Pernikahan megah impian semua orang itu digelar dengan dihadiri banyak sekali kolega bisnis dari kalangan atas. Nama Jayden dan Ethan sendiri sudah malang melintang dalam kancah nasional hingga setiap berita kecil pun bisa menjadi besar. Segelintir gosip mulai bermunculan karena pernikahan itu sebelumnya akan dilangsungkan oleh keluarga dari Atmajaya, tiba-tiba saja di hari H para tamu undangan dibuat terkejut karena pengantin pria diganti dari keluarga Leonard.
Banyak asumsi pada hati tamu undangan namun mereka menyimpan rapat tanda tanya itu karena ingin hidup aman tentram. Bersinggungan dengan dua keluarga penguasa itu jelas ide yang sangat buruk.
Keluarga Jayden turut menghadiri acara tersebut. Matthias—pria yang seharusnya kini menggandeng tangan Heera menuju altar pernikahan, kini berdiri dengan raut wajah yang dingin bersama keluarganya. Sorot matanya sangat dingin dengan aura membunuh yang kental. Tepat ketika pintu ruangan terbuka matanya melirik begitu tajam pada sosok mempelai yang mulai melangkah perlahan.
Elang sendiri sangat dingin wajahnya. Pria itu tidak sedikit pun menoleh ke arah Heera meski pengantinnya luar biasa cantik. Ia berjalan dengan mata lurus dan dagu terangkat angkuh.
Suara tepuk tangan terdengar bersamaan lemparan bunga dari arah para tamu sebagai ucapan selamat. Mengiringi langkah calon pengantin itu menuju altar.
Heera mengeratkan pegangan tangannya pada Elang dan mengulas senyum manis. Ingin menunjukkan kepada dunia jika ia telah memenangkan pertaruhan dengan menikahi pria yang telah merebut hatinya sejak saat pertemuan mereka pertama kali. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini.
Sesaat pandangan Heera mengedar hingga tak sengaja netranya bertemu dengan netra hazel milik pria yang telah menemaninya selama 6 tahun, Matthias.
Matthias tersenyum penuh makna seraya bertepuk tangan. Menatap wajah cantik Heera dengan perasaan nyeri yang luar biasa. Sesak dan tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.
"Aku pikir bisa membawamu untuk mendampingiku di singgasanaku. Ternyata kau hanya sekedar singgah, bukan ingin sungguh," batin Matthias mulai merasakan sesak yang lebih dari sebelumnya saat kedua mempelai itu duduk bersujud di depan pendeta.
"s**t! Lelucon apa ini," desis Matthias tertawa kesal, sudut matanya terlihat memerah.
Ketika akan beranjak, Jayden menggenggam tangannya sangat erat. Kedua mata hazel itu beradu, seolah ingin menunjukkan siapa yang lebih unggul. Jayden menghela napas panjang lalu melepaskan tangan putranya, tadinya takut Matthias akan bertindak gegabah.
Matthias berlalu begitu saja meninggalkan ruangan yang membuat dadanya nyeri tak karuan. b*****t sekali, ia jelas tidak akan menangisi kedua pengkhianat itu. Hidupnya terlalu berharga untuk menyiksa diri dengan menangis dan meratap.
Matthias berjalan melewati koridor yang sangat sepi. Ia hendak pergi saja ke tempat yang sangat jauh agar tidak lagi melihat drama menjijikan seperti hari ini. Ketika berbelok ia cukup terkejut mendapati sosok wanita dengan gaun pesta berwarna merah bersandar pada tembok dengan rokok yang menyala di tangannya.
"Zoya?" Matthias mengangkat sebelah alisnya. Kenapa wanita itu ada di sini? Pikirnya. Seharusnya Zoya mengiringi Kakaknya yang sedang melangsungkan pernikahan itu bukan?
Zoya balas melirik ke arah Matthias lalu meniup asap rokok di tangannya. "Sudahkah kau memberi tepuk tangan kepada wanitamu itu? Hebat sekali, dalam sekali permainan menumbangkan dua pria sekaligus, cih!" decih Zoya tampak benar-benar muak sekali.
"Siapa yang menyuruhmu merokok?" Matthias merampas rokok yang ada di tangan Zoya.
Sebelum wanita itu mengambilnya lagi, Matthias malah ganti menghisap rokok bekas milik Zoya membuat wanita itu geram.
"Tidak bisakah kau jangan menggangguku, Kak Matthias?" Zoya memutar bola matanya malas. Paling benci jika kesenangannya diganggu seperti itu.
Matthias menghisap rokoknya santai, ia dari dulu paling suka jika melihat Zoya kesal seperti itu. Pipinya yang gendut itu selalu memerah jika dipandang lama-lama. Matthias memperhatikan Zoya dengan seksama, terakhir seingatnya Zoya masih kecil. Kenapa sekarang sudah dewasa ... dan sangat cantik?
"Kenapa gendut? Kau selalu kesal saat bertemu denganku. Tapi kau tidak kesal jika bersama Xander." Matthias bertanya dengan kedua alis terangkat.
Zoya tertawa kecil mendengarnya. "Aku kesal karena kau yang telah membawa hama itu ke dalam keluarga kita. Kau lihat? Wabahnya sudah mulai merusak segalanya. Tidakkah kau ingin tanggung jawab dengan membuangnya?" desis Zoya, dengan gerakan kasar mengambil rokok yang dibawa Matthias lalu menghisapnya kembali dan berlalu begitu saja.
Matthias mengerutkan bibirnya. Sikap Zoya ini memang selalu berbeda dari yang lain. Meskipun umurnya masih 18 tahun, Zoya memiliki tubuh yang begitu indah. Tingginya sekitar 168 cm dengan dengan rambut yang dipotong pendek sebahu. Sikapnya acuh tak acuh membuat orang tidak bisa menebak bagaimana perasaan wanita itu. Jika memang tidak suka, Zoya benar-benar tidak akan ramah meksipun itu hanya sekedar basa-basi.
"Wanita arogan," desis Matthias bergerak pergi meninggalkan tempat itu. Kali ini sepertinya ia akan meninggalkan rumah untuk sementara.
***
Acara pernikahan akhirnya usai, Heera tengah melepaskan gaun pengantinnya di kamar bersama Elang yang duduk di ranjang. Pria itu memainkan ponsel dengan baju yang masih lengkap seperti saat mereka menikah tadi.
Heera sudah melepaskan pernak-pernik di kepalanya. Ia ingin melepaskan gaun pengantin yang dikenakan tapi kesusahan membuka resleting gaunnya, sejenak melihat Elang yang tak terusik sedikit pun itu.
"Elang," panggil Heera.
Elang yang tadinya fokus pada ponsel mengangkat pandangan. Raut wajahnya datar seperti biasa, menyahut pun tidak.
Heera menggigit bibirnya, ragu ingin mengatakan jika butuh bantuan. "Aku tidak bisa melepaskan resleting gaunku," kata Heera pelan.
Elang memperhatikan gaun yang dikenakan Heera. Meletakkan ponsel di ranjang lalu bangkit dan mendekati wanita itu. Tubuhnya yang tinggi menjulang itu merapat pada Heera membuat wanita itu tampak semakin mungil. Perlahan ia mengulurkan tangan, menyentuh resteling gaun Heera.
Heera menggigit bibirnya semakin kuat ketika merasakan tangan Elang perlahan menurunkan resleting gaun itu. Hawa dingin merayap membuat lututnya gemetar. Dengan gugup ia memperhatikan kaca di depannya, melihat wajah Elang yang dingin tanpa ekspresi.
"Apakah kemarin, aku juga melakukan hal seperti ini padamu?" Elang tiba-tiba bertanya. Suaranya yang datar itu berbisik halus di telinga Heera.
Heera menelan ludahnya gugup dan memberanikan diri mengangguk.
Elang menarik sudut bibirnya, ia menurunkan resleting itu sampai ke bawah hingga punggung halus itu terekspos. Tanpa mengatakan apa pun, Elang merapatkan tubuhnya dengan kedua tangan memerangkap Heera di meja rias.
"Elang!" Heera memekik tertahan, aroma Cendana dari tubuh Elang sudah menguar tajam membuat jantungnya berdetak sangat kencang.
"Kau bilang, waktu itu aku memaksamu 'kan? Apa sekarang kau tidak takut, aku juga akan melakukan hal yang sama?" Elang kembali berbisik di telinga Heera dan tiba-tiba saja menggigit lehernya begitu kuat.
"Akh!" Heera beteriak kaget. Elang benar-benar menggigit lehernya sangat kuat hingga terasa nyeri.
Elang bukan berhenti, dengan gerakan cukup kasar ia menarik pinggang Heera hingga menghadap ke arahnya. Dicengkeramnya dagu wanita itu hingga mendongak.
"Bagaimana? Perlukah kita me-reka ulang adegan yang aku lakukan padamu waktu itu?" ucap Elang menyeringai membuat wajahnya yang dingin itu tampak lebih menakutkan.
"Elang, aku takut ...." Heera memejamkan matanya singkat seiring air mata yang mengalir membahasi wajahnya. Mata jernih itu memandang mata Elang sayu seolah memohon.
"Aku sangat membencimu, Heera ...." Elang menghempaskan wajah Heera dengan kasar dan beranjak begitu saja.
Meninggalkan Heera yang menangis meratap akan jalan yang telah ia ambil sendiri.
"Kenapa kau kasar Elang? Bukankah kau mencintaiku?"
Bersambung~