Hari Baru

1172 Words
Hari pertama bagi Shilla untuk menjadi sekretaris Lio, dimulai. Sepanjang perjalanan menuju kantor, tak hentinya ia berdoa agar pekerjaannya bisa berjalan lancar. Meski rasa benci untuk Lio, masih kuat di hatinya. Namun ia meyakinkan dirinya bahwa, ia bisa memisahkan antara hubungan pekerjaan dan pribadinya. Ia yakin, bisa bersikap profesional seperti biasanya. Shilla tak bisa kehilangan pekerjaanya. Ada keluarganya, yang kini menjadi tanggung jawab dirinya. Terlebih, adik bungsunya kini menempuh pendidikan di luar negeri sana. Ibu dan bapaknya sendiri, meski ikut tinggal bersama dengan sang kakak, yang sudah berkeluarga. Tetap ia tanggung biaya hidupnya, karna tak ingin semakin membebani kakaknya yang sudah memiliki dua orang anak. "Kamu kok, kayanya tegang banget, Shil?" Saat ini, Shilla sedang duduk di mobil Pras. Sudah menjadi rutinitas bagi Pras, untuk selalu mengantar jemput Shilla, jika keduanya berangkat dan pulang kerja di jam yang sama. Arah rumah Pras ke kantor, memang melewati kos-kosan Shilla. Maka dari itu, ia lebih senang mengantar jemput kekasihnya itu, jika waktunya memang memungkinkan. Bahkan mobil yang kini ia kendarai, sengaja ia beli agar bisa memberikan kenyamanan yang lebih pada Shilla. Padahal sebelumnya, ia justru paling malas pergi menggunakan mobil. Jalanan perkotaan yang macet, membuat jarak tempuhnya menjadi lebih lama. "Iya. Takut bikin kesalahan di hari pertama." Pras tertawa, tak percaya jika kekasihnya, yang selalu percaya diri, bisa merasakan takut juga. "Aku yakin, kamu bisa mengerjakan semua pekerjaan kamu dengan baik, Shil. Aku juga yakin, pak Lio juga sebaik pak Agus nanti." Shilla menghela napas. Pandangannya, ia alihkan melihat jalanan yang mulai padat di pagi hari. Dadanya terasa berat, kala mengingat Lio, yang kini akan ia temui setiap hari. Padahal, sejak Lio menghilang tanpa jejak. Sejak itu pula Shilla selalu berdoa, agar ia tak akan pernah bertemu lagi dengan Lio sampai ia menutup matanya. Nyatanya, Tuhan berkendak lain. Tuhan justru membiarkan ia untuk terus bertemu Lio setiap hari nantinya. Entah, apakah kini ia harus menyalahkan Tuhan, kembali. Meski hal itu, tidak akan mungkin. Rasanya cukup sekali ia dengan bodohnya menyalahkan Tuhan, dulu. Karna sekarang ia tau, semua rencana Tuhan pasti selalu menjadi yang terbaik bagi dirinya. Mungkin, saat ini Tuhan ingin agar Shilla bisa menyembuhkan luka hatinya, sedikit demi sedikit. Pikirnya berusaha positif. *** "Selamat pagi, Pak." Shilla berdiri, memberi sambutan pada Lio, yang baru saja datang pagi ini. "Pagi, Shi. Maksud saya, Shil." Lio sedikit canggung, kala harus memanggilnya dengan nama 'Shilla'. Shilla mengambil tablet yang ia letakkan di atas meja. Kemudian mengikuti Lio, masuk ke ruangannya. Dan seperti biasa. Ia akan menyebutkan semua jadwal hari ini. Jika biasanya setelah selesai menyebutkan semua jadwal Agus, Shilla akan langsung pamit kembali ke mejanya, untuk menyiapkan bahan rapat Agus. Tapi kini, tidak. "Tolong temani saya sarapan," pinta Lio, yang tentu saja langsung ditolak oleh Shilla. "Maaf, Pak. Tugas saya selama ini hanya membantu sebatas pekerjaan saja. Tidak yang lainnya." Lio tertawa, membuat Shilla menatapnya heran. "Kenapa Bapak tertawa?" tanyanya, sedikit kesal. "Lucu aja." Shilla semakin heran dengan jawaban Lio. "Apanya yang lucu?" "Kamu," jawab Lio, dengan menatap Shilla, dalam. Untuk beberapa saat, Shilla terhanyut dalam tatapan itu. Namun, saat ia mengingat tatapan itu adalah tatapan yang dulu Lio berikan untuknya. Seketika itu juga Shilla teringat, akan semua perbuatan Lio yang telah memberikan bekas luka di hatinya. Shilla membalikkan badannya. "Saya permisi." Tanpa menunggu persetujuan Lio, ia pun, keluar dari ruangannya. *** Sepertinya, Shilla memang ditakdirkan untuk terus bersama dengan Lio. Melihat padatnya jadwal rapat di luar kantor. Ia tak menyangka bahwa, yang kini ia akan dampingi bukanlah Agus lagi. Melainkan, Lio. Andai ia tau sejak awal. Mungkin, ia tak akan membuat jadwal rapat di luar kantor sepadat ini. Hanya saja, izinnya Agus dua hari yang lalu. Mau tak mau, membuat Shilla memadatkan semua rapat di lain hari. Agar semua agenda bisa berjalan dengan lancar. Hingga tak akan ada pekerjaan yang terbengkalai nantinya. Shilla mengetuk pintu ruangan Lio. "Maaf, Pak. Sudah waktunya berangkat." Pagi ini, mereka memiliki janji temu dengan salah satu pemilik department store, yang menginginkan kerjasama untuk produk yang akan dijual di sana. Perusahaan milik Agus ini, terkenal sebagai perusahaan tekstil terbesar, yang memiliki berbagai macam bahan kain dengan kualitas tinggi. Baik bahan kain rancangan sendiri. Atau pun, rancangan dari pesanan para pelanggan mereka. Hingga banyak pemilik butik terkenal, atau pun, department store yang ingin bekerja bersama dengan perusahaan Agus. Terlebih, harga yang Agus tawarkan selalu bisa memuaskan para pelanggannya. Hingga kebanyakan dari mereka, pasti akan melakukan transaksi dengan perusahaan Agus, lebih dari satu kali. Seperti sekarang ini. Pemilik department store, yang bernama Simon itu, sudah dua kali memesan bahan kain pada perusahaan Agus, untuk merk baju miliknya. Dan beberapa bulan lagi, perayaan Natal akan tiba. Oleh karena itu, Simon ingin mempersiapkan koleksi bajunya dari sekarang. "Ayo, berangkat." Lio berjalan lebih dulu. Dengan Shilla terus mengekor di belakangnya. Jika dengan Agus, ia selalu berjalan di samping bosnya itu. Tidak dengan Lio. Shilla justru menghindari berjalan di sisi pria itu. "Awh." Shilla mengaduh, saat kepalanya membentur punggung Lio. Lio membalikkan badannya, menghadap Shilla. "Kamu selalu jalan di belakang mas Agus selama ini?" tanyanya, yang mendapat gelengan dari Shilla. "Terus, kenapa sekarang kamu jalan di belakang saya?" Shilla jengah, jika Lio selalu membandingkan perlakuannya yang berbeda saat Shilla bersama dengan Agus dan Lio. Harusnya, Lio sadar diri mengapa perlakuannya berbeda. Tanpa ia harus bertanya. "Maaf, Pak. Kita udah telat. Lebih baik, sekarang kita ke parkiran secepatnya." Mengabaikan pertanyaan Lio. Shilla memilih untuk berjalan cepat mendahului Lio. Tak ia pedulikan, Lio yang kini sedang menatapnya. Lio mendesah, demi melihat perubahan sikap Shilla padanya. "Apa yang lu harapin, b******k?" tanya Lio pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia memilih untuk menyusul Shilla yang sudah berjalan lebih dulu. *** Lio menyanggupi semua permintaan Simon. Meski bagi Shilla, permintaan Simon cukup banyak. Namun bagi Lio, itu adalah sebuah kesempatan emas di mana, ia bisa membuktikan bahwa dirinya memang bisa diandalkan untuk memegang perusahaan ini. "Terima kasih untuk kepercayaannya, Pak Simon." "Engga. Justru saya yang harus berterima kasih, karna Pak Lio mau memenuhi permintaan saya yang banyak." Keduanya tertawa sambil berjabat tangan. "Kalau begitu, kami izin pamit." "Silahkan. Sekali lagi, terima kasih karna Pak Lio mau memenuhi permintaan saya." Jabat tangan keduanya terlepas. Kini, giliran Shilla yang menjabat tangan Simon. "Terima kasih untuk kerjasama, juga jamuannya, Pak Simon." Simon tersenyum. Ia selalu senang, tiap kali melihat Shilla. Sejak dulu, ia berpendapat bahwa Agus beruntung bisa memiliki sekretaris yang cantik dan cakap seperti Ashilla. "Kalau kamu berhenti dari perusahaan itu. Kamu bisa dateng ke sini. Saya dengan senang hati akan menyambut kamu sebagai sekretaris kedua saya." Tawaran Simon, bukanlah godaan semata. Shilla sendiri tau hal itu. Meski Simon adalah pengusaha yang sangat sukses. Tapi ia bukan tipe pria yang suka bermain wanita. Bahkan, meski kini ia memiliki dua istri. Itu pun, bukan karna ia yang berselingkuh. Tetapi karna sang istri yang mencarikan istri baru untuk Simon. "Suatu kehormatan bagi saya, mendengar tawaran Pak Simon." Sungguh, Shilla benara-benar merasa terhormat. Karna tawaran Simon itu artinya, kemampuannya telah diakui oleh pria itu. Setelahnya, Shilla dan Lio kembali ke perusahaan mereka. Tak ada pembicaraan di antara keduanya selama perjalanan. Mereka lebih suka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD