1

1460 Words
Seorang anak muda berusia awal dua puluhan berjalan memasuki area kampus. Tubuhnya menjulang dengan rambut ombak menyentuh pundak.  Mengenakan kaos dan jaket berwarna abu-abu dan celana jeans biru. Sepatu sport merk terkenal membungkus kakinya. Tampilannya tampak biasa saja. Ia membenahi tas punggungnya sebelum kembali berjalan. Tempat yang ditujunya tidak jauh lagi. Saat ini sudah memasuki musim gugur. Udara mulai dingin dengan angin cukup kencang. Membuat daun yang menguning berserakan di sepanjang jalan.  Cuaca di california saat ini tidak menentu. Pemuda itu mempercepat langkahnya menuju ruang perpustakaan. Agar bisa segera terlepas dari udara dingin. Ia tidak suka dingin, lebih suka udara panas seperti tanah kelahirannya. Namun demi meraih cita-cita dan membahagiakan ibunya, ia rela harus tinggal di negara ini selama lima tahun terakhir. Kenakalan dan keengganannya belajar membuat prestasi sekolahnya biasa-biasa saja. Ketika adik keduanya Dave bisa di terima di Oxford. Ia harus puas belajar di stanford. Karena tidak lulus di harvard. Namun Azka dikenal memiliki tanggung jawab yang besar. Apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya akan diselesaikan dengan baik.  Mulai SMU ia sudah magang di kantor kakeknya setiap hari kamis dan jumat. Dan ia tidak pernah membolos. Hal itulah yang membuatnya malas belajar fisika, kimia dan ilmu lainnya. Karena menurutnya toh ilmu itu tidak akan dipakainya nanti ketika bekerja. Untuk apa belajar susah-susah kalau nanti juga tidak digunakan katanya. Ia tidak bisa hidup sesantai adik adiknya. Walau kadang iri kepada mereka, tapi jujur ia menikmati keadaan sekarang. Ketika adiknya bisa bermain basket sepulang sekolah, Azka masih harus berkutat dengan laporan keuangan. Untuk ke gym saja kadang ia tidak sempat. Karena itulah badannya tidak sebagus adik bungsunya Tristan. Paling sekedar hang out bersama teman temannya. Selebihnya ia hanya fokus untuk belajar. Sesampai di perpustakaan ia mencari jurnal dan beberapa buku yang memang dibutuhkan untuk tugas laporannya. Mr. Hamilton tadi pagi sudah mengatakan kalau waktunya sudah hampir habis. Ia harus menyelesaikan semua selama tiga hari ini. Kalau ia berniat lulus secepatnya. Kadang ia menyesal kenapa ia tidak sepandai ayah atau adiknya Dave. Begitu mudah bagi kedua orang tersebut mengerjakan tugas-tugas yang sulit. Sementara ia harus belajar ekstra keras agar bisa lulus dari beberapa mata kuliah. Akhirnya ketika semua selesai ia memutuskan untuk pulang. Azka sampai di apartemenya menjelang malam. Cathy sang kekasih langsung menyambut dengan pelukan. Sudah hampir setahun terakhir mereka tinggal bersama. Semenjak ia tahu kalau sang kekasih tengah mengandung anaknya. Ia mengambil jurusan bisnis sementara kekasihnya kuliah di jurusan hukum. Azka membelai perut perempuan itu yang semakin membuncit. Buah cinta mereka kini sudah berusia delapan bulan dalam rahim cathy. Ia menundukkan kepala dan mengecup perut sang kekasih dengan lembut. "Hi my little girl, are you fine there?" "Yes daddy, i am in a good health and always jumping through the day" jawab sang kekasih sambil tertawa Azka segera memeluk sang kekasih dan memberikan kecupan ringan dibibir merah itu. "I love you." Bisiknya. "Love you too darl." jawab cathy. "Have you get your dinner." tanya cathy lagi. "Not yet honey, i was busy with my papers. Mr Hamilton did'nt give extra time for my assignment." jawab Azka sambil menuju ke pantry. Sementara sang kekasih hanya diam dan menyusul Azka. Ia menyiapkan makan malam dengan hati-hati. Takut Azka yang temperamental marah kalau ia bertanya lebih banyak. Sudah cukup lama ia mengenal sang kekasih. Dan ia tahu persis dalam kondisi seperti ini lebih baik untuk menghindari Azka. Sementara Azka menyantap makan malamnya dengan tidak berselera. Mengingat deadline yang tinggal tiga hari lagi. Hal itu penting untuk sidang skripsinya nanti. Ia harus lulus tahun ini. Karena tidak mungkin membiarkan Cathy sendirian mengurus bayi mereka. Sementara ia masih sibuk dengan urusan kuliahnya. *** Azka dan cathy bertemu saat tahun pertama mereka kuliah. Meski berbeda jurusan buat Azka, Cathy sangatlah menarik. Berkulit putih dan bermata biru. Rambutnya yang kecoklatan dan bergelombang membuat Azka ingin selalu membelainya. Selain itu Cathy juga sangat pintar, nilai-nilainya selalu diatas rata rata. Dari dulu Azka memang penyuka perempuan cerdas dan cenderung manja. Ia tidak suka perempuan mandiri yang tidak butuh laki laki. Entah karena setiap saat di rumah, ia melihat ibunya yang selalu dimanja oleh ayahnya. Demikian juga eyang putrinya dari kedua belah pihak kekuarga. Hanya satu yang membedakannya dengan pria pria wiratama. Yakni Azka suka pada perempuan bule. Menurutnya lebih mudah berdiskusi dengan mereka karena mereka lebih mengutamakan logika daripada perasaan. Pernah sih beberapa kali ia pacaran dengan perempuan asia dan juga Indonesia. Tapi semuanya langsung berakhir dalam hitungan bulan. Ia tidak suka dicemburui dan dipaksa berkenalan dengan keluarga besar. Menurutnya perkenalan keluarga hanya terjadi kalau sudah mau menikah. Ia juga malas kalau keluarga kekasihnya bertanya tentang latar belakangnya. Apalagi para ibu kekasihnya akan langsung berusaha mendekatkan diri pada ibunya, ketika tahu dia berasal dari keturunan Wiratama. Karena itu ia betah berpacaran dengan Cathy. Ini tahun ke tiga hubungan mereka. Cathy bukan perempuan pencinta club. Tidak suka pesta dan bergaul dengan para sosialita kampus. Hidupnya sangat sederhana dan tidak aneh-aneh. Kekasihnya itu juga bukan tipe tukang selingkuh walau ia sangat cantik. Tidak merokok dan pemabuk. Dan yang paling penting berasal dari keluarga harmonis. Ayah Cathy adalah seorang pensiunan mayor di angkatan darat Amerika. Itu sudah lebih dari cukup untuk Azka. Untuk hal ini ia meniru ayahnya. Selama ini belum pernah ia melihat dan mendengar kalau ayahnya terlibat affair dengan perempuan. Ia selalu mengingat pembicaraannya dengan sang ayah. Menjadi anak laki laki harus gentle dan bertanggung jawab. Seorang perempuan harus dikasihi. Bahkan Azka bisa menerima ketika kekasihnya itu hamil. Mereka memang belum berencana untuk menikah. Tetapi memiliki bayi adalah suatu anugerah bukan? Hanya omnya Edward dan tantenya pingkan yang tahu kehamilan Cathy. Azka tidak berani menyampaikan berita bahagia ini ke ibunya. Takut ibunya malah pingsan ketika tahu anak lelakinya punya anak sebelum menikah. Dan kalau terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya, maka Azka harus berhadapan dengan ayahnya. Kevin Wiratama yang selalu menganggap  bahwa istrinya adalah dewi yang harus dilindungi. Untuk membiayai hidup mereka Azka bekerja part time di sebuah biro iklan. Kebetulan ia menguasai design grafis. Dan dari dulu memang tertarik dibidang itu. Selain uang kiriman yang masih terus mengalir dari ibunya. Azka bukan pria manja yang selalu bergantung pada orang tua. Ia selalu berusaha cari uang sendiri. Pernah beberapa kali ketika pulang ke jakarta dan butuh uang. Tidak segan ia merentalkan mobil mewahnya. Menurutnya itu lebih baik, dari pada harus meminta pada orang tua. Selain itu, Azka sangat mandiri. Walau berasal dari keluarga berada ia tidak pernah mau menggantungkan hidup dari kekayaan keluarga. Awal tinggal di US ia kadang menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran. Pernah juga menjadi tukang cat ketika libur. Apa saja yang menghasilkan uang akan dilakoninya. Karena itu ia tidak khawatir dengan kehamilan Cathy. Uang hasil jerih payahnya sudah bisa membiayai seorang istri dan seorang bayi perempuan. Ia berjanji dalam hati, kalau kuliahnya selesai ia akan membawa Cathy dan anaknya ke Jakarta.  Untuk diperkenalkan kepada keluarga besarnya. Lalu mungkin mereka akan menikah dan membina rumah tangga. Ia sudah siap untuk itu. Toh jabatan sudah menantinya di Sudargo Inc. Jelas ia mampu menjadi seorang ayah dan suami sekaligus. Ia sudah berbicara dengan omnya Edward juga. Omnya sudah berjanji akan membantu bicara dengan ayah dan ibunya. Cathy juga tidak keberatan untuk tinggal di Indonesia. Sebuah rencana  kehidupan  yang sempurna untuknya. Sampai pada suatu hari.... "Azka!" teriak farid, salah seorang temannya yang berasal dari Indonesia. "Apa'an rid?" Tanya Azka heran melihatnya ngos ngosan karena mengejarnya. "Lo dicariin Megan tetangga Apartemen elo. Hp elo gak aktif Katanya Cathy dibawa ke rumah sakit St Mauritz. Tadi kepeleset di depan lift" Segera Azka berlari meninggalkan Farid. Tanpa menghiraukan lagi teriakan Farid agar menunggunya. Ia segera memasuki mobilnya dan berusaha untuk menyetir dengan tenang. Berkali kali ia merapalkan doa agar Cathy baik baik saja. Sesampai di rumah sakit Azka langsung berlari ke resepsionis dan bertanya dimana kekasihnya berada. Dari keterangan yang di terimanya Cathy sedang berada di ruang operasi. Ketika Azka tiba disana tampak seorang  dokter keluar dari ruangan dengan wajah sedih dan memanggil "Mrs Cathy's husband." "Yes, i am." jawab Azka. "We are sorry for your wife, we have tried our best." "It's imposibble doctor. She was in good health this morning." teriak Azka "and my baby?" Tanyanya kembali disela tangis yang tak terbendung. "You've got a pretty baby girl." Dunia terasa kejam untuk Azka. Malam ini seharusnya menjadi malam yang paling berbahagia untuknya. Ketika ia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Namun malam ini semuanya berakhir. Ia harus kehilangan kekasih tercinta. Azka hanya mampu duduk di kursi tunggu sambil terus menangis. Tak lama jenazah sang kekasih sudah keluar dari ruangan. Ia membuka kain penutup dan mengecup kening pucat itu. Tadi pagi ia melakukan hal yang sama pada kulit yang dingin itu. Kulit itu masih hangat dan bibir itu masih tersenyum. Ia dihadiahi sebuah ucapan selamat jalan dan semoga berhasil. Namun malam ini tubuh tersebut telah terbujur kaku. Bibir itu takkan pernah memberinya senyuman lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD