BAB 5

1464 Words
Aku hanya berdiri menatap Desi yang dibawa ke kantor polisi sedangkan lelaki komplotannya dilarikan ke rumah sakit. Entah siapa nama lelaki itu, aku tidak terlalu memperdulikannya. Yang kupedulikan adalah kenyataan bahwasanya Satria itu menyukai lelaki dan entah kenapa aku sedikit sulit memahami kasus ini. Aku tatap Ferdi yang berdiri di sampingku dengan sesekali memutar-mutar ponsel milik Satria. Kalau dugaanku benar, dia sedang memikirkan sesuatu. Aku ingin memastikannya dengan bertanya tetapi tampaknya dia sedang tidak ingin membahasnya. Alisnya sering ditautkan sehingga membuat kerutan di keningnya terlihat jelas. "Fer," Ferdi menoleh ke arah Nisa yang memanggilnya. "Ada apa?" tanyanya. "Kamu lapar?" tanyaku balik. Ferdi menggeleng. "Kamu sudah lapar?" tanya Ferdi balik. Aku mengangguk. "Baiklah, ayo aku antar pulang!" ajaknya lalu berjalan lebih dulu. Aku pandangi punggungnya lalu meletakkan tanganku di d**a sebelah kiriku. "Masih tidak berdebar," gumamku lirih. Ini sungguh menyebalkan, juga menggelikan. Aku sudah pacaran dengannya selama setahun dan aku bahkan belum mencintainya. Padahal, Ferdi itu sangat baik. Bahkan, dia itu terlalu baik untuk seorang cewek aneh sepertiku. Apa ada yang salah denganku? Entahlah. Mungkin aku hanya terlalu membenci 'dia' sehingga lupa cara membuka hati untuk Ferdi. "Nisa!!" Aku tersentak kaget dan menoleh ke arah Ferdi. "Ayo pulang!" ajaknya lagi. Aku mengangguk lalu setengah berlari untuk menghampiri Ferdi. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menerima genggaman tangannya lalu menggenggam tangannya dengan erat. "Besok kamu jangan masuk kuliah!" suruh Ferdi. "Kenapa?" tanyaku heran. "Aku ingin kamu istirahat di rumah!" jawab Ferdi. "Heh? Aku baik-baik sa-," "Jangan membantah! Lakukan saja apa yang aku suruh!" potong Ferdi cepat. Aku hanya mengangguk mengiyakan. "Kamu lapar bukan?" tanya Ferdi. Aku mengangguk. "Mau nasi goreng?" tanya Ferdi menawarkan. "Mau," teriakku girang. "Kamu ini, jangan kegirangan begitu!" tegur Ferdi. Aku hanya tersenyum. Kami berdua masuk ke dalam mobil, mobil pun mulai melaju. "Fer, boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku memulai obrolan. "Tanyakan saja. Jika bisa akan kujawab," jawab Ferdi sembari menatap ke depan karena pacarku itu sedang menyetir. "Darimana kamu tahu kalau Desi akan menghubungi Satria?" tanyaku penasaran. "Karena dia membencinya," jawab Ferdi. "Heh? Kenapa? Apa dia akan menjebak Satria sebagai pelakunya?" tanyaku. Ferdi menggelengkan kepalanya. "Bukan," jawabnya tegas. "Lalu untuk apa?" tanyaku lagi. Ferdi menghela napas panjang. "Kamu benar-benar hanya bisa 'melihat' tanpa bisa menganalisa ya?" tebak Ferdi. Aku tersenyum malu. "Ya, kan bukan keinginanku melihat kematian orang lain, Fer!" elakku. Ferdi tersenyum. "Jadi, untuk apa?" desakku. Ferdi tersenyum kecil. "Untuk mencari bantuan," jawab Ferdi. "Bantuan?" tanyaku memastikan. Ferdi mengangguk. "Dari mana kamu tahu kalau Satria akan membantu Desi?" tanyaku penasaran. "Karena mereka berdua mencintai orang yang sama, Nisa!" jawab Ferdi. "Hah?" "Persamaan nasib akan membuat orang berempati dan itu kelemahan manusia," Aku terdiam. "Jadi, apa alasanmu dulu membantuku karena hal itu pula?" tanyaku. Ferdi menoleh sebentar ke arahku lalu mengarahkan pandangannya ke depan lagi. "Iya, karena kita sama-sama menaruh hati pada seseorang yang disebut monster," Aku melebarkan pupil mataku. Terkejut setengah mati. "Aku memujanya, kamu mencintainya," imbuh Ferdi. Aku terdiam. Entah kenapa ada rasa sedih, sakit dan bersalah yang tiba-tiba memenuhi ruang jiwaku. Apa aku menyakitimu, Fer? "Jangan berwajah begitu, kamu bersamaku sekarang!" ucap Ferdi sembari menggenggam erat tanganku dengan tangan kirinya. "Iya, aku bersamamu!" ucapku meyakinkan. Ferdi tertawa. "Kita makan di sana saja!" usul Ferdi. Aku mencondongkan tubuhku sedikit ke depan. Kulihat warung nasi goreng pinggir jalan. Ferdi menepi. Setelah mesin mobil mati, kami keluar dari mobil dan masuk ke warung itu. "Akan aku pesankan dulu, duduklah di sana!" suruh Ferdi. Aku mengangguk menurutinya. Aku berjalan menuju tempat duduk yang disediakan. Kulihat seorang perempuan yang seumuran denganku tengah duduk. Dia tampak sibuk, karena menelpon sambil sesekali memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. Sekilas kulihat perempuan itu memakai celana pendek diatas lutut dengan kaos lengan panjang yang panjangnya melebihi pinggang. Rambut cewek itu pendek dan kulitnya sawo matang. Menilai dari cara bicaranya, dia sedikit tomboy. Matanya agak sipit dengan sudut mata yang tegas dan runcing. Aku yakin, dia galak. Ferdi mendekatiku dan duduk di sampingku. Dia menatap sebentar pada perempuan yang duduk di depan kami itu lalu mengarahkan pandangannya padaku. "Nasi gorengnya aku bungkus," ucap Ferdi. "Heh? Aku sudah lapar," ujarku protes. "Makanlah di rumah! Kamu harus segera pulang!" kata Ferdi. "Baiklah," aku mengalah. "Kamu pesan juga?" tanyaku. Ferdi mengangguk. "Mau mampir di rumahku dulu?" tanyaku menawarkan. Ferdi menggeleng. "Tidak usah, sudah larut! Ayahmu juga pasti tidak akan mengijinkan," "Kenapa?" tanyaku masih teguh pendirian. Ferdi mencubit gemas pipiku. "Karena sudah malam," jawab Ferdi. "Besok, kamu ada acara?" tanyaku. Ferdi mengangguk. "Ada," "Apa?" tanyaku penasaran. Ferdi mengerutkan keningnya. "Nisa," "Ya?" "Kamu tambah bawel akhir-akhir ini," keluh Ferdi. Aku tersenyum kecut karena merasa tidak enak. "Maaf," Ferdi mengusap lembut rambutku. Tidak masalah, aku senang!" ucap Ferdi. Kami saling menatap dan tersenyum. "Buk,saya mau bayar!" Aku dan Ferdi menoleh spontan pada perempuan yang tadi. Rupanya dia sudah selesai makan dan hendak membayar. Dia bangun dan berjalan mendekati ibu pemilik warung. "Berapa?" tanya perempuan. "Semuanya Rp14.000, Neng!" jawab ibuk pemilik warung. Perempuan itu mengambil uang dari saku celananya lalu memberikannya pada ibu pemilik warung. "Wah, nggak ada uang kecil, Neng?" keluh si ibuk pemilik warung saat tahu kalau uang perempuan itu seratus ribuan. "Tidak ada, Bu! Uang terakhir," jawab perempuan itu. "Hm, tunggu saya tukar ke sebelah dulu, Neng!" ucap si ibuk pemilik warung lalu keluar. Perempuan itu melirik ke arah kami. "Erwin!" pekik perempuan itu tiba-tiba. "Heh?" Ferdi dan perempuan itu saling memandang lalu tersenyum. "Anya!!" pekik Ferdi saat berhasil mengingat perempuan itu. "Hai, lama tidak berjumpa," sapa perempuan yang ternyata bernama Anya itu. "Hai juga," sapa Ferdi. Mereka bersalaman lalu berbasa-basi sedikit. "Ah," seru Ferdi. "Ini kekasihku, Nisa!" kata Ferdi memperkenalkan. "Ah, ternyata kutub es sepertimu bisa punya pacar," sindir Anya. Ferdi tersenyum malu. "Aku Anya, teman SMP Erwin," kata Anya memperkenalkan diri. Anya mengulurkan tangannya padaku. "Ah, aku-," Aku terjatuh lemas. Lagi-lagi yang tidak kuinginkan terlihat. "Nisa! Nisa!" pekik Ferdi panik. Aku menoleh pada Ferdi. "Maaf," Ferdi hanya mengangguk. "Sepertinya pacarmu sedang tidak sehat," ujar Anya. "Ini, Neng!" Anya menoleh pada si ibu pemilik warung yang ternyata sudah kembali. "Ini kembaliannya, Neng!" Anya menerima uang kembalian itu lalu mengucapkan terimakasih. "Kalau gitu, aku duluan ya!" pamit Anya. Ferdi mengangguk. "Hati-hati!" Anya mengangguk. "Oke," sahutnya. Ferdi dan aku keluar dari warung setelah nasi goreng kami selesai. Ferdi juga sudah membayarnya dengan uang pas. "Jadi, apa yang kamu lihat?" tanya Ferdi. "Dua hari dari sekarang, dia akan mati!" "Kenapa?" "Dibunuh," Ferdi terdiam menatapku dengan nanar, aku yakin hatinya pasti sedih. Karena teman lamanya, di penglihatanku, akan segera menemui ajalnya. *** Author's POV Matahari masih bergerak malu-malu dibalik awan yang masih beku. Cahaya sang matahari juga masih terlukis samar di langit yang masih gelap. Rembulan baru saja akan meninggalkan tempatnya dan bergeser menuju belahan bumi yang lain. Seekor kucing tampak sedang menggorek-gorek tempat sampah yang terletak di sebuah tempat kos. Pintu gerbang kosan itu terkunci rapat. Hari masih terlalu pagi untuk para penghuninya sehingga kosan itu sekilas tampak tak berpenghuni. Seorang gadis muda tertidur pulas di kasurnya. Dia mengenakan celana pendek selutut dengan kaos ketat lengan pendek yang membentuk tubuhnya. Gadis muda itu memiliki kulit yang sawo matang, wajah yang manis serta rambut pendek yang membuat leher indahnya tampak jenjang. Kring... Kring .. Kring... “Bangun! Bangun! Bangun!” Suara alarm itu membuat tidur gadis itu terganggu. Dengan enggan dia menggerakkan tangannya, mencoba mencari sumber suara. Tak lama, dia berhasil meraih jam wekernya dan membantingnya ke lantai sehingga tidak lama berbunyi. "Yah, beli lagi, deh!" gerutunya kesal, agaknya dia masih setengah sadar. Gadis itu menarik selimutnya dan hendak tidur lagi. Namun, dia mengurungkan niatnya saat ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk mengganggunya. "Halo?" "Halo?" suara diseberang sana terdengar. "Bisa kamu buka pintunya? Aku sudah kedinginan di luar," imbuh si pemilik suara. "Baiklah, tunggu sebentar!" ujar gadis itu. Gadis itu beranjak dari kasurnya lalu mulai berjalan ke pintu depan setelah meletakkan ponselnya asal. Gadis itu membuka pintu dan tersenyum pada sesosok tubuh di depannya. Mereka saling tersenyum lalu sosok itu pun masuk setelah dipersilahkan masuk. "Duduklah! Aku akan pergi mandi dulu!" suruh gadis itu sembari mempersilahkan sosok itu duduk. Sosok itu duduk di dekat kasur gadis itu. Sementara gadis muda itu mengambil sebotol minuman lalu memberikannya pada sosok itu. "Minumlah dulu! Aku mau cuci muka lalu bersiap-siap!" suruhnya. Sosok itu mengangguk sebagai tanda dia mengerti. "Aku tidak lama, kok!" imbuh gadis itu. Sosok itu tersenyum. "Lama pun tidak masalah," sahut sosok itu. "Jangan menyindir begitu, aku tidak akan lama!" kata gadis muda itu meyakinkan. Dia pun mulai berjalan menuju kamar mandinya. Gadis muda itu masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian, dia keluar lagi karena merasa belum membawa handuknya. Jleb. Gadis muda itu tampak shock saat sebuah pisau belati menikam perut bagian kirinya. Spontan dia mendorong sosok di depannya. Saat dia melihat pisau yang tertancap di perutnya mulai memaksa tubuhnya mengeluarkan darah, dia mencabut pisau itu dan menggenggamnya erat. "Apa yang kamu lakukan?" tanya gadis muda itu terbata seraya mencoba menghentikan pendarahan di perutnya dengan tangan kiri. Sosok itu tersenyum. "Kematianmu telah tiba," jawabnya dengan sorot mata kebencian. Gadis itu agak terkejut tetapi agaknya dia masih memiliki akal sehat. Dia mencoba melarikan diri setelah melayangkan asal pisau yang dipegangnya. Namun, serangannya meleset. Dia hanya mampu membuat sosok itu memundurkan tubuhnya sebentar. Dengan segera dia mengejar gadis muda itu. Dia meraih tangan gadis muda itu, merampas pisau di tangannya lalu menikamkan dengan geram pisau itu tepat di leher bagian depan dari gadis malang itu. Cesssh. Gadis muda itu tampak melebarkan pupil matanya, mulutnya setengah menganga ketika sebuah pisau tajam yang telah menikam lehernya dicabut paksa. Aliran darah pun keluar dengan dasyat. Sosok itu kembali menikamkan pisau miliknya ke sisi kiri leher gadis muda itu ketika gadis muda itu tidak juga tumbang. "A-ap," gadis muda itu tampak terbata. Kucuran darah mengalir deras dari lehernya. Sosok tadi kembali melepas tusukannya dengan wajah puas. Brakk. Gadis muda itu jatuh tersungkur dengan bersimbah darah. Sosok itu tersenyum penuh arti. "Mati, mati, mati!" gumamnya berkali-kali dengan seringai penuh kepuasaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD