BAB 4

1866 Words
Lelaki paruh baya yang ternyata adik dari ayah Ferdi itu datang mendekat dan memberikan segelas minuman pada Ferdi. Ferdi menerimanya dan memberikannya padaku. "Minumlah!" suruh Ferdi padaku. Aku mengangguk lalu meminum minuman itu. Sekali teguk, aku berhenti karena sedikit hangat. Kuteguk lagi, membaik dan kulakukan beberapa kali tegukan. "Bagaimana keadaanmu?" tanya paman itu padaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum untuk memberikan sebuah isyarat bahwasanya aku baik-baik saja. "Dia baik-baik saja, Paman!" ujar Ferdi. Lelaki itu menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu," "Jadi, bagaimana paman mengenai apa yang aku pinta, Paman?" tanya Ferdi. Lelaki itu sedikit mengerutkan dahinya. "Ah, surat kematian itu maksudmu?" tanya lelaki itu memastikan maksud Ferdi. Ferdi mengangguk. "Tunggulah di sini!" ujar lelaki itu lalu pergi. Ferdi menoleh padaku. "Bagaimana? Apa kamu sudah baikan?" tanyanya cemas. Aku hanya tersenyum. "Aku baik-baik saja," jawabku. Ferdi mengusap-usap lembut pipiku. "Syukurlah," Aku meletakkan minumanku lalu kupegang kedua tangan Ferdi sembari menatap lekat kedua matanya. "Fer, apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersamanya?" tanyaku. "Eh?" "Dia adik dari ayahmu, Fer! Dia pasti adalah anggota ayahmu yang tersisa dan," "Nisa!" Ferdi memotong ucapanku. "Hm?" "Denis sudah mati!" katanya menekankan. Aku terdiam, membisu. Sorot matanya berubah, Ferdi terlihat marah. "Aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri. Kalaupun ternyata mayat yang polisi temukan di rumahnya itu bukan dia, aku tidak peduli. Bagiku Denis sudah mati, Nisa!" kata Ferdi tegas. Aku menundukkan kepalaku, perlahan kulepaskan genggaman tanganku darinya. "Tapi kita sama-sama tahu sebulan kemudian, mayat itu bukan Denis! Kalaupun kita menemukan ceceran darah Denis, kita tahu bahwa mayatnya tidak pernah ada, Fer!" Ferdi menghela napas lalu memelukku erat. "Kalaupun Denis masih hidup, aku akan membunuhnya ratusan kali jika dia menyakiti orang yang kusayangi, Nisa. Terlebih jika dia menyakitimu, akan kucincang bagian tubuhnya setiap hari hingga dia akan mati dengan perlahan!" ujar Ferdi menegaskan. "Akan kulindungi kamu bagaimanapun caranya!" Aku membalas pelukan Ferdi. Saat ini, seharusnya aku tahu kami sama-sama rapuh. Aku harus mendukungnya, bukan mengajaknya berdebat. "Terimakasih, aku juga akan melindungimu!" ucapku tegas. "Hem, hem, hem!" Suara deheman itu membuatku dan Ferdi segera melepaskan pelukan kami. Lelaki itu sudah kembali dengan beberapa lembar foto di tangannya. Dia meletakkannya di meja depan kami. "Ini yang kamu minta, Win! Aku tidak bisa mendapatkan barang bukti aslinya tetapi ini sudah cukup bukan?" tanyanya sembari duduk. Ferdi mengangguk. "Terimakasih, Paman!" Lelaki itu mengangguk. Ferdi mengambil salah satu foto di meja dan memberikannya padaku. "Lihatlah!" katanya seraya menyodorkan foto itu padaku.  Aku mendekat dan melihat foto yang sedang Ferdi pegang. "Eh," kataku kaget. Aku menoleh pada Ferdi dan lelaki yang aku cintai itu tersenyum. "Mereka bertukar peran," katanya menegaskan. "Eh? Apanya?" lelaki di depan kami mulai penasaran dengan analisis di kepala kami. "Hei, kalian sudah tahu pembunuhnya?" tanyanya sedikit kaget saat melihatku dan Ferdi tersenyum senang. Ferdi pun mengangguk mengiyakan. "Darimana kalian tahu?" tanya lelaki itu penasaran. Ferdi meletakkan foto yang tadi dipegangnya kembali di meja lalu menatap lelaki di depannya. "Surat kematiannya, sungguh menggelikan!" ucap Ferdi. Lelaki itu mengerutkan dahinya. Tanpa diminta dia mengambil foto surat kematian korban dan mulai membacanya. [ Ayah, Ibu, Aku tak sanggup