Saat pertama kali bertemu Izrail, aku merasa terpuruk dan ingin mati. Alasan mengapa aku menginginkan kematian adalah Amanda. Aku merasa bahwa orang tuaku, terutama Mama, lebih menyayangi Kakak perempuanku itu dibanding aku. Mungkin, di hatinya, tidak ada kasih sayang sama sekali untukku. Pertemuan keduaku dengan Izrail juga sama. Aku sudah berada di level tidak peduli, tidak lagi percaya karena selalu terkhinati. Janji yang diberikan, selalu teringkari. Ironis, karena pengkhianatnya selalu orang yang aku sayangi. Aku tidak mengingkari bahwa kehadiran Izrail waktu itu membuatku sedikit membuka hati. Dia memberiku sebuah harapan untuk terus bertahan. Jika dipikirkan lagi, hal yang paling aku suka darinya adalah sorot matanya yang terasa familiar. Kini aku menyadari bahwa kami memancarkan

