Bab. 2 Curiga

1165 Words
Setelah kejadian itu, Azura melakukan segala hal seperti biasanya. Dia bekerja dengan baik dan melanjutkan hobinya secara diam-diam. Azura sadar dia hanya karyawan rendahan yang selalu saja menjadi suruhan diantara pekerja lain yang lebih memiliki kuasa. Azura lelah di perlakukan dengan tidak baik, tapi dia tidak bisa menolak, dia masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi keluarganya. Azura tahu hal ini hanya akan menyiksanya, tapi dia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti alur yang sudah di tentukan oleh Sang Maha Kuasa. "Kapan semuanya akan berakhir?" tanya Azura pada dirinya sendiri. Seminggu setelah kepergian Rangga, dia mendapat telepon dari Ibu Rangga, Azura sedih dengan caci maki dan segala hal yang dikatakan oleh wanita itu. "Kau hanya wanita miskin! aku pikir dulu kau bisa bersama Rangga karena kalian bekerja di perusahaan yang sama, tetapi kini Rangga memiliki kesempatan yang berbeda. Dia pergi bersama dengan orang lain yang lebih baik darimu! tinggalkan Rangga, aku tidak sudi mempunyai menantu seperti dirimu." Ucapan ibu Rangga selalu menghantui hari-hari Azura selama sebulan ini. Azura berusaha menahan segalanya, rasa sakit yang dia terima dan rasa bersalah pada kekasih karena dia melakukan hal yang tidak pantas bersama dengan lelaki asing. "Aku memang tidak pantas untuk siapapun, Ibu aku ingin pulang." Azura mengeluh di dalam toilet dia menahan rasa sesak yang ada di dalam dadanya. Masalah satu belum usai dan masalah lain pun menantinya, sejak kepergian Rangga dia sama sekali tidak membalas pesan yang Rangga kirimkan kepadanya. Azura sadar diri begitu dalam kebencian yang ibu Rangga miliki padanya. Jika Azura terus saja memaksa, dia hanya akan semakin sakit dengan segala penolakan yang akan dia terima. Azura cukup sadar diri dengan posisinya, dia tidak akan mudah untuk mendapatkan kebahagian dengan segala hal yang kini dia alami. Azura tidak memiliki apapun yang bisa dia banggakan, kesuciannya ternodai dan dia tidak bisa mengangkat wajahnya di hadapan kekasihnya sendiri. "Baby, kenapa kamu tidak membalas pesanku? aku disini sibuk dan terus menghitung hari, aku harap bisa bertemu kamu secepatnya." Pesan yang baru saja masuk dalam ponsel jadul Azura semakin membuat dadanya sesak. Azura tidak bisa membalasnya dan rasa bersalah semakin dalam di hatinya. Azura berusaha mengingat malam itu, dimana dia kehilangan kesuciannya. Dia hanya mengingat bahwa terakhir kali dia bersama dengan Amel. "Aku sungguh tidak mengingatnya, bagaimana bisa aku tidur dengan orang yang salah?" Azura terisak ketika memikirkan kembali tentang peristiwa yang tidak ingin dia Ingat lagi. Azura mengirimkan pesan pada Amel, dia hanya ingin bertanya tentang apa yang terjadi pada malam itu, tetapi Amel bahkan mengabaikan semua pesan yang Azura kirimkan. "Aku bersalah Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" *** Melvin merasa bimbang, neneknya sudah tidak bisa menanti kejelasan Amel . Sampai saat ini Melvin merasa gelisah, kekasihnya memang keterlaluan mengabaikan pesan yang dia kirimkan. Amel tidak pernah mengerti perasaan yang dia miliki, dia hanya terus melakukan segala hal yang dia inginkan tanpa memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk mempertahankan hubungan mereka kedepannya. Umur Melvin sebentar lagi masuk 30 tahun dan ini waktu yang tepat untuknya menikah dan berumah tangga. "Apakah sudah ada jawaban?" tanya Adira pada cucu yang paling dia sayangi. "Please, jangan tanyakan hal yang semakin membuatku merasa kesal,Nek." Melvin memijat keningnya dengan lembut berharap rasa pusingnya hilang seketika. "Akhir-akhir ini kamu terlihat kurang sehat, kepalamu sering sakit?" tanya Adira yang khawatir dengan kondisi cucunya. "Aku pusing memikirkan pernikahan, Amel bahkan tidak menjawabnya dan nenek terus mempertanyakan masalah pernikahan." Adira sedikit merasa bersalah karena membuat beban pikiran Melvin semakin bertambah. "Kerjasama dengan rekan bisnis dari Korea, dia orang yang sangat menjunjung tinggi nilai keluarga. Sangat susah untuk bekerjasama dengannya, jika kamu bisa maka kamu akan luar biasa. Mereka beranggapan bahwa pemimpin harus berkeluarga karena sejak awal mereka menganggap orang yang berhasil menjaga dan memimpin keluarganya pasti mampu memimpin perusahaan nya dengan baik pula," Ucap Adira mengingatkan. "Aku tahu Nek, lagi pula rapat dengannya masih bulan depan, aku tidak mau memikirkannya terlebih dahulu." Melvin mengatakan hal itu dengan penuh rasa kesal. Terkadang Melvin merasa jika hidupnya hanya untuk bekerja keras demi perusahaan keluarga, tapi di sisi lain Melvin pasti akan sangat beruntung bisa belajar dengan cepat dan tepat serta dia bisa menjadi lelaki yang bisa di harapkan oleh keluarganya untuk menjadi penerus perusahaan yang sudah di rintis sejak awal. "Lain kali kamu harus mengecek cabang perusahaan yang lain, jangan berada di pusat terus menerus agar kamu tahu bagaimana permasalahan di perusahaan cabang yang mungkin lebih banyak, di bandingkan perusahaan pusat." Adira mengatakan itu lalu pamit kembali ke kamarnya. Usia Adira semakin tua, dia hanya ingin mengukuhkan posisi Melvin sebagai penerus perusahaan sebelum dia pergi untuk selamanya. Adira tahu segala hal yang dia lakukan sangat membuat Melvin merasa tertekan, tapi dia tidak memiliki pilihan lain karena hanya Melvin yang bisa dia andalkan untuk melakukan semua ini. "Maafkan Nenek, ini demi kebaikan mu." *** Azura hampir terjatuh jika dia tidak berpegangan pada kursi di sampingnya, dia belum sempat sarapan dan pekerjaan di kantor yang berat membuatnya tidak bisa pergi untuk membeli makanan untuk mengganjal perutnya. Asam lambungnya kumat, dia tahu hal ini akan terjadi jika dia tidak memperhatikan asupan yang masuk dalam perutnya. Azura hanya memikirkan perihal pekerjaan kantor tapi dirinya tidak pernah berpikir bahwa kesehatannya lah yang utama. Azura berjalan dengan perlahan menuju toko obat terdekat. Pikirannya berkelana, sudah sebulan sejak malam itu dan dia belum datang bulan. Ada rasa takut dalam dirinya, dia tidak ingin hamil di saat memenuhi hidupnya saja dia masih sangat kekurangan. "Aku melupakan hal yang paling penting," ucap Azura yang kini menahan tangisnya. Dia memberanikan diri untuk membeli obat asam lambung dan alat tes kehamilan, berani tidak berani dia harus mencobanya jika tidak di coba bagaimana dia bisa tahu? semua hal yang terjadi adalah kesalahannya sendiri, dia harus bertanggung jawab atas hal terburuk sekalipun. Azura menghela nafasnya, dia menguatkan diri untuk masuk ke dalam toko obat itu. Dengan gemetar dia mulai mengatakan apa yang ingin dia beli, walaupun ini pertama kalinya tapi dia mengatakan dengan baik. Seharusnya Azura tidak malu mengatakan bahwa dia membeli tes kehamilan, umurnya mendukung untuk dia menikah dan memiliki keturunan, petugas toko obat juga tidak akan curiga akan hal itu. "Sudah?" tanya petugas dan diangguki oleh Azura. Diperjalanan pulang dia tidak lupa untuk membeli makan, walaupun perutnya menolak dia akan tetap memakan makanan yang dia beli, Azura tidak ingin mengambil cuti hanya karena masalah ini. Pukul delapan malam Azura sudah sampai kos, dia segera meminum obat dan mulai membersihkan dirinya. Obat yang dia beli memang di minum sebelum makan karena itulah dia memberikan jeda sebentar sebelum dia memakan makanan yang dia beli. Melihat benda itu kembali membuat Azura berdebar, Azura kembali ragu dan pada akhirnya dia hanya menyimpan alat itu dan tidak dia gunakan. Azura merasa sehat dan mungkin jadwal datang bulannya sedang tidak beraturan hingga bulan ini dia belum mendapatkan nya. "Mungkin hanya kekhawatiran ku saja, aku hanya perlu istirahat dan memperhatikan jadwal makan yang berantakan ini," Ujar Azura mencoba menenangkan dirinya. Azura yang malang, dia tidak tahu jika apa yang dia abaikan saat ini mungkin akan menjadi petaka yang semakin besar di kemudian hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD