BAB 18

1464 Words
Aku sedang duduk di salah satu kursi kafe yang berada di dekat jendela. Ditemani dengan secangkir teh hangat, novel dan juga alunan musik klasik yang diputar di kafe ini memberikan kombinasi yang bagus untukku menikmati hidupku. Jemariku terlalu asyik membuka lembar demi lembar halaman dari novel yang aku baca dengan khidmat. Sesekali aku tersenyum sendiri, alur cerita dalam novel yang aku baca membuatku larut di dalamnya. Aku bahkan sempat berkhayal bahwa aku adalah tokoh utama di dalam novel itu. Walau, itu bukan sepenuhnya hanya khayalanku. Mungkin, bisa dibilang, aku memang tokoh utama di dalam novel itu. Walau, aku tidak terlalu bangga dengan pernyataan tersebut. Aku mengangkat sedikit kepalaku, melihat sekilas pada tetesan air yang melekat di jendela karena hujan turun dengan cukup deras. Pandanganku teralihkan saat mendengar suara dering bel saat pintu kafe dibuka. Seorang lelaki tampan masuk dan berjalan ke arahku dengan langkah sedikit terburu-buru. DIa tersenyum saat mata kami saling bersitatap. “Udah lama nunggunya?” tanyanya dengan ramah. Aku menggelengkan kepalaku. “Aku menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan novel ini,” jawabku sambil mengangkat tanganku yang sedang memegang novel. Lelaki itu menghela napas. “Nis, sudah beraa kali kamu membaca novel itu? Apa kamu tidak bosan?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kenapa? Apa salahnya? Novel ini bagus,” jawabku. Lelaki itu menarik kursi di depanku lalu duduk. “Apa kamu yakin dia tidak ada mengenal kita? Ceritanya terlalu nyata dan sama untuk dikatakan kebetulan,” ujar lelaki itu merasa khawatir untuk kesekian kalinya. Aku menggeleng tegas. “Tidak kenal,” jawabku yakin. “Lagipula ending ceritanya berbeda, Fer!” Fer untuk Ferdi. Ya, Ferdi sudah sembuh. Setelah satu setengah bulan berjuang, kekasihku itu akhirnya kembali membuka matanya. Aku yang sudah pulih dari berbagai cidera pun dengan sabar menemaninya untuk terapi gerak. Tubuhnya kaku karena sudah lama tidak digerakkan sehingga perlu latihan dan terapi gerak untuk memfungsikannya dengan normal seperti dulu. Walau ada hal-hal yang tidak bisa dipulihkan—jarinya. “Kamu tidak sedang berusaha untuk menutupi kebenaran bukan?” tanya Ferdi masih merasa curiga. “Tidak, kok!” jawabku. “Lagipula, novel berjudul watcher! karya dari Ina Zakaria ini memang bagus, alur dan juga karakter tokohnya sangat menarik. Walaupun tentu saja tokoh aslinya jauh lebih menarik,” lanjutku. Ferdi tergelak lalu dengan gemas mengacak-acak rambutku. “Fer!” jeritku tidak terima karena dia membuat rambutku berantakan. Aku mencoba menepis tangannya dari kepalaku dan terdiam saat melihat jemari tangan kiri Ferdi. Aku tatap Ferdi dan lelaki itu hanya tersenyum. “Aku rela kehilangan apapun, termasuk dua jariku, asal aku bisa memilikimu,” katanya yang kemudian membuatku teringat akan sesuatu—yang sampai saat ini belum pernah aku ceritakan kepada siapapun. “Hm,” kata Ferdi sambil menyipitkan matanya. “Kamu begitu lagi.” Aku hanya nyengir lalu segera mengenyahkan pikiran yang semat terbesit di otakku barusan. “Hujan sangat deras,” katanya membuka topik baru. “Apa kamu setuju jika kita makan siang di sini saja?” Aku mengangguk setuju. “Baiklah,” jawabku. Aku pun mengambil csngkir tehku, hendak meminumnya sebelum Ferdi merebutnya dan membuatku mengerucutkan bibirku kesal. “Pesan lagi, sekalian pesan makanan!” katanya setelah menyesap habis tehku. Aku tidak bisa protes. Tawarannya menggiurkan. Jadi aku memutuskan untuk mengampuninya kali ini. Setelah memesan makanan dan minuman, kami mulai mengobrol tentang bagaimana hariku, bagaimana harinya dan pembahasan yang sering kami bahas sekarang adalah... Kemampuanku. “Apa kamu menyentuh seseorang hari ini?” Aku mengangguk. “Siapa?” tanyanya. “Ayahku, pembantuku dan kamu,” jawabku. “Selain itu?” tanyanya lagi. Aku berpikir sejenak. “Ah, tadi aku sempat menyenggol seseorang saat ke toilet,” jawabku. “Lantas?” Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak melihat apapun,” jawabku. Ferdi menarik napas lega. “Syukurlah,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Fer,” panggilku. “Ya?” “Aku mencintaimu,” ucapku yang seketika membuat wajah Ferdi bersemu merah. “Aku juga mencintaimu,” sahutnya. Kami saling tersenyum lalu tangannya tergerak dan menggenggam tanganku dengan erat. Aura merah jambu itu pun melingkupi kami berdua sampai pelayan datang dan menyajikan makanan. Kami pun menyudahi romansa itu dengan bersantap bersama.  Sulit untuk dijelaskan bagaimana perasaanku saat ini, tetapi rasa haru, sedih dan lega menjadi satu. Aku tidak pernah menjadi seorang pecundang, tetapi larut dalam impian yang tidak mungkin menjadi nyata, mungkin bisa menyembuhkan luka yang terlampau dalam terhujam di dalam hati. Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar dengan agak kabur. Kelopak mataku terhalangi oleh cairan bening yang menggambarkan perasaan seseorang, kita menyebutnya sebagai air mata. Ulu hatiku mendadak sangit, sesak dan nyaris membuatku tidak bisa bernapas. Kenyataan memang selalu menyakitkan. Jauh di dalam hati dan di dasar alam bawah sadarku, aku menginginkan kebebasan. Sayangnya, tidak mudah untuk mendapatkan itu. "Kamu sudah sadar?" Aku menoleh, menatap iblis k*****t yang membuat mimpi indahku menjadi seburuk kiamat. Dia tersenyum miring, membuatku mengepalkan tangan tanpa sadar. "Kamu mengingau," katanya sembari mendekat, meraih ujung rambutku dengan tatapan tajam bak seekor elang sedang membidik anak ayam. "Dengar, Nisa. Kamu adalah istriku sekarang. Jangan pernah memimpikan lelaki lain atau berniat untuk lari bersamanya," tekannya. "Kamu tahu, kamu tidak akan pernah berhasil melarikan diri dari sini." Aku memperkuat kepalan tanganku, rasa marah seketika mengalir di seluruh aorta tubuhku. Kebencian ini memuncak, membuatku nyaris menghantamkan tinju padanya. "Kalau kamu bersikeras, aku akan membunuh semua orang yang kamu cintai. Dimulai dari ayahmu, pembantumu, teman-temanmu, dan... Ferdi." Jantungku seperti diremas. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan peringatan dengan harga mati. Aku tahu Denis tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Dia bukan lelaki seperti itu. Bertahun-tahun mengenalnya, dia tidak pernah mengingkari janjinya. Ya, Psikopat memang seperti itu. Seperti iblis yang tidak pernah mengingkari janji, dia selalu memenuhinya. Walau untuk terwujudnya janji itu, dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Seperti para pemuja setan yang menukar jiwa mereka dengan keinginan yang ingin dicapai, Denis juga menawarkan hal serupa padaku. "Jangan mati, Nisa. Jangan melawan dan jangan membuatku marah. Kamu hanya akan menunda penyembuhanmu jika kamu terus membiarkan emosi menguasaimu. Ingat, aku lelaki yang bisa menunggu, tetapi tidak terlalu sabar. Jangan membuatku bosan, Nisa. Ini tidak akan pernah berakhir cepat dan mudah untukmu." Denis menatapku lekat, mendekat dan memberikan kecupan pipi yang singkat, "Cepat pulih istriku," katanya dengan senyuman penuh dengan kepuasaan. Aku tidak menyahut, hanya menelan salivaku lalu teringat sesuatu, "Ayahku, Bagaimana dengannya? Jangan menyakitinya!" Aku memohon. Denis tergelak, "Aku pikir, kamu akan memohon untuk Ferdi, ternyata kamu lebih menyukai ayahmu huh? Tenang saja, kita tidak di rumah. Aku mengatakan padanya kalau kita sedang berbulan madu. Memang menjengkelkan karena harus pergi tanpa pamit karena tubuhmu yang lemah itu. Namun, tidak masalah. Kamu memiliki wkatu seminggu untuk pulih Nisa. Setelahnya, aku mungkin harus membunuh seseorang untuk memperpanjang masa pemulihanmu." Denis menyeringai lantas menjauhkan diri dariku. "kamu mau ke mana?" tanyaku sedikit panik, "Tenanglah, aku hanya pergi sarapan. Bagaimanapun, cepatlah pulih. Aku akan membawaku berkeliling. Tempat ini cukup indah, sepi dan menyenangkan. Tidak banyak orang di sini," katanya. "Mungkin membunuh seseorang di sini tidak akan ketahuan." Denis terbahak lalu berlalu pergi. Aku menghela napas panjang dan berat. Hatiku kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ini sangat membuat fristasi, tetapi aku tidak mau larut dalam perasaan depresi. Aku harus cepat pulih. Bagaimanapun, aku tidak boleh membuat Denis bosan. Dia pasti benar-benar akan menyakiti orang yang aku sayangi dan orang lain yang tidak berdosa hanya untuk membuat perasaannya menjadi lebih baik. Bagaimanapun iblis senang melihat seseorang menderita dalam upaya terakhir sebelum kematian mendatangi. Seorang perawat masuk, memeriksa keadaanku. DIa perawat yang sama dengan yang aku lihat sebelum pingsan. Wajahnya sudah lebih baik. Dia masih sedikit takut, tetapi tidak sepucat dan setegang biasanya. "Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah," katanya seolah tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya mengangguk dan membiarkannya melakukan tugasnya. Walau berbaring di ranjang, kakiku diikat. Mungkin Denis tidak ingin aku melarikan diri atau mencoba melawannya lagi. Pemikiran yang baik, seandainya aku tidak tahu maksud sebenarnya dari tindakannya ini. Dia pasti hanya ingin memastikan aku tetap di ranjang untuk bisa mengejekku, menguji apakah aku akan tetap di sini atau tidak, itu bukanlah sesuatu yang penting. Aku sudah terperangkat dan tidak akan pernah bisa melarikan diri. Perawat sudah melaksanakan tugasnya, dia memohon pamit. Aku hanya mengangguk pelan. "Siapa namamu?" tanyaku sebelum dia mencapai pintu. "Ami," jawabnya lalu pergi. Aku menghela napas panjang sekali lagi. Kehidupan damai yang aku miliki kini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah pertumpahan darah, kerasnya bertahan hidup dari kematian dan kegelapan. Apapun itu, selama aku bisa melindungi orang yang aku cintai, aku akan mencoba bertahan selama mungkin. Ah, aku sungguh merindukan kekuatanku. Aku ingin melihat bagaimana aku mati sehingga bisa mengantisipasinya. Sayangnya, aku mungkin akan lebih banyak melihat kematian orang lain jika kekuatan itu kembali. Hidup memang penuh dilema. Sungguh, aku tidak suka ini. Aku ingin lari, tetapi tidak bisa lagi. Semua ini harus dihadapi, bukan dihindari. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa memenangkan pertarungan kematian ini. Harus!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD