"Jangan hanya karena cinta harga diri putraku akan dipertaruhkan. s**t! Idemu sangat buruk!" Ethan kembali mengumpat geram. Ia tahu Elang mencintai Heera, tapi bukan berarti harus menggunakan gelar pemerkosa untuk mendapatkan cintanya.
Jayden menarik napas panjang sebelum akhirnya memberikan gestur kepada Ethan agar ikut dengannya. Meski terlihat sangat kesal pria itu menurut, mengikuti Jayden dengan berbicara menjauh.
"Apa lagi?" Ethan bertanya tanpa basa-basi.
"Seperti dugaan awal, wanita ini memang akan menjadi masalah untuk keluarga kita. Ini sudah direncanakan," ujar Jayden memasukan kedua tangannya pada saku celana. Pandangan pria itu lurus ke arah luar dimana aktivitas terjadi.
"Bangsat." Ethan tersenyum mengerikan. "Dari awal saat dia bertunangan dengan Matthias, aku sudah yakin bukan hal yang baik. Kenapa? Mengincar Elang?" sergah Ethan.
"Belum tahu pasti. Dugaanku ada dua kemungkinan, entah Heera memang sengaja ingin membatalkan pernikahan karena mencintai Elang atau .... " Jayden menghentikan ucapannya. Menoleh ke arah Ethan yang menunggu jawabannya.
"Apa?"
"Ada faktor lain." Jayden menyahut singkat. "Sebentar lagi keluarga mereka datang. Lihat sejauh mana dramanya."
"CCTV?"
"Bangsatnya sudah dihapus terlebih dulu."
"s**t!"
***
Beberapa waktu kemudian, keluarga Heera benar-benar datang ke hotel dan menuntut apa yang telah Elang lakukan sesuai dugaan. Selama ini Heera dan Mamanya memang tinggal bersama Paman dan Bibinya setelah kematian sang ayah beberapa tahun silam.
Sebagai orang tua pengganti mereka tidak terima karena putri mereka dilecehkan. Menuntut agar Elang tanggung jawab apa pun caranya.
Di sana yang berkumpul hanya keluarga inti saja. Jayden bersama istrinya Kenanga dan Ethan ditemani Nindy. Elang turut hadir karena pria itu yang diduga pelaku.
"Apa-apaan ini Tuan Jayden? Saya menitipkan keponakan saya kepada Anda, bagaimana bisa dia mendapatkan pelecehan seperti ini? Anak Tuan Ethan harus tanggung jawab atas kejadian ini," ujar Galang—Paman Heera tampak sangat menggebu-gebu. Wajahnya sangat sinis sekali pada Elang yang duduk tenang di samping Ayahnya.
Ethan hampir saja melompati meja dan menghantam mulut kurang ajar Galang karena menyebut anaknya seperti itu. Namun, Nindy menggenggam tangannya lembut.
"Seperti kataku sebelumnya, kita akan melakukan visum. Elang tidak akan lepas tanggung jawab jika dia memang bersalah," ujar Jayden.
"Berarti Anda mengira Heera sudah berbohong?" Galang. berdecih sangat kesal. "Katakan pada saya Tuan Jayden, wanita mana yang rela menjadikan dirinya korban pemerkosaan? Apalagi seminggu lagi Heera akan menikah dengan putra Anda."
Jayden menarik napas panjang untuk terus tenang. "Saya hanya ingin semuanya disini sama-sama tidak dirugikan. CCTV sudah dirusak dan Elang mengatakan ada yang mencampurkan obat ke minumannya. Biar lebih adil kita akan lakukan visum," tutur Jayden.
"Tenang saja, keluargaku bukan keluarga pengecut. Jika Elang bersalah, dia akan tanggung jawab penuh atas keponakanmu," sergah Ethan tak tahan juga akhirnya.
Terdengar suara tangis lirih dari Heera membuat Vania—mamanya memeluk wanita itu segera.
"Heera, jangan terus menangis. Kami pasti akan menuntut hakmu. Kau korban disini," kata Vania tak sadar ikut menangis karena putrinya.
Heera menangis sesenggukan, wanita itu memberanikan dirinya menatap semua orang dan bangkit dari duduknya.
"Baik, jika memang Elang tidak mau tanggung jawab. Lebih baik aku mati daripada harus menanggung malu!" Heera awalnya berbicara pelan, namun entah dari mana asalnya wanita itu mengeluarkan pisau dan langsung menggores nadinya.
"HEERA!"
Semua orang yang ada di tempat itu berteriak kaget melihat tindakan nekat Heera. Elang—pria itu melompat dari duduknya mendekati Heera yang tangannya sudah berdarah cukup banyak.
"Jangan mendekatiku!" Heera kembali histeris, menodongkan pisaunya pada Elang yang ingin mendekat. Tangannya nyeri tidak dihiraukan lagi. "Kau tidak ingin tanggungjawab 'kan? Kau juga tidak percaya kalau kita sudah melakukannya. Dari pada aku malu, lebih baik aku mati!" Heera menjerit dan tanpa ragu melukai bagian lipatan tangannya.
"Heera! Kau gila?" Elang berteriak kaget, sesegera mungkin menahan tangan wanita itu. Tetapi Heera kembali menodongkan pisaunya.
"Heera, jangan seperti itu, Nak. Kau tetap anak Mama apa pun yang terjadi. Kemari, Nak. Jangan seperti itu," tutur Vania tak sanggup lagi melihat anaknya melukai dirinya sendiri.
Heera menangis lirih sambil memandang Elang. "Jika dengan kematianku akan membuktikan aku tidak bersalah. Maka akan aku lakukan. Selamat tinggal ... Mama."
Heera ingin menancapkan pisau itu ke lehernya namun suara Elang menghentikannya.
"Aku akan tanggung jawab!" Elang berteriak lantang. Tak bisa lagi rasanya melihat wanita yang memang sangat dicintai melukai dirinya sendiri seperti itu.
"Elang!" Ethan berseru kaget akan keputusan putranya.
Elang menggelengkan kepalanya seraya menarik napas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mendekati Heera, mencoba mengambil pisau wanita itu.
"Tidak! Kau berbohong! Keluarga kalian penguasa dan pasti akan melenyapkanku. Aku mau mati saja!" jerit Heera.
"Aku jaminannya! Heera, hentikan ini. Aku akan tanggungjawab. Aku akan menikahmu," tutur Elang sama fruastinya, tetapi jalan ini adalah jalan paling tepat.
"Kau janji?" Heera masih menodongkan pisaunya dengan wajah yang sudah penuh air mata.
Elang menahan napas seraya mengangguk pelan. "Aku janji."
Perlahan Heera melepaskan pisaunya hingga jatuh ke lantai. Elang segera memeluknya, menggunakan tangannya untuk menekan luka di tangan Heera dan meminta pengawal memanggil Dokter.
Ethan mengumpat pelan mendengar jawaban dari anaknya. Ia menatap pria itu sangat tajam namun Elang malah menghindar. Semuanya benar-benar sangat kacau sekali hari ini.
***
Keputusan akhirnya telah dibuat, Elang benar-benar mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Heera dengan menikahi wanita itu di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan Heera dan Matthias. Meski keluarga besarnya menentang, Elang tidak goyah. Ia lebih tidak ingin melihat Heera menyakiti dirinya sendiri seperti kemarin. Mungkin ini memang kesalahannya dan harus dipertanggungjawabkan.
Setelah memasang jas dan pakaian yang lengkap terlihat Nindy datang ke kamarnya bersama Zoya. Wanita itu membantu merapikan penampilan putranya yang sebentar lagi akan menikahi anak gadis orang.
"Kau sama seperti Ayahmu saat muda, dia pun dulu sangat gagah seperti ini. Semoga... kau bisa bertanggungjawab dengan pilihanmu nanti," tutur Nindy menunduk menyembunyikan air mata.
"Ibu jangan menangis." Elang menarik Nindy ke pelukannya. Sangat paham jika wanita itu tengah menahan perasaannya.
"Ibu menangis bahagia, semoga kau bahagia ya, Nak. Meskipun di mata dunia kau bersalah, kau tetap putra ibu," ujar Nindy mencium kening Elang yang sekarang jauh lebih tinggi dari dirinya.
Elang tidak ingin menangis karena takut akan membuat ibunya lebih sedih. Ia lalu memandang adiknya Zoya. Wanita itu terlihat datar dan membuang muka menyembunyikan air matanya.
Zoya keluar dari kamar pengantin Kakaknya karena benar-benar tidak tahan lagi. Saat ini rasanya ia ingin mencaci semua orang karena Kakaknya yang tulus malah terjebak dengan wanita licik seperti Heera.
Saat Zoya keluar terlihat kamar pengantin dimana Heera berada terbuka. Wanita itu keluar dengan ditemani oleh Mamanya. Senyuman sinis Zoya tak tak tertahankan, melipat tangannya di atas perut sambil memperhatikan Heera yang sudah cantik dengan gaun pengantinnya.
"Kau tahu? Kau itu jalang yang luar biasa," cemooh Zoya dengan nada sangat geram. "Setelah bosan bermain di ranjang Matthias, kau berlari naik ke ranjang Kakakku dan berteriak kau adalah korban? s**t!" Zoya berbicara lambat-lambat namun tepat mengenai hati Heera.
"Nak, jaga bicaramu," tutur Vania.
"Biarkan saja, Ma." Heera berkata lembut. Ia mengulas senyum tipis kepada Zoya. "Aku tidak mengerti kenapa kau sangat membenciku, Zoya. Apa—"
"Benci?" Zoya memutar bola matanya malas. "Aku bukan hanya benci, tapi sangat-sangat membencimu. Wanita menjijikkan!" Dengan gerakan kasar Zoya mendorong bahu Heera dan pergi begitu saja.
Heera hampir terhuyung namun ditahan oleh Mamanya. Vania tampak sangat kesal dengan sikap Zoya itu.
"Dia itu adiknya Elang Narendra kan?" tanya Vania.
Heera mengangguk sebagai jawaban. "Mama tidak perlu memikirkannya. Dia memang seperti itu," kata Heera yang segera mengajak Mamanya untuk pergi.
Bersamaan dengan itu, Elang keluar kamarnya dengan ditemani Nindy karena Ayahnya sedang bersama Kakeknya menemui kolega. Sesaat Heera memandang Elang yang tampak sangat gagah dengan tuxedo hitam yang membungkus tegapnya. Wajahnya yang dingin itu justru memancarkan pesona yang membuat jantung kaum hawa tidak aman.
"Apa aku salah ingin menghabiskan hidup bersama pria yang aku cintai di kehidupan yang hanya satu kali ini?" batin Heera memandang Elang begitu sendu.
Bersambung~