Sebuah Harapan 1

727 Words
Bunyi panggilan masuk mengagetkan Shafira yang sedang duduk melamun di meja makan. Ia sedang menunggu Ferdy untuk turun sarapan. Ada nama dokter Rita tertera di layar. Dokter Rita adalah putri kedua dari Bu Fatma. Ibu pengasuh panti. Juga dokter kandungan sekaligus sahabatnya. "Hallo, Assalamualaikum, Mbak." "Waalaikumsalam, Sha. Gimana kabarmu? Mbak nggak sempat mau nelfon beberapa hari kemarin. Kamu dan Ferdy gimana?" Shafira berdiri kemudian melangkah ke halaman belakang. "Nanti siang aku ke klinik, Mbak. Lebih enak ngobrol langsung. Mbak, ada waktu siang ini." "Ya, datanglah. Mbak tunggu. Apapun keadaanmu, jangan lupa ada Mbak untukmu. Jangan merasa sendiri. Oke!" Nyess. Terasa sejuk d**a Shafira. Ia seperti mendapatkan tali untuk berpegangan kembali. Shafira mendongak, menahan agar air mata tidak jatuh ke pipinya. "Terima kasih, Mbak Rita. Terima kasih banyak." "Udah, jangan cengeng. Calon ibu harus kuat. Mbak tunggu di klinik ya." "Ya, Mbak. Assalamualaikum." Shafira menutup telfon setelah salamnya di jawab. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan sesaknya d**a. Ketika berbalik, Ferdy sudah berdiri di pintu belakang. Memandangnya. "Siapa, Sha?" "dokter Rita, Mas. Nanti siang aku izin mau ke klinik. Sekalian belanja untuk kebutuhan dapur." "Tunggu Mas pulang kerja aja. Nanti Mas antar." "Nggak usah. Aku bisa sendiri. Mulai sekarang aku harus membiasakan melakukan apapun sendiri." Shafira tersenyum sambil melangkah masuk ke dalam. Dengan cekatan Shafira meladeni sarapan suaminya. Nasi goreng ikan asin. "Malam nanti, mau di masakin apa?" "Bagaimana kalau kita makan di luar?" tawar Ferdy. Besar harapannya untuk di terima. "Mas, saja. Biar ... aku makan di rumah," tolak Shafira. "Kalau gitu masak apa aja. Nanti Mas akan makan." Shafira mengangguk. Kemudian ia ikut duduk dan sarapan. Ferdy dengan terang-terangan sering memandang istrinya. Ia tidak bisa membayangkan, bahwa kebersamaan itu akhirnya hanya akan jadi kenangan. "Sha, weekend ini kita keluar kota. Kita bicarakan hubungan ini. Mungkin masih ada ruang untuk Mas diberi kesempatan memperbaiki semuanya. Kita akan punya anak, Sayang." Shafira meletakkan sendoknya di piring. Minum seteguk air dan memandang suaminya. "Mas. Jika, Mas, hanya sekedar jalan-jalan atau sesekali janjian makan. Mungkin aku bisa menerima. Tapi kalian sudah melakukan lebih dari itu. A-aku tidak bisa menghilangkan bayangan bagaimana, Mas, meniduri kawanku sendiri. Kalian ... ah, aku tidak ingin membahas hal ini lagi. Dua tahun kalian bermesraan di belakangku." "Itu tidak benar, Sha. Memang Merry jadi asisten Pak Rudi sudah dua tahun. Dia yang menangani proyek dengan perusahaanku. Tapi baru beberapa bulan ini saja kami dekat. Sha, percayalah aku hanya mencintaimu. Sekalipun apa yang terjadi di antara kami." Shafira memberi tanda agar Ferdy berhenti bicara. "Sudah, Mas. Jangan membuatku merasa mual. Segera berangkat, nanti terlambat." "Selama dua tahun itu tidak benar, Sha." "Ya, mungkin apa yang aku tahu itu keliru. Tapi sungguh hebat, jika dalam beberapa bulan saja, kalian sudah berkali-kali di atas ranjang." Shafira berdiri, menyibukkan diri dengan mengemas sisa sarapan. Dan menguatkan hati tidak menangis di pagi itu. Sejenak Ferdy termangu. Kalau tidak ada meeting penting hari ini, rasanya enggan ia meninggalkan rumah. Jas di sandaran kursi di ambilnya. "Mas berangkat dulu," pamit Ferdy mendekat. Shafira mengangguk untuk menghindari kecupan. Apa yang coba Ferdy lakukan berakhir sia-sia. * * * Shafira menghapus air mata dengan ujung jarinya. Ia duduk di hadapan dokter Rita yang mendengarkan cerita wanita yang sudah dianggap seperti adik itu dengan prihatin. Sebenarnya dokter Rita dan suaminya mengalami dilema ketika hendak memberitahu tentang perselingkuhan Ferdy pada Shafira. Sering sekali dokter Ilham, yang spesialis anak itu beberapa kali memergoki Ferdy jalan dengan Merry. Awalnya hanya dianggap sebagai kebersamaan seorang kawan dan mungkin rekan kerja. Tapi dua kali melihat mereka check out dari hotel, membuat dokter Ilham yakin kalau hubungan mereka sudah tidak wajar. Awalnya dokter Rita tidak mempercayai cerita suaminya. Tapi entah kapan waktunya, ia mendengar curhatan Merry pada salah seorang rekan dokter, tentang hubungan gelapnya dengan Ferdy. "Sha, nggak usah sedih. Kamu masih punya kami. Aku dan ibu. Jika tekadmu sudah bulat untuk berpisah. Pulanglah kepada kami," ucap dokter Rita sambil menggenggam tangan Shafira. "Aku hanya akan merepotkan, Mbak, saja." "Nggak. Siapa bilang merepotkan. Kita keluarga, kan?" "Mungkin aku harus mencari pekerjaan, Mbak." "Mau nyari kemana? Di sini aja. Kamu kan perawat. Nanti Mbak kasih tempat di bagian administrasi. Nggak usah ngurus pasien. Kamu kan lagi hamil." Mata Shafira membesar tidak percaya. Ada secercah harapan nampak di hadapan. "Bener, Mbak?" "Iya. Kamu bisa tinggal di paviliun belakang. Ada Mak Sam di sana. Kamu ada teman. Atau kalau mau tinggal saja di rumah Mbak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD