Cinta Pertama Itu...

1343 Words
Seminggu sudah waktu berlalu, sejak kejadian 'ciuman panas' di kamar hotel Lio waktu itu. Selama sepekan ini, Shilla berusaha untuk tetap bersikap profesional, saat berada di hadapan Lio. Ia bertekad, untuk melupakan kejadian itu. Meski ia merasa hal itu sedikit sulit ia lakukan, entah kenapa. Ia hanya tak ingin, ingatannya tentang hari itu mempengaruhi kinerjanya. Lio sendiri, tak pernah lagi membahas perihal ciuman itu pada Shilla. Ia tak ingin, Shilla membuat jarak di antara mereka semakin lebar. Cukup sudah, Shilla menjaga jaraknya sebagai CEO dan sekretarisnya. Jangan sampai, Shilla berhenti bekerja dan ia tak bisa lagi melihat mantan kekasihnya itu. "Shil. Pulang kerja nanti, aku ga bisa anter kamu, ya." Shilla menoleh ke arah sumber suara. Terlihat, Pras sudah berdiri di depan mejanya. "Kenapa?" tanyanya. Sudah jadi kebiasaan bagi Pras, untuk mengantar kekasih hatinya itu pulang ke kosannya. Maka dari itu, kini ia bertanya. "Om aku kecelakaan di Bogor. Jadi, mama dan papa ngajak aku buat jenguk ke sana. Aku juga ngambil cuti untuk besok. Ga pa-pa, kan? Kamu pulang dan berangkat sendirian?" Shilla tertawa, setelah sebelumnya wajahnya memasang raut yang sedih. Ia merasa, ekspresi Pras saat mengucapkan kalimat terakhirnya tadi, begitu lucu. Seperti anak kecil, yang khawatir meninggalkan ibunya sendiri, untuk pergi ke sekolah. "Kok, kamu malah ketawa sih, Shil?" Pras cemberut, melihat reaksi kekasihnya itu. "Ya, lagian ekspersi kamu lucu banget." Shilla menutup mulutnya. Berusaha meredakan tawanya. "Aku lagi sedih loh, Shil. Masa kamu bilang lucu." Pras bersedekap, memalingkan wajahnya dari Shilla. "Pas kamu bilang om kamu kecelakaan, kamu emang sedih. Makanya aku juga ikut sedih. Tapi, pas kamu nanya aku, apa ga pa-pa pulang sendirian, ekspresi kamu langsung berubah jadi lucu." Pras melirik sebal ke arah Shilla. "Engga ada, ya. Ekspresiku ga lucu sama sekali." "Iya, iya. Maaf, karna udah nganggap ekspresi kamu lucu." Pras menurunkan tangannya. Juga, menghilangkan ekspresi kesal dari wajahnya. Lagipula, ia tak pernah bisa marah pada kekasihnya itu. "Yaudah. Aku pamit pulang duluan, ya. Mama udah nunggu di rumah soalnya." "Oh. Aku kira kamu bakal pulang sesuai jam kantor." "Engga. Papa takut kemaleman, kalau berangkat setelah jam pulang kantor." Shilla mengangguk, membenarkan. "Iya juga, sih. Yaudah, kamu hati-hati nanti, ya. Salam buat semua keluarga kamu." "Iya. Aku sampein nanti." Pras mendaratkan sebuah kecupan kecil, di puncak kepala Shilla. Tak lupa, sebuah usapan sayang di kepala bagian belakang Shilla juga ia berikan. Setelah Pras tak terlihat lagi oleh Shilla. Barulah, Shilla kembali mengerjakan tugasnya, yang sempat tertunda karna kedatangan Pras tadi. *** Dering telepon di atas meja, menarik perhatian Shilla, yang saat ini tengah fokus pada layar di depannya. Gegas, wanita itu mengangkat teleponnya. "Selamat sore. Dengan Shilla, dari Moon Text. Ada yang bisa saya bantu?" Sapa Shilla, saat ia mengangkat panggilan tersebut. "Sore, Mbak Shilla. Saya Eddo, sekretaris pak Hansen." Shilla tak bisa tak terkejut, mendapati sebuah panggilan yang berasal kolega, yang paling Lio tunggu. Bahkan hampir setiap hari, CEO-nya itu selalu bertanya pada Shilla. Apakah pihak Hansen sudah menghubungi dirinya, atau belum. "Oh, iya Pak Eddo. Ada yang bisa saya bantu?" "Saya ingin menyampaikan pesan pak Hansen. Apakah sore ini pak Lio bisa menemui beliau di restoran Sederhana?" tanya Eddo, sambil menyebutkan salah satu nama restoran Padang, yang lokasinya dekat dengan kantor mereka. "Saya akan tanyakan pada beliau ya, Pak. Akan saya kabari jika .... Mohon tunggu sebentar, Pak. Kebetulan pak Lio keluar dari ruangannya. Saya akan langsung menanyakan pada beliau." Shilla meletakkan gagang telepon yang ia pegang. Kemudian, berdiri dan sedikit berlari kecil untuk menghampiri Lio. "Maaf, Pak. Saat ini sekretaris pak Hansen menghubungi saya. Beliau bertanya, apa Pak Lio bisa menemui pak Hansen sore ini?" Lio yang sempat terkejut, karna Shilla menghadang langkahnya. Berubah menjadi senang, setelah mendengar pertanyaan dari sekretarisnya itu. "Apa panggilannya udah terputus?" tanya Lio, sambil melirik ke arah gagang telepon yang masih tergeletak di atas meja. "Kalau tadi sih, belum, Pak." Lio mengangguk, kemudian berjalan mendekat ke arah meja Shilla. Setelah sampai di sana, ia pun, mengambil gagang telepon tersebut dan mendekatkan ke telinganya. "Dengan Lio di sini. Ada yang bisa saya bantu?" "Selamat siang, Pak Lio. Apa Pak Lio sore ini ada waktu? Pak Hansen ingin berjumpa dengan anda di restoran Sederhana." "Tentu. Saya akan datang. Jam berapa tepatnya?" "Jam empat sore ini." Lio melirik ke arah jam di tangannya. Saat ini, waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Artinya, ia masih punya dua jam waktu yang tersisa untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya. "Baik. Saya akan datang tepat waktu." Setelah saling mengucapkan terima kasih. Sambungan pun, terputus. Lio membalikkan badannya, dan menghadap Shilla, yang sejak tadi berdiri di belakangnya. "Saya akan bertemu pak Hansen jam empat sore ini. Apakah kamu bisa ikut?" Shilla mengangguk. Toh, ini memang lah, tugasnya. "Tentu, Pak." Tanpa berkata apa-apa lagi, Lio meningalkan Shilla dan berjalan ke arah lift. *** Hansen tak hanya mengajak Lio untuk makan dan membahas masalah pekerjaan saja. Tapi, ia juga mengajak Lio untuk mengunjungi salah satu tempat karaoke kesukaannya. Hansen, sangat suka bernyanyi di tempat tersebut. "Wah, saya ga nyangka Pak Hansen bener-bener cuma nyanyi aja," ucap Lio, saat Hansen baru saja selesai menyanyi satu lagu. Lio kira, akan ada banyak wanita berpakaian seksi, yang akan menemani mereka nantinya. Namun rupanya, tebakannya itu salah. Hansen menolak semua tawaran wanita-wanita tersebut. Hansen tertawa. "Saya ga segila itu, untuk berani mengkhianati istri saya, Pak Lio." Shilla yang saat itu tengah menikmati salad buah, merasa takjub pada ucapan pria itu. Ia tak menyangka, masih ada suami yang setia pada istrinya, di saat suami tersebut memiliki jabatan, juga harta. Biasanya, kebanyakan pria kaya, yang Shilla kenal. Apalagi yang hobi pergi ke tempat karaoke atau klub malam. Sudah pasti, mereka akan menyewa salah satu wanita di sana, untuk menemani mereka. Bahkan kadang ada yang menyewa lebih dari satu. Bahkan ada dari mereka, yang meski hartanya berasal dari keluarga istri mereka. Namun dengan tidak tahu malunya, mereka tetap menggunakannya untuk kesenangan mereka sendiri. Tanpa sepengetahuan istri mereka. "Tapi, pasti tetap banyak perempuan yang deketin Pak Hansen, kan?" Kali ini, giliran Shilla yang berbicara. Dengan semua hal yang Hansen miliki. Rasanya mustahil, jika tak ada yang tertarik padanya. Hansen mengangguk. "Mbak Shilla ga salah. Jangankan, perempuannya langsung. Ada juga, para orang tua, yang justru menawarkan anak gadis mereka, untuk saya jadikan simpanan. Mereka bahkan ga peduli, anaknya dinikahi oleh saya, atau tidak. Asalkan mereka bisa mendapat sokongan dari saya. Mereka bisa merelakan anak mereka." Hansen tersenyum, saat mengucapkan kalimatnya. Shilla cukup terperangah, mendengar ucapan Hansen barusan. Tak menyangka, akan ada orang tua yang seperti itu di dunia ini. "Lalu, apa yang bikin Pak Hansen menolak mereka semua?" "Karna cinta pertama saya, terlalu berharga untuk saya gantikan dengan cinta yang semu." Shilla diam menatap Hansen. Menyelami ke dalam matanya, yang kini menyiratkan kejujuran dan ketulusan. "Cinta pertama itu, memang selalu istimewa di hati." Fokus Shilla langsung beralih pada Lio, yang mengucapkan kalimat tadi. Berusaha memahami maksud dari ucapannya itu. Namun sayang. Shilla tak bisa sepenuhnya mengerti. "Pak Lio benar. Makanya, saya selalu bisa menolak semua tawaran yang datang pada saya." Hansen kembali tertawa. "Lagipula, jika saya ingin sesuatu yang berbeda. Saya akan meminta istri saya, untuk berubah sesuai keinginan saya. Dan istri saya tak pernah menolaknya. Maka dari itu, saya tak pernah menemukan kejenuhan pada istri saya," lanjutnya. Andai semua pria memiliki pemikiran sama seperti Hansen. Tentu tak akan ada wanita yang akan merasakan sakit hati, karna suaminya selingkuh. Pikir Shilla. "Pak Lio sendiri, bagaimana? Saya dengar, tunangan Pak Lio masih berada di luar negeri?" Sebaris tanya yang Hansen lontarkan. Sukses membuat Shilla terdiam. Selama ini Shilla tak pernah mencari tahu tentang Lio. Lebih tepatnya, tak ingin tahu. Tak pernah sekali pun, Shilla bertanya tentang kehidupan pribadi Lio. Apalagi hubungan asmaranya. Karna baginya, hal itu tidaklah penting. Meski banyak rumor beredar, tentang sosok tunangan Lio. Shilla tak pernah mencoba untuk menggali lebih dalam. Bagi Shilla, hubungan mereka hanyalah, sebatas pekerjaan saja. Hingga tak perlu baginya, untuk peduli pada kehidupan pribadi Lio. Namun kini sepertinya Shilla keliru. Karna ternyata hatinya, cukup terganggu dengan pertanyaan yang Hansen lontarkan barusan. "Iya. Dia masih menyelesaikan pekerjaannya di sana." Shilla meremas roknya di bawah meja. Entah kenapa, ia merasa terusik dengan jawaban Lio barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD