BAB 3

1000 Words
AUTHOR’S POV      Tes.. Tes.. Tes.. Suara tetesan air dari jas hujan seseorang yang sedang menyeret sesuatu itu mengusik keheningan sebuah lorong ruangan bawah tanah. Brak. Seseorang berjas hujan kuning itu berhenti saat sesuatu yang diseretnya membentur sesuatu. Splash. Lampu ruangan menyala. Seseorang itu melepas tudung jas hujannya dan berjalan pelan menuju bawah lampu di ruangan itu. Wajah tampannya terlihat dan dia tersenyum dengan indahnya pada lampu temaram yang tengah ditatapnya. "Hmph, hmph," Suara itu mengusiknya. Dia menolehkan dirinya pada 'sesuatu' yang tadi diseretnya. Rupanya sesuatu itu adalah manusia. Seorang gadis muda berusia kira-kira delapan belas sampai dua puluh tahunan. Dia memakai pakaian seperti seorang mahasiswi. Rambutnya panjang dan ada bekas pukulan dengan darah yang mengering di kepala dan dahinya. Gadis muda itu terikat tangan dan kakinya. Mulutnya pun dilakban dengan lakban hitam. Airmatanya telah menetes sejak tadi, terbukti dengan kelopak matanya yang bengkak dan menghitam. Lelaki itu perlahan mendekat lalu berjongkok di depan gadis muda yang malang itu. Dia tersenyum tipis saat membuka lakban hitam dari mulut gadis itu. "Huh, huh, huh!" Gadis muda itu mulai bernapas dengan terburu saat lakban hitamnya dilepas seolah takut kalau akan kehilangan kesempatan untuk bisa menghirup udara lagi. Lelaki itu tersenyum geli melihat mangsanya tidak berdaya, menyadari itu gadis itu segera menatap lelaki itu dengan wajah memelas. "Ampuni aku!" pintanya dengan segera. Lelaki itu terbahak mendengar pernyataan gadis muda itu. Dia tidak menjawab, hanya mengambil sedikit rambut gadis muda itu dan mengelus-elusnya. "Bukankah sudah kukatakan padamu, kalau aku ini tidak ingin diusik?" tanyanya masih sambil mengelus-elus rambut gadis muda itu. "Ampuni aku, aku tidak akan melakukannya lagi!" Gadis muda itu memohon lagi. Lelaki itu terkekeh, suaranya menggema di segala sisi. Entah mengapa suaranya begitu menakutkan dan seram. Lelaki itu tiba-tiba berhenti dan menatap lekat gadis muda itu. Dengan satu hentakan, ditariknya rambut di tangannya dengan sekuat-kuatnya. "Ah, Arghh!!!" gadis muda itu merintih. "Maaf, maafkan aku! Aku mencintaimu! Mengapa kamu melakukan ini padaku?" tanya gadis muda itu dengan airmata yang kembali tumpah. Lelaki itu memandangi beberapa helai rambut di tangannya yang berhasil ditariknya. "Mencintaiku? Gadis busuk sepertimu mencintaiku?" tanyanya dengan nada mengejek. "Bukankah kita berpacaran?" tanya gadis muda itu lagi. "Sejak kapan? Kamu saja yang terlalu percaya diri!" sanggah lelaki itu. "Tapi, aku sudah melakukan apa yang kamu minta dan," "Dan aku tidak peduli!" lelaki itu memotong cepat ucapan gadis muda itu. "Tapi-." gadis muda itu menggigit bibir bawahnya. Kini rasa sakitnya bertambah. Tidak hanya dari kepalanya yang terluka tetapi juga dari hatinya. "Aku hanya mencintai satu wanita dalam hidupku," kata lelaki itu. "Mungkinkah selama ini kamu memanfaatkan aku?" tanya gadis muda itu. Lelaki itu tergelak pelan. "Memanfaatkan? Tidak ada yang bisa kumanfaatkan darimu, Ririn!" bantah lelaki itu tegas. "Lalu, kebaikanmu selama ini padaku? Perhatianmu yang selalu menjemputku di kampus dan," "Ah! Aku sedang mengawasi seseorang!" kata lelaki itu, sekali lagi memotong ucapan gadis muda itu. "Seseorang?" tanya gadis muda itu tidak percaya. "Ya, seseorang yang kucintai sejak dulu," jawab lelaki itu. "Mungkinkah?" gadis muda itu memiliki sebuah praduga. "Ya, seseorang yang memberiku luka yang tidak bisa dihapuskan dari tubuhku!" kata lelaki itu membenarkan praduga gadis muda itu. "Nah, sekarang karena kamu mengacaukan rencanaku, kamu harus membayarnya!" "Tidak, tidak!!! Ampuni aku!! Ampuni aku?!!" teriak gadis muda itu panik saat lelaki itu mulai memegang tubuhnya lagi. Lelaki itu tidak peduli dengan teriakan gadis muda itu. Dia memegang tubuh gadis muda itu, membangunkannya dan membuat gadis muda itu dalam posisi duduk. Lelaki itu beranjak mengambil rantai. Dia ikatkan pada kedua tangan gadis muda itu dan menggantungkannya ke besi di atasnya. Gadis muda itu kini sudah mirip anjing yang tidak berdaya. "Nah, sekarang terimalah hukumanmu, jalang!" kata lelaki itu. "Tidak!! Tidakk!! Aku mohon!! Ampuni aku!!" Lelaki itu mengabaikan teriakan malang gadis muda itu. Dia berjalan menuju pintu. Sebelum itu dia menoleh pada gadis muda itu. "The hungry dogs will be come soon!" ujarnya dengan menyeringai. "Tidak!!!!!!" teriak gadis muda itu sembari mencoba meronta sekuat tenaga. Lelaki itu keluar, tak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing yang membuat gadis muda itu semakin panik. Mereka—para anjing hitam besar yang tampak sangat kelaparan itu muncul. Lidah mereka terjulur dengan ludah yang berceceran, mata yang menunjukkan kelaparan yang teramat sangat dan gonggongan yang begitu kuat dan keras. "Makanlah!" suruh lelaki itu pada anjing-anjingnya yang kelaparan. Seketika wajah gadis muda itu memucat, tahu kalau dirinya dalam bahaya yang sangat besar. "Jangan, ampuni aku," ibanya. Namun suaranya tidak bisa dipahami hewan.. Para anjing itu pun berlari dan mulai mendaratkan gigi-gigi tajam mereka pada gadis malang itu. Mereka melumat, mencabik dan menguyah setiap lapisan kulit dan daging dari gadis muda itu. "Tidak! Jangan! Hentikan!!!" "Aarrgghhhhhhh!!!" "Radittt!!!" Suara kesakitan dan pilu itu tidak terdengar lagi saat lelaki itu menutup pintu ruangan itu. Sepertinya ruangan itu kedap suara sehingga tidak mampu didengar siapapun. Lelaki itu berjalan pelan lalu memanjat tangga agar bisa keluar dari ruangan bawah tanahnya. Dia tersenyum bahagia juga puas. Tak hanya anjingnya, dia juga sepertinya baru saja makan, mengingat perutnya mendadak terasa kenyang. Dia kenyang karena nafsu membunuhnya sudah berhasil dipenuhi. Lelaki itu beranjak menuju kamarnya. Saat pintu terbuka deretan foto seorang gadis muda yang cantik tertempel hampir di semua temboknya. Lelaki itu tersenyum sekali lagi. "Aku mencintaimu," gumamnya, "Annisa Sofiana!" Lelaki itu tersenyum, mengingat kebersamaan mereka, juga pertarungan terakhir mereka yang sangat berkesan. Tentu saja, dia tidak pernah kalah, hanya mengalah untuk bisa menang dan melangkah dua kali lebih cepat daripada Nisa dan mantan pengikutnya yang berkhianat. Dia tentu tidak menyangka kalau pengkhianatan itu akan benar-benar dilakukan oleh pengikut setia yang mengaku kalau dirinya terselamatkan karena dirinya. Namun, dia bisa memaklumi tindakan pengkhianat itu. Bagaimanapun cinta memang membuat banyak orang kehilangan akal pikiran mereka. Hati selalu lebih besar pengaruhnya daripada logika. Akan tetapi, dia bertekad untuk terus maju, menyelesaikan misi yang belum sempat dilakukannya. Bagaimanapun, dia tidak boleh kehilangan kewarasannya, "Aku mencintaimu, Nisa," ucapnya pelan. "Namun, kamu harus mati." Denis menyunggingkan senyuman tipis, kuat dan penuh keyakinan. Dia tidak pernah berbohong soal perasaannya pada Nisa, tetapi hasrat untuk melenyapkan gadis itu tumbuh secara alami sejak awal mereka bertemu. Dia tidak bisa menghentikan dirinya. Jika dia melakukannya, artinya dia kalah. Denis tidak mau menjadi seperti Ferdi, bucin cinta. Baginya, cinta hanyalah perasaan sesaat yang akan menghilang seiring dengan nyawa Nisa yang harus berhenti di tangannya. Denis harus membunuh Nisa, demikian pula sebaliknya. Ini adalah takdir yang harus mereka jalani. Sebab domba dan serigala tidak pernah bisa bersama meskipun saling cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD