bahkan panggilan ‘dek’ sampai dia tekan, supaya Riko mengerti batasan. “Enggak pa-pa, enggak usah dipermasalahin lagi. Aku oke, baik-baik saja, aman, dan sehat. Sekian, terima kasih, assalamualaikum.” Selangkah Safana berbalik, si Riko kurang ajar malah bersuara lantang, “Lo tidur sama cowok itu, kan?” “Mulutmu mau kujejelin kemoceng, ya?!” Kening Riko sampai mengernyit, dia tidak suka diabaikan, itu sebabnya dia jadi lancang. “Dia pacar lo, kan? Nggak mungkin dia nolongin lo kalau nggak kenal. Atau paling nggak, dia udah ngincer lo dari awal kita masuk.” “Dia itu mau sama aku tapi aku tolak!” Wow! Safana kaget sendiri dengan kebohongan yang dia buat. “Jadi, kamu jangan macam-macam. Gini-gini aku banyak yang suka. Kamu itu enggak ada apa-apanya dibanding yang mau cem-cemin aku. Satu lagi, nggak ada yang jadiin aku bahan buat dekatin seseorang. Paham?” Setelah mengomel panjang lebar, Safana melanjutkan langkahnya angkuh. Kepala bahkan didongakkan setinggi-tingginya, sampai dia sendiri kesulitan melihat jalam. Norak emang, tapi Safana mencoba percaya diri–paling tidak sampai dia menghilang dari hadapan Riko banci bermulut kaleng rombeng itu. Melewati belokan, Safana makin mempercepat langkah kemudian iseng berbalik. Dia langsung menghela napas lega, bersyukur banyak-banyak karena Riko tidak mengikuti lagi. Mamam tuh sindiran, semoga dia sudah kena mental aamiin, doa Safana dalam hati. Senang sekali dia berhasil men-skak mat Riko yang sangat kepedean. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD