BAB 17

2104 Words
Upacara pernikahan dimulai. Bak sebuah adegan drama, semua berjalan dengan lancar dan penuh dengan senyuman palsu. Denis juga tampak menikmati ini. Aku yang melihatnya mengucapkan janji untuk sehidup-semati padaku tadi, nyaris mual dan muntah. Tak aku sangka, aktingnya semakin berkembang bahkan jauh lebih baik dari yang dulu. “Aku mencintaimu, Nisa!” ucapnya sesaat sebelum aku melemparkan buket bunga pernikahanku. Seandainya aku Annisa yang dulu, aku pasti berbunga-bunga. Sayangnya. Aku bukan Annisa yang bisa dia bodohi lagi. Karena bagi Denis, apa yang dia ucapakan barusan terdengar seperti, aku ingin membunuhmu, Nisa. Buket bunga dilemparkan dan berhasil ditangkap salah satu temanku. Dia tampak bahagia, mungkin lebih bahagia dariku. Pernikahan ini, membuatku menyadari bahwa ketidaktahuan adalah sesuatu yang patut disyukuri. Aku tidak pernah berharap untuk tahu bagaimana aku mati, tetapi melihat kematian mendatangiku, aku tidak ingin tahu bagaimana aku mati. Karena bagaimanapun metodenya, satu hal yang pasti adalah hidupku akan berakhir dan berhenti saat aku mati. Setelahnya, mungkin aku akan dilupakan seiring dengan berjalan waktu. Namun, semoga akan ada yang mengingatku, walaupun hanya setahun sekali, dua tahun sekali atau hanya sesaat setelah kematianku yang panjang dan dimakan zaman. Aku melirik Denis dan lelaki itu tersenyum. “Sabarlah, pestanya akan segera berakhir!” katanya. Aku hanya mengangguk. “Ya,” sahutku. Pestanya akan berakhir, demikian pula hidupku. Begitu kan? Mobil pengantin yang membawaku dan Denis ke rumahnya berhenti di sebuah rumah mewah. Denis keluar lebih dulu, disusul olehku yang seketika terpana menatap rumah besar di hadapanku. Ini adalah rumah Denis yang baru. Memang ukurannya tidak sebesar rumah lamanya tetapi itu bukan fokus utama saat ini. Karena sangat mungkin, rumah ini adalah pemakaman bagiku. Ayah dan beberapa kerabat memberikan petuah sebelum aku diboyong Denis kesini. Sempat ingin mengaanta tetapi aku cegah. Aku berbohong, lagi, dengan mengatakan bahwa aku akan keluar negeri untuk berbulan madu. Aku sangat yakin, bahwa Denis akan menghilang tanpa jejak setelah membunuhku. Namun, aku sudah menyiapkan berbagai kemungkinan. Diam-diam, aku sudah menulis surat yang aku letakkan di bawah tumpukan bajuku. Jika aku menghilang tanpa kabar, ayah pasti akan mencari petunjuk tentangku dengan menggeledah kamarku. Jadi, ayah pasti akan menemukan surat dariku itu. Surat, yang tidak hanya aku tujukan untuk ayah, tetapi untuk Ferdi. Bisa dibilang, itu adalah surat perpisahan. “Apa yang kamu lakukan? Ayo masuk!” Ucapan dari Denis membuatku menghentikan lamunanku. Aku pun segera mempercepat langkahku untuk menyusulnya. Untungnya, aku sudah memakai baju biasa, jadi tidak perlu ribet dengan gaunku. Aku pun berhasil mensejajarkan langkahku dengan Denis yang sudah berjalan lebih dulu. Pintu utama rumah besar itu terbuka, dua orang pelayan menundukkan kepala menyambut kedatangan kami. Aku tahu kalau Denis memang kaya raya, entah darimana hartanya yang seabrek-abrek itu tetapi masih merasa kagum dengan kenyataan bahwa dia kaya. Soal orang tuanya, aku belum pernah bertemu. Bisa jadi mereka sudah dibunuh atau disekap di suatu tempat. Bisa jadi. Itu hanya asumsiku saja. Aku terus berjalan mengikuti Denis dan kami berakhir di sebuah kamar utama yang cukup luas. Aku arahkan semua pandanganku ke semua penjuru ruangan, rasanya kamar utama itu terlalu ‘kosong’ untuk dijadikan sebagai kamar pengantin. Tidak ada hiasan, makanan atau ‘persiapan’ menuju kebahagian. Sebaliknya, di atas meja sudah berjejer berbagai jenis pisau, kapak dan juga alat bertarung lainnya. Aku menatap Denis dan iblis itu tersenyum miring. “Kamu tidak mengharapkan malam yang romantis dariku bukan?” sindirnya. Aku sempat tertegun tetapi segera menguasai diriku, berpura-pura telah menebak apa yang kini sedang aku alami. Sepertinya, Denis sudah memulai permainan hidup-mati kami, jadi aku mulai melakukan pemanasan untuk melemaskan otot-ototku. Jika pernikahan bisa memperpanjang hidup orang-orang yang aku cintai, maka harusnya aku bisa menebak bahwa pernikahan jugalah yang akan memperpendek masa hidupku. Kini, aku bisa bebas bertarung tanpa harus terbebani dengan ‘nyawa’ orang lain. “Tentu saja tidak,” jawabku. “Aku sudah menantikan hari ini!” Denis tergelak. “Benarkah?” tanyanya meragukan. “Kalau begitu, apa kamu sudah menyiapkan dirimu?” Aku mengangguk. “Iya,” jawabku. “Aku sudah bersiap untuk mati!” Denis tertawa keras setelah mendengar jawabanku. Dia bahkan meneteskan air mata karena tertawa berlebihan. Untuk beberapa saat, aku hanya melihat bagaimana lelaki itu tertawa. Walau kemudian dia menatapku tajam dengan tatapan aneh yang sulit diterjemahkan. “Jangan lemah, Nisa!” katanya. “Kamu tidak pantas dengan image sebagai perempuan lemah dan pasrah!” Satu alisku terangkat naik, heran. “Pilihlah senjatamu, mari kita bertarung sampai salah satu di antara kita mati!” katanya dengan penuh kesungguhan. Aku menatap kaget ke arah Denis. “Perang tidak akan menyenangkan tanpa perlawanan, Nisa!” katanya dengan senyuman mengejek. Aku tersenyum. “Ya, aku rasa kamu benar!” sahutku setuju dengan ucapannya. Aku pun mulai berjalan menuju tumpukan senjata. Dimana aku memutuska untuk memakai pisau berukuran kecil tapi runcing dan pisau besar. Aku tidak kidal, tetapi bisa menggunakan kedua tanganku. Ferdi yang mengajariku bagaimana memakai seluruh anggota tubuhku untuk bertarung. Jadi, tanpa takut mati, pertarungan kali ini tidak akan sesingkat pertarungan-pertarunganku dengannya sebelumnya. Aku harap begitu. Aku dan Denis sudah saling berhadapan. Ketakutanku berubah menjadi tenaga setelah melebur bersama keberanian yang entah berasal dari mana. Sorot mata Denis kini sudah berubah menjadi serius. Demikian pula sorot mataku, walau aku tidak perlu bercermin untuk membuktikan itu. Nyala api sudah berkobar dan hasratku untuk membunuh lelaki yang ada di hadapanku saat ini sudah melebihi batas maksimal. Aku pun maju dengan gejplak semangat yang melimpah. Aku terus menganyunkan pisauku padanya dengan kedua tangan yang sangat sibuk. Terkadang, aku ayunkan satu pisauku secara bergantian atau kedua-duanya. Aku mulai menebas-nebasnya dengan gerakan yang diperhitungkan dan matang. Namun bukan Denis namanya jika mudah dikalahkan hanya dengan semangat yang membara. Dia membuat gerakanku menjadi sia-sia. Sikopat gila itu sungguh cepat, bahkan mirip teleportasi yang membuatnya bisa kesana-kemari untuk menghindari serangan. Aku terlonjak dan mundur ke belakang, berniat untuk mengambil jeda. Namun, Denis tidak membiarkan aku melakukannya. Dia melakukan serangan balasan. Walau belum memakai kekuatan penuh, serangannya mampu membuat tubuhku bergerak maksimal untuk menghindari atau sekadar menepis serangan darinya. Beberapa kali terdengar suara denting dari pisauku yang bersinggungan dengan pisau miliknya. Dengan cantik, dia mengakhiri serangan main-main itu dengan gerakan yang seolah ingin menebas leherku, akan tetapi berhasil aku hindari hingga hanya menggores pipi bagian kiriku. Darah segar segera mengalir keluar dari kulit pipiku yang robek. Untungnya, lukanya tidak terlalu dalam mengingat bagaimana dia hanya menganyunkan pisaunya tanpa tenaga. “Kena,” ucapnya dengan senyuman mengejek yang memuakkan, Kembali, dia menjilati darahku yang tanpa sengaja menempel di pisau miliknya. Gerakan ini seolah dejavu dimana dulu dia juga melakukan hal yang sama saat bertarung denganku sebelum akhirnya menghilang dan aku kira telah berhasil membunuhnya. “Masih manis,” katanya yang membuat perutku mendadak mual. Dia memang sudah gila. Aku menyeka darah di pipiku dengan lenganku lalu mulai berfokus lagi pada Denis. Saat lelaki itu maju dan langsung berlari menerjangku, aku langsung meloncat untuk menyongsong kedatangannya. Aku ayukan pisauku tetapi berhasil Denis hindari. Dia bergerak cepat hingga dia berada di belakangku tanpa aku sadari. Aku sempat panik saat Denis mengunci leherku dengan tangannya tetapi hanya bisa pasrah saat dia menghempaskan tubuhku ke tembok dengan kuat. Aku pun melenguh kesakitan saat tubuhku terhantam dan menimbulkan rasa sakit yang cukup dasyat di area sekitar rusukku. Sepertinya, hantaman berusan telah mencideraiku. Aku mendongakkan kepala, menatap Denis yang diam di tempatnya sembari melihatku dengan tatapan dingin yang begitu menusuk tulang. Dia tak menunjukkan emosi apapun sehingga membuatku merasa kesal. Dia kemudian bergarak cepat, menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke tembok hingga pisau di tanganku terlepas dari genggamanku. Darah mengucur dari dahiku yang terluka. Dengan tangan kiri yang masih menggenggam pisau, aku coba menyerangnya. Namun, karena kepalaku terluka, seranganku tidak akurat. Denis melangkah mundur, menatap aku yang berusaha sekuat tenaga untuk bangun walau sempoyongan. “Kenapa kamu tidak tertawa?” decihku merasa marah. Denis hanya menatapku dengan bola mata kosong yang menyebalkan. Dia seolah bukan Denis yang aku tahu lagi. “Terlalu awal jika kamu berpikir kalau pertarungan kita akan berakhir, Nisa!” katanya dengan dingin. “Kematian yang cepat, bukan gayaku!” katanya menambahkan. “s**t,” umpatku. Denis berjalan mendekatiku dan kali ini aku segera menyerangkan. Aku ayunkan pisauku menuju jantungnya dengan jeritan semangat bercampur dengan menahan rasa sakit karena luka-luka di tubuhku. Tapi perbedaan kemampuan kami dalam membunuh sangatlah kontras. Pisau yang aku genggam bukannya menikam jantung Denis, melainkan berbalik menyerangku bak boomerang. Tubuhku ambruk saat Denis berhasil memukul tanganku hingga satu-satunya pisau yang tersisa di tanganku terlempar entah kemana, lantas dia hujamkan beberapa tikaman di kaki kiriku yang membuatku langsung tersungkur jatuh. Darah merembesi celana yang aku gunakan dan segera lantai kamar dipenuhi dengan genangan darah membuatku tidak hanya terkapar, tetapi juga mengerang hebat. “Cuma itu kemampuan yang kamu miliki, Nisa?” katanya. “Bukankah kamu dulu bisa lebih baik dari ini?” Denis mulai membuka mulutnya yang sempat terkunci dan kata yang dikeluarkannya sungguh membuatku emosi. Dia benar-benar meremahkan aku. Kamu harus berkepala dingin dan mengabaikan provokasinya, Nisa. Pesan dari Ferdi saat dia melatihku waktu itu kembali tergiang di telingaku. Benar, ini bukan saatnya aku untuk emosi. Jika aku termakan perasaan marah, aku akan kalah dengan cepat. Aku harus tenang. Harus! Aku perlahan bangun walau dengan menahan rasa sakit dan butuh usaha yang sangat keras. Sepertinya, meski semangat tidak menyembuhkan luka, setidaknya bisa membantuku untuk sedikit melupakan rasa sakit yang aku rasakan. Denis bertepuk tangan, memberikan penghargaan karena aku masih bisa bangkit. Aku tatap dia dengan lekat membuat mata kosong lelaki itu kini telah berganti. Dia menyadari keberadaanku. Sepertinya, dia mulai menunjukkan keseriusannya untuk melawanku. Aku mulai menyerang lagi dengan segala kemampuan yang bisa aku gunakan. Tanpa pisau, aku gunakan apapun yang bisa aku dapat untuk menyerangnya. Denis kemudian menyudahi serangan brutalku dengan menancapkan pisau di titik yang berbeda dengan tikaman sebelumnya walaupun di tempat yang sama, kaki kiri. Setelah itu, Denis berjalan melenggang ke tumpukan meja, hendak mengambil senjata lagi. Dia lengah. Jadi aku segera mencabut pisau yang menancap di kaki kiriku dan melemparkannya secara akurat hingga menggores lengan Denis karena lelaki itu menyadari seranganku walau sedikit terlambat. Kalau saja dia tidak menggeser tubuhnya, pasti pisauku tidak hanya sekadar menggores lengannya, tetapi berhasil menancap di lengannya. Sayang sekali. Mendaat serangan yang begitu tiba-tiba membuat Denis segera menyerang balik. Kali ini, dia menggunakan tangan kosong. Dia melayangkan tinju ke arahku dimana sebagian besar dari serangannya yang bertubi-tubi itu tidak dapat aku tangkis. Sedangkan aku hanya berhasil meninju pipi kanannya sekali. Denis menjadi marah karena itu sehingga semakin menegaskan perbedaan kekuatan kami dengan pukulan telak di ulu hati yang membuatku ambruk dengan mulut yang mengeluarkan cairan sejenis air. Napasku terengah. Badanku bahkan terasa telah hancur. Aku tahu ini adalah pertarungan yang tidak bisa aku menangkan tetapi menyerah tanpa  perlawanan pasti akan sangat menyedihkan. Denis menatapku dengan tatapan yang mengejek saat melihatku masih dalam posisiku saat terjatuh. Tenagaku terkuras habis, bahkan menggerakkan jari saja rasanya tidak mampu. Lelaki itu berjongkok dan menatapku dengan sorot mata yang tiba-tiba menjadi penuh rasa iba. Sorot matanya yang seperti itu membuat semakin merasa jijik pada diriku sendiri. Ini sungguh memalukan. “Nisa, apa segini saja kemampuanmu?” tanyanya, lagi. Aku tidak menjawab, terlalu sibuk mengais napasku yang rasanya hampir lepas. Badanku sakit dan airmata di pipiku saat ini adalah bukti nyata bahwa aku sedang berjuang melawan rasa sakit. Denis membelai lembut rambutku membuat bulu kudukku menjadi meremang. “Haruskah kita mengahiri semuanya sekarang, Sayang?” katanya dimana kemudian tangannya bergerak turun membelai pelipis, pipi dan berakhir di daguku. Aku menelan ludah, ketakutan yang sempat sirna kembali dalam sekejap. Jika selama ini aku selalu takut pada kesendirian dan ditinggal oleh orang yang aku cinta, maka saat ini aku tahu bahwa kematian sangatlah menakutkan. Bahkan jika aku sudah bersiap untuk menyambutnya, tetap saja aku masih merasa takut. Di penglihatanku saat ini, kematian serupa dengan kegelapan yang akan menelan diriku hingga habis dan menuju ketidaktiadaan. Aku melebarkan puil mataku saat Denis mengeluarkan sebilah pisau yang terlihat tajam dan menyilaukan dari balik jaketnya. Dia menyeringai lebar dan itu sanggup membuatku ingin segera kena serangan jantung agar kematianku tidak berlangsung panjang dan menyakitkan. Jika benar-benar harus mati, kematian yang menyakitkan, bukanlah impianku. Aku menutup mataku, bersiap untuk mati—entah ditikam, dipotong, disayat atau apapun cara yang Denis gunakan untuk menyiksaku, aku harap itu membuatku mati dengan cepat. Semoga. Waktu berlalu dan aku cukup tidak sabar hingga membuka mataku lagi. Aku pandang Denis yang kini menatapku dengan sorot mata yang tidak asing. Sorot mata yang sama dengan saat dia masih menjadi cowok kampret yang selalu ada untukku. Mungkinkah..? Apa itu mungkin? Kami bertatapan cukup lama. Dia kemudian tersenyum, manis dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali melihat senyuman yang membuatku jatuh cinta padanya bertahun-tahun yang lalu. “Untuk hari ini, cukup sampai di sini." Dia menyeringai, mengecup keningku sebentar lalu pergi. Aku terdiam, bingung. Aku kira, malam ini, aku akan mati, ternyata tidak. Seorang perawat dan dokter datang, sepertinya berniat mengobatiku. Wajah mereka terlihat takut dan tegang, pasti Denis mengancam mereka. Aku tersenyum, mengutuk diriku sendiri. Untuk sesaat aku lupa, kalau psikopat tidak pernah membunuh mangsanya dengan cepat. Dia pasti ingin bersenang-senang sebelum membunuhku. k*****t!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD