Setelah semalaman meringkuk di tempat tidurnya dengan air mata yang terus mengalir, pagi ini Zka terbangun dengan kepala yang sangat berat. Ia sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa.
Ia tidak ingin bangun, ia tidak ingin pergi kuliah. Ia hanya ingin mengurung dirinya di kamar. Apalagi membayangkan harus bertemu dengan Eldo di meja makan, ia tidak sudi.
Namun kesendiriannya terusik ketika pintu kamarnya terbuka.
"Nona, Anda sudah bangun?" Maria masuk dengan membawa nampan di tangannya.
"Ada apa, Maria?" tanya Zka dengan suaranya yang terdengar serak.
"Anda tidak ke kampus, Nona?" tanya Maria heran. Biasanya Zka akan pergi sepagi mungkin.
"Aku sedang tidak ingin." Zka menarik selimutnya dan bergelung malas.
"Anda kurang sehat?" Maria terlihat sedikit cemas.
"Entahlah."
"Kalau begitulah makanlah dulu, Nona. Mungkin Anda akan merasa lebih baik setelah makan," saran Maria.
"Letakkan saja di sana, Maria. Aku belum ingin makan." Zka melirik tanpa minat ke arah makanan yang Maria bawakan.
"Anda ingin saya panggilkan dokter?"
"Tidak perlu, Maria. Aku hanya ingin tidur." Zka sengaja memejamkan matanya agar Maria meninggalkan kamar ini secepatnya.
"Kalau begitu saya permisi, Nona." Baru saja Maria berbalik, ia teringat sesuatu. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Oh, ya! Hampir saja saya melupakan ini."
"Apa itu?" tanya Zka tanpa minat.
Maria meletakkan bungkusan kecil di dekat makanan untuk Zka. "Minumlah ini secepatnya, Nona."
"Obat apa itu, Maria?" Zka mengernyit heran. Maria belum tahu ia sedang sakit saat ke kamarnya, tapi kenapa wanita itu sudah menyiapkan obat untuknya?
"Ini morning pill," ujar Maria canggung.
"Morning pill?" Zka tidak bodoh. Ia tahu obat apa yang Maria bawakan.
"Iya, Nona. Tuan Eldo yang meminta saya memberikannya pada Nona."
Zka terhenyak. Ia sama sekali tidak berpikir ke arah sana sebelum Eldo menyuruhnya meminum morning pill itu. Dua kali pria itu menidurinya tanpa pengaman sama sekali. Zka tidak bisa membayangkan jika sampai dirinya hamil karena pria itu. Bahkan untuk sekedar dibayangkan saja rasanya terlalu mengerikan.
Ponsel Zka berdering dan ia meraihnya. Ketika dilihatnya ibunya yang menghubungi, Zka langsung mengangkatnya. "Ya, Mom?"
"Zka, lelucon apa ini?" Suara Yvone terdengar gusar.
"Ada apa, Mom? Kau terdengar kesal?"
"Bagaimana aku tidak kesal? Bercandamu tidak lucu, Valenzka!" Kini ibunya terdengar marah.
"Mom, aku tidak mengerti. Jelaskan padaku apa yang membuatmu kesal?"
"Aku sudah menerima kirimanmu."
"Kiriman apa, Mom? Aku tidak merasa mengirim apa-apa padamu."
"Baru saja seorang kurir datang dan membawakan kiriman untukku. Di kotak itu tertulis namamu sebagai pengirimnya. Dan kau tahu apa isinya? Sebuah lingerie, Valenzka!"
"Mom?" Zka termangu. Pikirannya bekerja dengan cepat, dan sepertinya dia tahu ulah siapa ini.
"Untuk apa kau mengirimkan barang semacam itu untukku? Aku sudah tidak berminat memiliki kekasih, dan aku sudah terlalu tua untuk itu." Yvone terdengar tersinggung.
"Oh, astaga, Mom! Maafkan aku," ujar Zka cepat-cepat.
"Kau sadar sekarang kalau bercandamu konyol?"
Zka dengan cepat membuat dalih, semoga saja ibunya akan percaya. "Bukan begitu, Mom. Hadiah itu kubeli untuk temanku, dia akan segera menikah. Sepertinya aku salah menuliskan alamat. Nanti aku akan mengambilnya, Mom."
"Jadi itu bukan untukku?" Yvone memastikan.
"Tentu saja bukan, Mom. Mana mungkin aku memberikan barang menjijikan semacam itu untukmu." Barang menjijikan yang sekarang begitu sering dipakainya.
"Baiklah kalau begitu. Maaf aku sudah memarahimu, Sayang."
"Tidak apa, Mom. Maafkan kecerobohanku juga."
Setelah mengakhiri pembicaraan dengan ibunya, Zka membenamkan wajahnya di atas bantal. Lama-lama dia bisa gila. Zka tahu itu pasti ulah Eldo untuk memperingatkannya. Zka harus lebih berhati-hati lagi jika ingin menemui ibunya. Ia tidak tahu hal apa lagi yang akan dilakukan Eldo kepadanya jika ia berani melanggar perintahnya.
***
"Nona, maaf mengganggu." Maria masuk ke kamarnya dengan membawa sebuah kotak berukuran cukup besar di tangannya.
"Ada apa lagi, Maria?" tanya Zka malas.
"Tuan Eldo mengirimkan ini untuk Anda."
Zka meraih kotak yang Maria letakkan di sudut tempat tidur dan membukanya. "Untuk apa ini?"
"Tuan Eldo ingin Anda ke kantornya, dan ia ingin Anda memakai pakaian ini."
"Tapi ini masih siang, Maria. J Club bahkan belum beroperasi."
"Bukan ke J Club, Nona. Tapi kantornya yang lain."
"Di mana?"
"Saya juga kurang tahu kantor yang mana yang Tuan Eldo maksud. Tapi supir yang akan mengantarkan Nona sudah tahu harus membawa Anda ke mana."
"Pukul berapa aku harus ke sana?"
"Sekarang juga, Nona."
"Kau boleh turun sekarang. Aku akan bersiap dulu."
Tidak butuh waktu lama, Zka sudah berganti pakaian. Ia memandang dirinya di cermin dan merasa mual. Ia tidak pernah terpikir akan pernah berpakaian seperti ini, apalagi untuk berkeliaran di luar rumah. Eldo benar-benar gila!
Zka lebih terkejut lagi ketika supir itu mengantarnya ke Center Point, sebuah gedung perkantoran resmi. Zka tahu Center Point adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. Produk yang dipasarkannya seperti pakaian, tas, sepatu, kosmetik, dan parfum.
Zka tidak tahu jika Eldo memiliki bisnis legal di luar bisnis gelapnya. Selama ini, ia tahu dari Joana bahwa Eldo memiliki usaha-usaha lain selain J Club, tapi Joana tidak pernah mengatakan tentang yang satu ini. Dan sekarang pria gila itu memintanya datang ke Center Point dengan berpenampilan layaknya w************n.
"Nona, Anda bisa turun sekarang. Tuan berpesan agar Anda langsung ke ruangannya." Sang supir memintanya turun setelah mobil itu berhenti di depan lobi.
Meski enggan, mau tidak mau ia harus turun dan menemui Eldo. Ia tidak ingin pria gila itu melakukan hal yang lebih gila lagi padanya. Zka harus menahan rasa malunya ketika orang-orang yang ditemuinya menatapnya dengan pandangan berbeda. Ia bisa melihat pandangan menghina dari para wanita, sementara para pria menatapnya penuh nafsu. Zka mencoba tidak mempedulikannya, ia berjalan cepat-cepat menuju ruangan Eldo.
Zka sudah sampai di lantai tempat ruangan Eldo berada. Suasana di sana lengang, dan itu membuat Zka merasa lega.
"Apakah Anda, Nona Valenzka?" sapa gadis yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.
"Benar."
"Silakan masuk, Nona. Tuan Eldo sudah menunggu." Gadis itu membuka kembali pintu yang baru ditutupnya dan mempersilakan Zka masuk.
Zka masuk dan segera meluapkan kemarahannya. "Mau apa menyuruhku datang ke sini?!" tanya Zka tanpa basa-basi.
"Ingin saja." Eldo memandangi Zka dari balik meja kerjanya sambil tersenyum mengejek.
"..." Zka begitu geram melihat tingkah Eldo.
"Hari ini kau tidak kuliah, jadi kenapa tidak menemaniku saja di sini." Eldo berdiri, mengitari meja kerjanya dan mendekati Zka.
"Untuk apa aku menemanimu di sini?"
Eldo meraih tubuh Zka dan memeluk pinggangnya. "Tentu saja untuk memuaskanku."
Zka mencoba melepaskan diri dari pelukan Eldo. "Apa kau gila? Kau sedang bekerja!"
"Aku bisa tetap bekerja sambil kau memberiku kepuasan." Eldo berjalan mundur secara perlahan sambil membawa Zka dalam pelukannya.
"Tapi kenapa harus di sini? Kau bisa melakukannya di rumah, bukan di sini."
Tubuh Eldo sudah membentur meja kerjanya. Kini ia memutar posisi mereka, mengangkat tubuh Zka dan mendudukkannya di atas meja kerjanya. "Apa salahnya jika aku ingin di sini?"
"Kau tidak tahu bagaimana orang-orang menatapku sepanjang aku turun dari mobil hingga aku sampai di ruanganmu ini. Kau membuatku terlihat seperti p*****r sewaan."
"Memang seperti itulah dirimu. Benar, bukan?" Jari Eldo menyusuri belahan d**a Zka yang terekspos sempurna. Eldo suka merasakan sensasi menyenangkan yang ditimbulkan setiap kali ia menyentuh kulit Zka.
Eldo membuka kaki Zka dan melingkarkannya di pinggangnya agar tubuh mereka bisa saling melekat. Eldo meraih wajah Zka dan mulai mencumbunya perlahan. Sebelah tangannya yang lain digunakan untuk membelai punggung Zka yang terbuka.
"Apakah pintunya terkunci?" tanya Zka di sela ciuman mereka. Ia kini tidak terlalu memikirkan Eldo yang akan kembali menidurinya, yang ia cemaskan ialah jika sewaktu-waktu ada orang yang masuk ke ruangan ini dan melihat mereka.
Tangan Eldo mulai menurunkan bagian lengan gaun Zka dan membuatnya langsung merosot turun. Kini p******a indah Zka terpampang di hadapan Eldo, karena gadis itu tidak mengenakan bra lagi di balik pakaiannya. "Apakah itu penting?"
"Tentu saja! Aku tidak ingin ada yang melihatku dalam kondisi seperti ini." Zka berusaha menahan agar pakaian itu tetap menutupi tubuhnya yang kini sudah setengah telanjang. Ya, Tuhan! Zka tidak pernah membayangkan dirinya akan duduk mengangkang di atas meja kerja seorang pria dalam kondisi hampir telanjang.
"Kalau begitu biarkan saja terbuka. Aku suka jika mereka melihatmu begini." Sebelah tangan Eldo meremas lembut p******a Zka yang terasa begitu pas dalam genggamannya, sementara lidahnya mulai menjilati puncaknya. Eldo mengulumnya sambil sesekali mengigitnya pelan. Tangannya yang satu lagi mulai mengangkat bagian bawah gaun Zka, kemudian menarik turun kain pakaian dalam yang masih menutupi bagian intim gadis itu.
Entah mengapa Eldo tidak dapat menahan dirinya. Eldo membenci gadis yang tengah berada dalam dekapannya ini, itu jelas. Namun Eldo tidak dapat menampik jika tubuhnya menginginkan gadis itu. Ia ingin kembali merasakan berada di dalam Zka, meski gadis itu sama sekali tidak merespon setiap sentuhannya.
Eldo menurunkan celananya sedikit tanpa benar-benar membukanya dan segera menyatukan dirinya dengan Zka. Gadis itu hanya diam saja, tidak meronta seperti sebelumnya tapi tidak juga menyambut Eldo. Zka memilih diam karena percuma saja meminta belas kasihan pada Pria Iblis di hadapannya ini. Ia hanya bisa memandang penuh rasa benci pada Eldo, berharap dalam hati jika suatu saat ia bisa melenyapkan pria ini.
"Sir, ini berkas yang Anda-" Gadis yang tadi ditemui Zka di depan pintu tiba-tiba menghambur masuk ke dalam ruangan. Gadis itu membeku di tempat dan refleks memutar tubuhnya.
"Kembalilah lagi nanti, Patrice." Eldo menoleh sesaat sebelum melanjutkan kembali apa yang sedang dilakukannya.
"Sorry, Sir!" Gadis yang Eldo panggil Patrice tergesa-gesa menghilang di balik pintu.
Tepat setelah Eldo menuntaskan hasratnya, Zka mendorong tubuh Eldo agar menjauh darinya. "Itukah tujuanmu melakukan ini? Kau sengaja ingin orang lain melihat apa yang kita lakukan di sini? Apa kau sengaja ingin membuatku malu?"
Eldo merapatkan kembali tubuhnya dan mencengkeram bahu Zka kuat-kuat. "Benar. Aku akan mempermalukanmu sampai kau tidak memiliki harga diri lagi untuk menatap siapa pun. Aku akan menghancurkan hidupmu sampai kau tidak memiliki apa pun lagi untuk dibanggakan. Sebesar itulah aku membencimu dan semua orang yang berhubungan dengan dia."
Zka ngeri melihat kebencian yang terpancar dari mata Eldo untukunya. "Kenapa kau begitu membenciku? Apa aku pernah berbuat salah padamu? Dan siapa dia yang kau maksud?"
"Belum saatnya kau tahu." Eldo melepaskan Zka dan berjalan menjauh. "Pergilah. Aku sudah tidak membutuhkanmu untuk hari ini."
Zka terperangah. Pikirannya masih mencoba mencerna maksud perkataan Eldo sebelumnya. Ia masih menerka-nerka apa yang membuat pria ini begitu membencinya. Kini pria itu malah mengusirnya begitu saja. Eldo benar-benar memperlakukannya seperti p*****r.
Ketika Zka sedang memakai kembali gaunnya, Eldo melemparkan sesuatu ke arah Zka.
"Minum itu," ujar Eldo yang kini sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Apa itu?" Zka mengernyit menatap sekotak obat yang terjatuh di dekat kakinya.
"Pil untuk mencegah kehamilan."
"Kau sudah menyuruhku meminumnya tadi pagi."
"Itu berbeda. Kau tidak mungkin terus menerus meminum morning pill, itu hanya untuk situasi darurat. Minumlah ini secara teratur. Ikuti aturan pakainya. Aku tidak ingin melihatmu hamil," ujarnya dingin.
"Apa kau pikir aku ingin hamil? Aku tidak berniat mengandung anakmu, bahkan membayangkannya saja aku tidak sudi," balas Zka tajam.
***
--- to be continue ---