lagi. Aku ingin hidup abadi. Di kedalaman air yang suci. ] "Heh? Apanya yang lucu?" tanya lelaki itu bingung. "Paman," "Ya?" "Kalau dia memang ingin mati dalam balutan air suci, seharusnya dia bunuh diri di lautan," ujar Ferdi. Lelaki itu tampak berpikir, mencerna ucapan Ferdi. "Selain itu, tidak ada orang yang bunuh diri di danau tapi meninggalkan surat kematiannya di kosannya," imbuh Ferdi. Ferdi menoleh padaku dan aku menganggukkan kepala agar dia melanjutkan analisanya. "Dan satu lagi paman, tidak ada orang yang bunuh diri repot-repot memukul kepalanya sendiri lalu meletakkan batu di ranselnya agar tenggelam di danau," "Jadi dia dibunuh?" tanya lelaki itu memastikan. Aku dan Ferdi mengangguk bersamaan. "Jadi siapa pembunuhnya?" tanya lelaki itu. Ferdi tersenyum. "Tenanglah, Paman! Kita harus memastikan dulu peran masing-masing tersangka karena," Ferdi menghentikan ucapannya. Sorot matanya begitu tajam dan senyuman yang begitu kuat tersungging di bibir indahnya. "Karena?" "Karena terjadi pergeseran peran dalam kasus ini," Lelaki itu menganga, kaget. Ferdi pun mulai mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia sudah tahu pelakunya dan menginginkan sebuah 'kesenangan' untuk mempermainkan pelakunya. Ferdi bukanlah Denis. Tetapi ada satu persamaan yang begitu kuat dalam diri mereka yaitu mereka akan selalu mempermainkan mangsanya sebelum dibunuh. Ya, Ferdi begitu walaupun aku tahu dia adalah lelaki baik. Tidak seperti 'dia'. Setelah berbasa-basi sebentar, kami berdua pamit. Ferdi membisikkan sesuatu pada lelaki itu sebelum pergi. Sungguh aku penasaran apa yang dikatakannya tetapi aku tidak ingin memaksanya memberitahuku. "Nisa," panggil Ferdi saat aku hanya melamun selama di perjalanan pulang. "Ya?" sahutku. "Apa yang sedang kamu lamunkan?" tanyanya. "Tidak ada," jawabku. Ferdi tertawa membuatku kebingungan. "Kenapa kamu tertawa?" tanyaku. "Jangan banyak berpikir, Nisa! Satria bukan pelakunya," "Heh?!!!" Ferdi tersenyum. "Apa maksudmu?" tanyaku. Ferdi hanya tersenyum tipis. "Bersabarlah, nanti kamu akan tahu sendiri siapa pelaku oon dalam kasus ini," kata Ferdi dengan penuh penekanan seolah dia tidak suka dengan pelakunya. "Oon?" Ferdi kembali tertawa. "Kamu menyebalkan," dengusku kesal. Ferdi hanya tersenyum lalu menoleh ke arahku. "Jangan marah, aku hanya tidak ingin otakmu tidak fokus. Berpikirlah lebih keras maka kamu akan segera menemukan jawabannya!" Aku mengangguk lalu menghela napas panjang. "Tapi, Fer! Ayahmu sudah meninggal bukan?" tanyaku. Ferdi mengangguk. "Lalu mengapa kamu selalu menyebutnya 'ayahku' bukan 'almarhum ayahku'?" tanyaku. "Mengapa, apa kamu salah mengira kalau ayahku masih hidup?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Aku menggeleng. "Tidak, hanya saja beliau jadi terkesan hidup," jawabku dengan menurunkan nada bicaraku pada kata terakhir. "Ayahku memang menyebalkan, Nisa. Kakakku pun juga demikian. Tapi," Ferdi menghela napas berat. "Sedalam apapun aku membencinya, mereka pernah hidup dan berinteraksi dengan manusia lainnya." Ferdi melanjutkan. "Di mata orang lain, ayah dan kakakku adalah malaikat!" Aku tertegun. Ferdi menghentikan mobilnya, lampu merah menyala dan pacarku yang taat aturan itu mematuhi aturan itu walau jalanan sepi. "Kamu tahu Nisa, ada dua hal yang tidak pernah bisa dilupakan dari seseorang meski seseorang itu telah mati," ucap Ferdi sembari menoleh padaku. "Apa?" tanyaku. "Dendam dan balas budi!" *** Author's POV Lelaki itu berlari terburu dengan napas yang memburu, dia seolah sedang dikejar waktu. Peluh telah membasahi kening, punggung dan wajahnya. Dia membawa sesuatu dan segera menemui seorang gadis yang telah menunggunya. "Bagaimana?" tanya gadis itu sesaat setelah tahu lelaki itu datang. "Aku telah menghapusnya," jawabnya dengan napas ngos-ngosan. "Baguslah, terimakasih!" ucap gadis itu merasa lega. Lelaki itu mengangguk. "Soal jejak itu, bagaimana?" tanya gadis itu lagi. "Aku sudah mengacaukannya, tenang saja tidak akan ada yang tahu!" jawab lelaki itu. "Benarkah? Di surat itu juga, tidak ada sidik jarimu bukan?" tanya gadis itu lagi. Lelaki itu menggeleng. "Tidak ada, sudah kupastikan kalau hanya dia yang memegangnya," jawab lelaki itu. Gadis itu tersenyum. "Bagus," ujar gadis itu seraya mengambil sesuatu dari tangan lelaki itu. "Tunggu!" lelaki itu memegang tangan gadis itu. "A-apa?" tanya gadis itu gugup. “Tolong jaga rahasiaku!" pinta lelaki itu. Gadis itu mengangguk. "Tentu saja, kamu juga!" sahut gadis itu. Gadis itu menepis tangan lelaki itu dan menuruni tangga dengan segera. Lelaki itu hanya terdiam, memandang kepergian gadis itu. Sesaat setelah gadis itu pergi, dia menerima sebuah pesan yang membuatnya shock setengah mati. Dia pun segera berlari kembali, mengejar gadis tadi. Langkahnya cepat dan kaki jenjangnya bisa dalam sekejap menyusul gadis itu. "Desi, tunggu!" Gadis yang dipanggil Desi terkejut, tidak menyangka sama sekali akan dikejar. Dia berhenti lalu menoleh pada si lelaki. "A-ada apa?" tanya gadis bernama Desi itu dengan gugup. "Kamu tidak menceritakan soal rahasiaku pada siapapun bukan?" tanyanya. Desi menggeleng. "Tentu saja tidak!" jawab Desi tegas. "Lalu, apa maksudnya ini?" tanya lelaki itu sembari menunjukkan pesan di handphonenya. "Heh? Aku tidak tahu! Sumpah, aku tidak tahu!" ujar Desi panik. "Kamu mengkhianatiku?" tanya lelaki itu mulai marah. "Tidak! Aku tidak mengkhianatimu!" elak Desi. "Aku sudah membantumu dan ini balasanmu padaku? Huh?" tanya lelaki itu geram. "Tidak! Aku tidak-!" Plak. Lelaki itu mendaratkan tamparan yang cukup keras pada pipi kiri Desi. Hal itu membuat desi menjadi sangat marah. Digenggamnya erat benda di tangannya lalu menghantamkannya keras pada lelaki itu. Bruk. Lelaki itu jatuh tersungkur di tanah. Desi pun mencoba mengontrol napasnya saat melihat darah keluar dari pelipis lelaki itu. "Bagaimana ini?" tanyanya panik. Desi mendekati tubuh itu, memeriksa denyut nadinya. "Dia masih hidup," gumamnya lega. Desi tampak bimbang dan menatap lelaki yang kini sudah tersungkur tidak berdaya di tanah itu. Desi terdiam, berpikir sebentar lalu teringat sesuatu. Dia pun mulai merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan handphone. Dia menelpon seseorang dan sangat terkejut saat terdengar suara dering telpon tak jauh dari tempatnya. Desi menoleh kiri-kanan. Seorang lelaki dan gadis keluar dari persembunyian mereka. "Kalian, siapa?" tanya Desi agak kaget dan ketakutan. "Wah, sayang sekali permainanmu cepat berakhir," ucap lelaki itu sembari mematikan panggilan yang masuk di handphone yang sedang dipegangnya. "Berhentilah bermain-main dan selesaikan kasus ini!" omel gadis disampingnya. "Tenanglah, Nisa! Bagian serunya baru dimulai!" ujar lelaki itu sembari tersenyum. "Hentikan kesenanganmu, Fer! Kalau kita segera lapor polisi, lelaki itu tidak akan bernasib sial!" gerutu gadis bernama Nisa itu. Lelaki bernama Ferdi itu tersenyum lalu mengusap rambut Nisa. "Jangan marah, toh teman gendutmu baik-baik saja dan dia bukan pembunuhnya," Ferdi mencoba beralasan. "Terserah, cepatlah selesaikan ini dan kita bawa dia ke rumah sakit!" ucap Nisa mengalah. Desi menatap Ferdi dan Nisa lekat. "Apa maksud kalian?" tanya Desi panik. Ferdi tersenyum. "Ah, hai, aku Ferdi. Salam kenal killer," kata Ferdi memperkenalkan diri. "Hah? Apa maksudmu?" tanya Desi kesal. "Kamu adalah pembunuh Dana, Desi!" ujar Ferdi dengan yakin tanpa sedikitpun keraguan. "Hah?" tanya Desi tidak mengerti. "Jangan menyangkal, aku sudah tahu bahwa kamu pelakunya!" ucap Ferdi dengan senyum lebar. "Tidak! Aku tidak membunuh siapapun! Justru aku yang menemukan mayat Dana lebih dulu!" sanggah Desi. "Kanan minus 5, kiri minus 3," "Ha?" "Matamu, minus bukan? Lalu darimana kamu tahu kalau yang mengambang di danau adalah tubuh manusia?" tanya Ferdi. Desi terdiam. Gadis itu bangkit dan berdiri tegak menatap Ferdi. "Satria yang mengatakannya, kalau itu mayat!" jawab Desi. "Eee, lalu mengapa kamu berteriak jika belum tahu itu mayat atau bukan?" tanya Ferdi. "Tentu saja aku berteriak, melihat sesuatu mengambang di danau tentu akan membuat siapapun berteriak bukan? Terlebih aku seorang wanita!" balas Desi. Ferdi tersenyum. "Oh ya? Dia tidak!" tunjuk Ferdi pada Nisa. "Hentikan gurauanmu, langsung saja bicara ke intinya!" ujar Nisa yang mulai bosan. Ferdi tersenyum. "Baiklah, Princess!" ujar Ferdi menurut. "Jadi, awalnya kamu dan Dana berniat untuk membunuh Satria. Mengenai motifnya, jika dugaanku benar itu karena berhasil Satria mendapat beasiswa yang kamu inginkan. Kalian berniat membunuhnya di hujan deras dengan menikamnya dan menenggelamkan tubuhnya di danau. Namun, sayangnya terjadi hal tidak terduga!" kata Ferdi mulai menjelaskan. "Hal tidak terduga?" tanya Nisa heran. Ferdi mengangguk. "Ya, Desi mengetahui kenyataan bahwasanya pacar tercintanya, Dana ternyata adalah kekasih Satria!" jawab Ferdi. "Hah?" Nisa membelakkan kedua matanya. Ferdi tersenyum geli melihat reaksi Nisa. "Mengapa kamu terkejut begitu, Nisa? Apa kamu tidak berpikir bagaimana mungkin seseorang yang sudah berteman sejak kecil tetapi di kampus bertingkah seperti dua orang yang saling tidak mengenal?" tanya Ferdi pada Nisa. Nisa menggelengkan kepalanya. "Hanya ada kemungkinan, karena benci atau cinta," "Tapi bagaimana bisa kamu mengatakan itu cinta?" tanya Nisa heran. "Dari reaksi pertamanya," ucap Ferdi. "Reaksi pertamanya?" Ferdi mengangguk. "Aku rasa Satria biasa saja, dia bahkan tidak menangis," kata Nisa tidak mengerti. "Dia memang tidak menangis Nisa karena," "Karena lelaki lebih pandai menyembunyikan perasaan," sambung Desi. Ferdi dan Nisa beralih menatap Desi. "Iya, mereka homo dan itu membuatku jijik. Karena itulah, aku mendukungnya saat dia ingin membunuh Satria demi aku, tapi dia malah berubah pikiran hanya karena lelaki busuk itu rela menembus hujan untuk sekadar memberikan kunci kos.annya yang terjatuh. Aku seketika muak! Jadi kubunuh dia!" kata Desi dengan airmata bercucuran. "Lalu dia sebagai apa?" tanya Nisa sambil menunjuk lelaki yang masih terbaring di tanah. "Ah, aku tahu dia memplagiat sebuah karya ilmiah, jadi kuancam dia agar mau membantuku menyeret tubuh Dana ke danau. Dia juga yang juga membantuku memasukkan batu ke ransel Dana agar tubuhnya tenggelam!" jawab Desi. Ferdi dan Nisa saling berpandangan. "Ehm, sungguh proses pembunuhan yang menyebalkan!" ungkap Ferdi. "Buku kesayanganmu itu, jutru menjadi alat pembunuh! Kamu benar-benar mengerikan!" imbuh Ferdi. Desi hanya menunduk dalam. "Nisa, telpon polisi dan ambulan!" suruh Ferdi. Nisa mengangguk lalu melakukan apa yang disuruh Ferdi. Ferdi mendekati Desi yang masih menangis tersedu. "Menyerahlah!" ucapnya dan satu kata itu membuat Desi semakin menangis histeris. Ferdi menoleh pada Nisa yang telah selesai menelpon. "Bagaimana?" "Mereka akan segera datang," jawab Nisa. Ferdi tersenyum lega. "Baguslah," Nisa tersenyum membalas senyuman Ferdi. Ferdi menatap sebuah tulisan di buku tebal milik Desi yang terbuka. I still seeing you, princess.                            -Raditya-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD