Kacung

1347 Words
“AKH!” Teriakan ini disertai dengan kedua tangan meremat kuat rambut gondrong di kepala, sakit yang begitu tiba-tiba disertai dengung memekakkan telinga. Laki-laki dengan postur tubuh 185 senti meter tersebut terjatuh, kedua lutut menopang tubuh yang sudah babak belur. Tujuh orang terlihat hanya menyeringai, tanpa rasa iba. Mereka menyukai momen saat ini. Dua orang terkapar dalam sekali aksi. Kacung, cucu dari salah satu pemilik toko pernak-pernik khas daerah setempat. Dante Ferdinand, lelaki 65 tahun dan hidup seorang diri. Pria tua tersebut merupakan pendatang yang sudah menjadi warga setempat. Sementara sang cucu hanya laki-laki muda berusia sekitar 27 tahun, baru menempati kediaman Dante sejak dua tahun lalu. Sedikit terlihat memiliki gangguan mental sehingga sering menjadi bulan-bulanan preman setempat. Mudah ketakutan, lalu berteriak tanpa kejelasan. Seperti sekarang ini, dipukuli karena mencoba menyelamatkan beberapa anak kucing liar yang disiksa oleh tujuh pria bertubuh kekar. Bukan hal baru jika Kacung mendapat penindasan, lelaki tampan dengan rahang tegas tersebut memang sudah menjadi langganan para penguasa jalanan di Pasar Seni. Bahkan, dianggap binatang terlantar yang akan mereka siksa tanpa ampun. “Lihat, Anak Kucing itu sedang mengeong!” ledek seorang lelaki beranting hitam, lubang di telinga terlihat cukup lebar. Bisa melihat pemandangan di bagian belakang si empunya. Baron, pimpinan preman yang memang sangat meresahkan para pedagang itu menyeringai. Mengamati dua orang di jalanan sepi, perempuan muda dengan seragam putih abu-abu terlihat masih menggeliat. Sementara darah kental tampak di bawah kepala. Lalu, tatapannya beralih pada Kacung. Pria yang sudah terlihat tenang, tetapi kepala itu tertunduk sangat dalam. Kedua tangan masih memegangi rambut, kemungkinan tengah menahan rasa sakit. Aneh, padahal mereka belum menghantam bagian tersebut, kenapa sudah begitu kesakitan? “Bos, apa kita habisi mereka saja?” Pertanyaan ini hanya Baron respon dengan ekor mata yang menangkap gelagat kurang nyaman, Kacung memang sudah tak menimbulkan gerakan liar. Namun, melihat ketenangan yang hening memaksa dia mengamati lebih serius. Laki-laki dengan rambut terurai berantakan tersebut memang tengah mencoba mengatasi rasa sakit, air mata terlihat masih membasahi pipi. Sebelumnya dia ketakutan, tetapi detik ini debar di balik dada membuat satu sensasi luar biasa. Kilas kenangan aneh bermunculan. Benar, dia melihat hal-hal tak biasa sekarang. Sejak menyaksikan pipa besi menghantam kepala Belva yang mencoba melindunginya, Kacung justru terusik oleh berbagai kenangan asing. Pria itu mencoba menguasai keadaan diri yang tidak stabil. “Axel, awas!” “King, balas mereka!” “Bunuh mereka!” “Demi, Mommy. Habisi Black Wolf!” “Axel, ti voglio molto bene.” “Jangan mati, King. Bertahanlah!” “Axel, lari!” Kalimat demi kalimat aneh terdengar begitu jelas dan nyata, lalu diikuti bayang-bayang wajah asing bergantian muncul. Semua itu justru melahirkan kesakitan luar biasa, Kacung kembali meraung ketika ingatan menangkap insiden brutal. Bunyi ledakan, suara tembakan, lalu lautan jasad manusia. Apa itu? Dia menggelengkan kepala sambil terus menjambak rambut panjang tak terawatnya, tetapi langsung mengangkat wajah ketika melihat dirinya terluka parah. Si Kacung tersengal-sengal, kedua tangan yang semula berada di kepala terlepas. Kepala itu bergerak pelan ke arah sang gadis yang hanya menggapai-gapai padanya, sorot lemah yang sangat menyedihkan. Namun, senyum tipis terbit melihat dirinya baik-baik saja. Belva yang malang! Tatapan menikam itu beralih pada para pria yang berdiri dengan berbagai macam senjata di tangan, benda tumpul dan tajam terlihat. Salah satunya memiliki warna merah, dia memusatkan pandangan padanya. Pelaku yang menghantam kepala Belva. “Kalian akan membayar semua ini,” gumamnya sambil berdiri tanpa menyingkirkan rambut yang menutupi wajah, “lo guiro ….” “Lihat, anak kucing itu bangun!” “Dia baru selesai mengeong!” Tawa mereka mengudara bebas, menunjukkan betapa senangnya setelah berhasil membuat orang lain terluka. Baron pun ikut meledek Kacung, laki-laki yang dianggap gila oleh semua orang. Mereka hanya sedang tidak sadar bahwa makhluk lemah yang selama ini diinjak-injak adalah Hyena terbaik di kawanannya. “Lari …!” Suara ini hampir tak terdengar, sangat lemah. Berasal dari Belva yang terkapar di atas aspal, gadis itu masih bertahan. Syukurlah! “Ka—cung, la—ri. Cari ban—tu—an.” Masih berusaha untuk memberikan peringatan pada pria yang selama ini menjadi teman baiknya, Belva bahkan selalu mengerjai Kacung jika bermain bersama. Dia melihat para anggota geng mengganggu Kacung, pukulan demi pukulan terlihat diayunkan. Tak ada siapa pun, pria itu pasti sedang memberi makan kucing liar di kawasan rawan tersebut. Padahal Belva sudah sering mengingatkan agar tidak pergi jauh dari pasar. Ketika seseorang mengayunkan tongkat besi, dia berlari untuk mendorong. Sialnya, jusru Belva terkena hantaman logam tersebut. Dia langsung terkapar, bahkan pandangannya sudah terganggu. Hanya saja, masih berupaya untuk bertahan. “Di sini tak ada siapa-siapa yang bisa menyelamatkan kalian, bagaimana kalau kusingkirkan hama-hama yang hanya merusak tatanan tempat ini? Laki-laki dungu yang suka mengganggu Flo, satu lagi Anak Haram. Lebih baik kalian hidup bersama di Neraka!” Baron mengatakannya dengan diikuti tawa khas setan, “tenang, kami akan membuatnya cepat dan tanpa perlu berteriak kesakitan.” Kacung yang mereka kenal tergelak, laki-laki dengan cekungan di pipi kanan itu merasa sangat lucu dengan tingkah para preman. Mereka terlalu banyak bicara, membuang-buang waktu saja. Sepertinya dia harus mengajari cara menjadi pria sejati. “Kalian tahu apa makna dari penyesalan?” Pertanyaan ini bernada dingin dan cukup membuat para preman mengernyit, “Neraka paling jahanam, bersiaplah untuk menyesal.” Setelah mengucapkannya dengan nada tak biasa, tubuh itu bergerak maju. Tentu saja, si pemilik tongkat besi mengayunkan dengan cepat. Namun, dia harus terbeliak ketika tangan kiri Kacung menangkap begitu kuat. Apa-apaan itu? Semua orang saling pandang, dari mana kekuatan yang dimiliki Kacung? Apa dia sedang mengalami satu transformasi penuh keajaiban? Mereka segera mengembalikan kesadaran, bergerak kompak ketika melihat salah satu temannya memekik akibat pelintiran serta tendangan cepat yang begitu kuat. Baron menggeleng tak percaya, bagaimana bisa? Begitulah dia maju diikuti tangan mengeluarkan benda tajam dari balik jaket yang dikenakan. Pertarungan sengit yang cukup menakjubkan, tendangan berputar yang terlatih. Ada apa dengan tubuh Kacung? Baron mendapati gerakan langka, berbagai teknik bela diri yang cukup profesional. ‘Siapa dia, kenapa tiba-tiba menjadi petarung hebat?’ batin Baron menciutkan nyali yang selama ini begitu besar, dia hanya melongo ketika anak buahnya terlempar kalah. Enam orang itu bahkan pingsan di berbagai titik. Baron mundur, pisau di tangannya bergetar hebat. Dia gemetar tanpa disadari, apa begini rasanya menjadi pengecut? Sang pimpinan preman menggelengkan kepala dengan cepat, tak mau malu hanya karena perasaan kacau kecil. Namun, kaki terasa dipasung di tempat. Susah digerakkan, dia hanya menatap pasrah langkah demi langkah yang dilakukan oleh Kacung. Menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. “S—si—siapa kamu sebenarnya?” tanya gugup ini menarik sudut bibir Kacung menyamping, sedikit lebih tinggi dari sebelahnya. “Aku?” balas Kacung yang tak lagi terlihat menyedihkan, “Malaikat Kematianmu.” Satu pukulan langsung diberikan, cukup kuat. Namun, cukup menyadarkan Baron akan bahaya. Sang preman memberikan perlawanan, Kacung pun menyerang dengan brutal, tanpa jeda sehingga lawan kewalahan. Tubuh ketua preman yang selama ini mengganggu dirinya dan sang kakek terlempar. Bunyi tulang patah terdengar saat lengannya tertekuk ke belakang, lalu tertimpa tubuh kekar tersebut. Baron melengkingkan rasa sakit luar biasa. “Jangan, tolong. Ampuni aku!” Baron meminta belas kasihan saat pisau lipat yang memantulkan cahaya matahari sore berpindah tangan, “aku mohon ….” Kacung tertawa kecil, tubuh kurusnya sampai terguncang. Pria yang memiliki banyak luka akibat para preman itu berjongkok di samping kanan Baron, sementara tangan memainkan pisau. Kemudian, menatap tajam pimpinan tanpa perasaan yang selalu bertindak kejam. “Apa benda ini berfungsi?” tanya Kacung yang tak lagi memiliki sorot teduh, “begini cara menggunakannya?” “Akh!” Baron memekik sambil memejamkan mata ketika pria itu menekan mata pisau pada telapaknya sendiri, lalu menarik cepat hingga darah terlihat mengalir. “Atau …?” Kacung sengaja menggantung kalimat sambil mengayunkan tangan lain yang sedang memegang pisau, “sei morto!” Baron hanya mampu pasrah, ini kali pertama dalam hidup merasa begitu ketakutan. Tak menyangka jika akan berakhir di tangan laki-laki terbelakang mental yang selalu dipukuli selama dua tahun terakhir. Pria dengan tato penuh di kedua lengan terlihat memejamkan mata, siap menerima tikaman terakhir dari Kacung yang mendadak perkasa. Apa dia akan mati begitu saja? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD