4

1123 Words
"Atau kau mau berlatih sebagai soloist?" Aera semakin terperangah. Apa bosnya ini sedang bercanda? Menjadi idol saja masih Aera anggap mustahil, apalagi soloist. Dia mau apa di panggung sendirian dengan bakat menyanyi dan rapnya yang pas-pasan? Ingin sekali Aera berkata kalau dirinya hanya ingin menjadi dancer. Tidak lebih dan kurang. "Bagaimana?"   Aera tersentak ketika tangan Pak Jung menyentuh lututnya, setengah meremasnya pelan. Untung saja Aera mengenakan celana jeans panjang sehingga tidak langsung menyentuh kulitnya. Dengan refleks gadis itu bergeser sehingga tangan Pak Jung lepas dari lututnya. "Ma—maaf Pak, apa itu tidak terlalu cepat? Saya baru berlatih sebulan. Masih banyak yang perlu saya pelajari." "Itu masalah gampang. Mendebutkan girlgroup lebih gampang daripada boygroup saat ini." Aera mengernyit. Lebih gampang katanya? Lalu kenapa belum ada satupun grup yang didebutkan oleh agensi ini kalau memang mendebutkan girlgroup segampang itu. "Kalian hanya perlu membuka kaki kalian lebih lebar dari girlgroup lain untuk mendapatkan tempat di panggung." Aera tidak menangkap maksud lain dari ucapan Pak Jung sepenuhnya karena keterbatasan bahasa Korea Aera. Empat belas tahun tidak menggunakan bahasa Korea membuat kosa-kata Aera dalam bahasa Korea sedikit dan minim. Kalau bukan dengan keluarganya, Aera hanya akan bicara dengan bahasa Inggris. Dua tahun belakangan ini Aera kembali mempelajari bahasa Korea lagi ketika memutuskan akan kembali tinggal di sana. Itupun masih sedikit canggung dan banyak kosa kata yang tidak ia mengerti atau sulit ia ungkapkan. Merasa Aera tidak merespon negatif akan ucapannya, Pak Jung merasa diberi lampu hijau. "Kau hanya perlu mengangkat rokmu sedikit dan kau bisa menguasai para petinggi dunia hiburan, Aera, biarpun kau kecil kau 'berisi'." Pak Jung berucap sambil membelai pipi Aera dan mendekatkan wajahnya. Saat itulah Aera merasakan bahaya sedang mengintainya. Dengan refleks ia mendorong Pak Jung hingga pria paruh baya itu terdorong ke belakang. Aera berdiri dengan nafas terengah. "WHAT THE HELL! APA MAKSUDMU, PAK JUNG?" Pekiknya. Pak Jung berdecih. "Ck. Kukira kau lebih 'terbuka' dari gadis-gadis lain, Aera. Bukankah kau lama tinggal di luar negeri? Bukan kah s*x menjadi makanan sehari-harimu?" Aera tidak pernah merasa lebih terhina daripada ini. Tidak ada hubungannya dengan tinggal di luar negeri dan menjadi murahan. Dasar lelaki kurang ajar! "Akan aku laporkan kau—" "Laporkan saja. Kau pikir akan ada yang percaya? Aku bisa saja memutar fakta bahwa kau yang menggodaku untuk sebuah posisi di grup yang akan debut." Aera mengepalkan tangannya. "Saya keluar!" serunya sambil menyandang ranselnya yang tergeletak di sofa. Dia pikir Pak Jung menyerah. Tetapi sayangnya lelaki itu belum 'selesai'. Ia menarik tangan Aera hingga gadis itu terjatuh di sofa. "Kau pikir kau bisa pergi begitu saja setelah menghabiskan banyak uang di sinI?" Aera berusaha keras melepas kungkungan Pak Jung namun apalah daya, Aera hanyalah perempuan dan tubuhnya pun bisa dibilang mini sedangkan Pak Jung selain gempal juga cukup berotot untuk ukuran bapak-bapak. "Lepaskan aku!" Jerit Aera yang dibalas Pak Jung sebuah cengkraman di dagu. "Bayar ganti rugi semua biaya pelatihanmu selama menginjakan kakimu di sini baru kau pergi, jalang sialan!" Aera meronta namun sayangnya tenaga Pak Jung jauh lebih kuat. "Tidak bisa, kan? Kalau begitu bayar saja dengan tubuh hinamu ini!" Aera menancapkan kukunya pada tangan Pak Jung yang mencengkram dagunya membuat pria itu mengaduh dan melepaskan tangannya dari dagu Aera. Tepat saat itu pintu kantor menjeblak terbuka dan menampilkan sosok Jaebin. Melihat keadaan Aera yang sedikit acak-acakan dan Pak Jung yang tengah mengaduh memegangi lengannya di sofa dengan keadaan yang juga berantakan membuat Jaebin sadar kalau dia sudah terlambat. Melihat pintu yang terbuka, buru-buru Aera berlari keluar meninggalkan Jaebin dan Pak Jung. Tidak peduli meskipun Jaebin yang mencoba memanggil-manggilnya. Aera hanya ingin pergi jauh dari tempat itu secepatnya. Aera sampai di taman yang ada di pinggir sungai Han yang kebetulan memang tidak begitu jauh dari kantor agensinya. Oh atau bisa dibilang bekas kantor agensinya. Aera bahkan tidak sudi mengakui kantor agensi itu mengingat apa yang baru saja terjadi.   Aera duduk di kursi kayu yang hanya diisi oleh satu orang laki-laki yang tidak terlalu Aera pedulikan keberadaannya.   Saat kejadian, Aera sama sekali tidak menangis meskipun ia ketakutan setengah mati. Tetapi kini semua pertahanannya runtuh dan tubuhnya gemetar. Aera terisak dengan cukup keras, melampiaskan ketakutan dan kemarahannya karena sudah dilecehkan dan direndahkan. Tidak peduli hal tersebut sudah berhasil menarik perhatian laki-laki yang duduk di kursi yang sama dengannya. Beruntung suasana di sekitar mereka sepi malam itu. Mungkin karena besok masih weekday, tidak banyak orang yang berlalu lalang. Kalaupun ada mereka hanya mengira Aera gadis yang habis putus cinta atau patah hati. Termasuk laki-laki bermasker yang kini tampak panik melihat Aera menangis nyaris meraung seperti srigala kelaparan. Jimin, laki-laki yang kebetulan ada bersama Aera saat itu menggaruk rambutnya sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari bala bantuan. Yang tentu saja tidak ada. Bantuan apapula yang bisa diberikan bahkan Jimin saja tidak tau kenapa gadis yang tadi datang sambil berlari-lari itu tiba-tiba menangis. Jimin sudah akan menepuk bahu gadis itu dan mencoba untuk menawarkan bantuan—entah apapun itu—saat kelebat ingatannya tentang Ahn Sora, mantannya kembali. Ah, pantas saja sedikit dejavu, saat itu Jimin juga menemukan Ahn Sora tengah menangis. Dari memberi bantuan hingga akhirnya mereka dekat dan pacaran yang berakhir tidak baik tentu saja. Jimin menggeleng, mencoba mengenyahkan bayangan tentang mantan pacarnya itu sambil menarik tangannya yang sudah terulur. Tidak lagi, Jimin. Jimin mengurungkan niatnya untuk memberikan bantuan meskipun rasanya sedikit jahat. Jimin yang tidak pernah bisa melihat orang lain kesusahan itu tentu saja tidak tega. Tetapi demi kebaikannya dan HTS, tentu saja Jimin harus mencoba menjadi orang tega kali ini. Jimin akhirnya memilih untuk membalikkan badan dan meninggalkan gadis itu menangis sendirian. Orang lain akan membantunya nanti. Itulah yang Jimin rapalkan dalam hati seiring langkahnya yang semakin menjauh. Tetapi tidak bisa bohong, semakin banyak langkah yang Jimin ambil untuk menjauh, bayangan gadis itu justru semakin jelas. Jimin berdecak. Akhirnya Jimin berlari kembali ke tempat ia duduk semula. Tentu saja gadis itu masih di sana. Menangis sesegukan dengan wajah menunduk. Pasti gadis itu juga tidak sadar sejak tadi menjadi pusat kegelisahan Jimin. Jimin meletakkan jaket denim yang ia kenakan di sebelah gadis itu. Siapa tau nanti gadis itu butuh untuk mengelap air mata dan ingusnya, Jimin relakan jaket berharga jutaannya itu sebagai ganti karena ia tidak bisa memberi pertolongan meskipun itu sama sekali bukan kewajibannya. Jimin mengangkat tangannya yang terkepal. Menunjukkan gestur penyemangat sambil menggumam, "Apapun masalahmu agasshi, fighting!" Lalu Jimin berlalu meninggalkan gadis itu sebelum menyadari kehadirannya. Takdir memang kadang selucu itu. Entah sejauh apa jarak terbentang, sebanyak apa waktu berputar selalu ada cara untuk mempertemukan sepasang anak manusia dalam satu kisah. Pertemuan mereka malam ini mungkin tidak bermakna, bahkan bisa jadi salah satu dari mereka tidak menyadari akan adanya pertemuan malam ini. Tetapi satu yang pasti, malam ini adalah lembaran pertama dari kisah mereka. Entah bagaimana akhirnya nanti mari kita serahkan pada takdir yang mengukir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD