Aku dan Ferdi sudah berada di rumah sakit. Kami sedang mengobati luka-luka kami, walau pada kenyataannya Ferdilah yang lebih banyak mengalami luka daripada aku. Tapi Ferdi bilang kalau aku juga harus diperiksa karena ia menemukan sedikit lecet di lengan dan lututku sehingga perlu diobati.
Aku baik-baik saja, secara fisik dan itu luar biasa berkebalikan dengan psikisku. Aku tidak ingin bersikap manja dan tanpa diberitahupun Ferdi pasti menyadari bahwa aku sudah semakin membenci diriku sendiri. Aku terlalu lemah dan aku tidak suka itu.
Denis sudah kembali, bahkan berani melakukan sebuah aksi yang nyaris menghabisi nyawa kami. Jika aku terus berbaik hati padanya hanya karena perasaan bodoh yang aku rasakan, aku pasti akan mati konyol dan berakhir dengan kekalahan total. Aku tidak mau itu terjadi.
"Nisa!" panggil Ferdi dan aku segera menoleh padanya.
"Ya?" sahutku.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya dan itu membuatku melayangkan sebuah tinjuan ringan di lengannya.
"Dasar!" dengusku kesal.
"Heh? Kenapa?" tanyanya bingung.
"Kamu yang nyaris mati karena menyelamatkan nyawaku, kamu yang lebih terluka dan kini kamu bertanya apa aku baik-baik saja? Bukanlah seharusnya aku yang menanyakan itu?" omelku.
Ferdi hanya tersenyum kecil.
"Kita yang nyaris mati, kita yang saling menyelamatkan dan aku akan senang jika kamu baik-baik saja. Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya, sekali lagi dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah pelukan hangat.
"Terimakasih," ucapku, dalam dekapannya, hangat dan entah mengapa airmataku menetes di pipi tanpa diminta.
Ferdi membalas pelukanku. Lelaki baik itu mengelus-elus punggungku.
"Syukurlah, jika kamu baik-baik saja!" katanya, lembut dan penuh ketulusan.
"Kamu baik, Fer!" kataku.
"Dan sekadar baik tidak mampu membuat seorang Annisa Sofiana mencintaiku," sahutnya.
Aku mencubit gemas pinggangnya dan ia merintih.
"Sakit," katanya.
"Rasakan!" cibirku.
Ferdia tertawa kecil kemudian aku pun demikian. Kami masih tertawa walau baru saja nyaris kehilangan nyawa. Sungguh suatu sikap yang luar biasa. Mungkin saja, inilah yang disebut sifat manusia dan aku bersyukur untuk itu.
Aku melepas pelukanku lalu Ferdi menyeka air mata yang sempat meleleh di pipiku.
"Dia pasti akan datang lagi," katanya.
"Memastikan aku mati," lanjutnya.
"Mengapa?" tanyaku.
"Karena Denis tidak pernah melepas buruannya," jawab Ferdi.
"Bukan!" sanggahku.
Ferdi mengernyitkan keningnya.
"Maksudmu?" tanya Ferdi heran.
"Mengapa hanya kamu yang harus dipastikan mati? Bukankah dia mengincar nyawa kita berdua?" jelasku.
Ferdi tersenyum tipis.
"Kamu yakin Denis mampu membunuhmu Nisa?" tanyanya, dengan senyum mengejek dan sedikit takjub karena aku mampu mengatakan itu.
"Iya, tentu saja. Beberapa kali dia mencoba membunuhku dan,"
"Beberapa kali pula ia melepaskanmu," potong Ferdi.
"Itu karena aku mampu menyelesaikan tantangan darinya," sanggahku.
"Apa benar karena itu? Dia Denis, Nisa. Membunuh adalah keahliannya dan melepaskan mangsa yang sudah di depan mata bukanlah sifatnya! Aku mengenalnya dengan baik dan dia tidak akan pernah bersikap begitu dia memang hanya ingin membunuhmu," terang Ferdi.
"Jadi maksudmu?" kataku menggantungkan ucapanku.
Ferdi mengangguk.
"Ya, aku rasa ini hanyalah taktik agar dia bisa membunuhku," kata Ferdi menyimpulkan.
"Tapi hari ini dia telah mencoba meledakkan mobil, bukankah itu artinya dia juga ingin membunuhku?" aku bersikeras dengan pemikiranku.
Ferdi menggeleng.
"Tidak, dia sudah memperhitungkannya. Dia pasti tahu bahwa aku akan menyadari keberadaan bom yang dia pasang di mobil dan menyelamatkan kamu. Ini hanyalah sebuah peringatan!" jelas Ferdi.
"Lantas?"
"Jika dugaanku benar, ia akan kembali untuk menemuiku secara langsung lalu membunuhku!"
"Jika benar begitu, mulai detik ini aku akan selalu ikut denganmu kemanapun kamu pergi!" kataku membuat keputusan.
"Jangan!" cegah Ferdi.
"Mengapa?" tanyaku.
"Karena aku tidak mau kamu melihatku menjadi pembunuh!" jawab Ferdi.
Aku menelan ludah, kutatap mata Ferdi dan sorot matanya menunjukkan sebuah sisi gelap yang menakutkan. Mata yang juga pernah kusaksikan sendiri dari mata seorang Denis Aditya. Itu mata Psikopat dan percaya atau tidak, itu bahkan lebih daripada itu. Jujur saja, aku merasa lega Ferdi berkata begitu, itu artinya dia percaya diri akan menang.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku, meminta saran dari Ferdi.
"Kirim ayahmu untuk keluar dari rumahmu, dari kota ini kalau perlu!" ungkap Ferdi.
Aku tersentak kaget, teringat akan ayahku yang tidak tahu apa-apa.
"Pulanglah, Nisa!" suruhnya.
"Tapi, Fer,"
"Pulang, Nisa! Firasatku buruk dan aku tidak mau ayahmu kenapa-kenapa!" potongnya dengan nada tinggi, agak membentak sebenarnya.
"Lalu kamu bagaimana?" tanyaku cemas.
"Aku akan ikut dengan mereka, jadi kamu tenang saja!" kata Ferdi lalu menunjuk dua orang polisi yang tampak dari kejauhan.
"Mereka akan meminta keteranganku soal bom di mobil, jadi untuk hari ini aku akan aman. Aku akan diinterogasi dan Denis untuk sementara akan membiarkan aku hidup," jelas Ferdi.
"Darimana kamu tahu? Apa kamu yakin dengan itu?" tanyaku ragu-ragu.
"Aku sangat mengenal Denis daripada kamu, Nisa. Aku bahkan pernah menjadi tangan kanan yang membantunya untuk membersihkan semua pembunuhan yang dilakukannya," kata Ferdi, matanya menerawang jauh seolah sedang mengenang sebuah dosa manis yang pernah dilakukannya.
"Jadi aku sangat paham dengan pemikirannya," katanya.
"Soal dia yang tidak akan melakukan apapun padamu hari ini?" tebakku.
Ferdi mengangguk.
"Iya dan juga soal tentang dia yang tidak benar-benar ingin membunuhmu," lanjutnya.
"Jika ternyata dia memang ingin membunuhku bagaimana?" tanyaku, mencoba mengabaikan kesimpulan Ferdi yang sulit aku percaya.
"Maka dia tidak akan membunuhku,"
"Mengapa?"
"Karena jika dia membunuh kita berdua, dia akan kehilangan nikmatnya berburu, Nisa. Karena itu, dia hanya akan membiarkan salah satu di antara kita untuk hidup. Kamu masih ingat permainan dadu yang pernah kulakukan padamu?" tanya Ferdi.
Aku mengangguk.
"Apa kesimpulanmu setelah aku melakukan itu?"
"Dia DID dan Psikopat gila," jawabku.
Ferdi terkekeh lalu menjitak ringan kepalaku.
"Aw, kenapa? Apa kesimpulanku salah?" kutanya, bingung juga sebenarnya.
Ferdi menggeleng pelan.
"Tidak sepenuhnya, tapi jika aku jelaskan, apa otakmu akan sampai?" tanya Ferdi setengah mengejekku.
"Kamu menyebalkan!" dengusku kesal.
Ferdi tertawa puas karena berhasil membuatku kesal. Apa dia tidak menyadari bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk bercanda seperti yang dia lakukan saat ini? Ah, aku rasa dia memang memiliki sisi bodoh dibalik kepintarannya yang sudah melampaui level jenius.
Ferdi tersenyum lalu mengacak-acak rambutku setelah tawanya mereda.
"Aku mencintaimu," katanya.
“Aku juga mencintaimu,” balasku.
"Pulanglah!" suruhnya lagi.
Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku merasa enggan untuk meninggalkan Ferdi tetapi melihat polisi yang sudah berdiri di depan kami, mau tidak mau aku pun melangkah pergi. Cukup jauh aku berbalik, melihat Ferdi. Entah kenapa aku merasa tidak akan bisa melihatnya lagi. Entah apakah ini sebuah firasat untukku atau dia.
Aku keluar dari rumah sakit, hendak mencegat angkot seandainya sebuah mobil tidak berhenti di depanku. Kaca jendela mobil turun dan kulihat seorang yang tampak asing melihat ke arahku.
"Mbak Annisa Sofiana?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Saya disuruh mengantar anda," katanya lagi.
"Oleh siapa?" tanyaku.
"Kekasih anda," jawabnya.
"Oh," kataku lalu masuk ke dalam mobil.
Aku tersenyum senang, Ferdi sungguh perhatian.
Mobil melaju dan sepanjang jalan aku hanya menatap sisi kanan jendela. Tidak ada kecemasan atau ketakutan karena mobil melaju dengan biasa. Kecepatannya normal, di mobil hanya ada kami berdua dan jalanan yang dilalui memang benar jalan menuju rumahku.
Mobil berhenti membuatku aku melongakkan kepalaku keluar jendela.
"Sudah sampai," supir mobilnya memberitahu.
"Ah," kataku lalu turun.
"Terimakasih," kataku.
Supir mobil itu hanya mengangguk.
"Mbak!" panggilnya ketika aku mulai menjauh.
"Ya? Ah, ongkosnya belum ya?" tanyaku, menebak apa yang kemungkinan terjadi.
"Bukan, ongkosnya sudah dibayar!" sanggahnya.
"Lantas?" tanyaku heran.
"Kekasih mbak bilang bahwa dia akan segera menemui anda setelah urusannya selesai," jawabnya.
"Oh oke,"
"Dia juga meminta mbak bersiap mengenakan gaun yang sudah dia kirimkan ke alamat mbak tadi pagi," lanjutnya.
Untuk sejenak aku terdiam.
Gaun? Urusan? Tadi pagi?
"Bang," panggilku.
"Ya?" sahut sang supir.
"Nama kekasihku siapa?"
Supir itu menautkan alisnya.
"Mbak punya dua kekasih ya?" tebaknya ngaco.
"Bukan, sudah jawab saja!" desakku.
"Dia tidak menyebutkan nama, tapi dia bilang di paket yang dikirimkannya pada mbak, dia menyebutkan namanya!" jelas supir taxi itu.
Mendengar penjelasan itu, aku pun segera berlari menuju rumahku. Aku menoleh kiri-kanan mencari paket yang dimaksud tapi tidak ada. Tidak mungkin paketnya belum sampai jika sudah dikirim tadi pagi. Jadi aku pun menyusuri setiap sudut rumahku, lalu aku dapati sebuah kotak di kamarku bertengker indah di atas ranjangku.
Aku mendekati paket itu dengan tangan dan kaki yang gemetar. Sampai di depan paket itu, aku menelan ludah lebih dulu sebelum akhirnya meraihnya untuk melihat siapa pengirimnya. Detik berikutnya aku terkulai lemas dengan kaki yang tidak mampu digerakan sama sekali . Rasanya melihat nama yang tertera di sana saja sudah mampu membuat jantungku berhenti berdetak.
From : Denis Aditya.
Gunakan ini saat pemakaman!
Pemakaman? Pemakaman siapa?
s**t. Ferdi!!!
Aku pun segera merogoh sakuku, mencari dimana handphoneku. Aku pun segera menelpon Ferdi ketika berhasil menemukan handphone milikku. Namun kekasihku yang baik itu tidak menjawab. Bahkan ponselnya tidak aktif setelah beberapa kali aku hubungi. Aku jadi semakin mengkhawatirkan dirinya.
Fer, kamu dimana? Tolong jawab aku! Please!
***
Dengan tergesa, aku kembali menuju rumah sakit. Tergopoh, bahkan kehilangan satu alas kaki yang entah tertinggal dimana, aku menuju ke tempat terakhir aku bertemu Ferdi. Aku mencari dimana dirinya, kutanyakan pula ke siapapun yang aku temui. Hatiku gelisah, gusar dan sangat cemas padanya. Kotak itu tidak mungkin diletakkan tanpa suatu maksud. Aku mengenal siapa Denis. Walau dia tidak mungkin membunuhku secara cepat, merenggut Ferdi dan orang-orang yang aku sayang, itu juga bisa membunuhku secara perlahan. Kalaupun dia membiarkan aku hidup, aku hanya akan bersama dirinya seorang, tersolasi dari dunia karena tidak ingin siapapun yang dekat denganku terluka.
Aku menghela napas ketika aku menjumpai seorang polisi yang tadi ingin berbicara Dengan Ferdi mengenai insiden meledaknya mobil yang kami tumpangi.
“Permisi, Pak!” panggilku dengan sopan.
Polisi itu menoleh.
“Ya?” sahutnya.
“Bapak ingat saya?” tanyaku.
Polisi itu tampak menautkan satu alisnya.
“Ferdi, lelaki yang tadi bapak tanyai soal insiden meledaknya mobil kami, saya bersama lelaki itu tadi!” kataku merasa gugup, entah apa yang sudah aku katakan. Aku yakin polisi ini tidak akan mudah menangkap maksud pembicaraanku.
“Hm,” gumamnya yang membuatku yakin kalau polisi ini memang tidak paham.
“Lelaki yang tadi datangi saat saya dan dia duduk di ruang tunggu rumah sait, pergi kemana dia?” tanyaku.
Aku menghela napas panjang.
“Lelaki tampan dengan dua lesung pipit yang terlihat jelas jika tersenyum, rambutnya lebat, dipotong rapi dan wajahnya putih pucat!” jelasku.
“Ah, lelaki itu!” pekik Polisi itu seolah dia baru saja teringat tentang Ferdi.
“Maaf, aku juga tidak tahu!”
“Hah?”
“Tadi aku mendatanginya karena ingin menanyakan ruangan,” jelasnya.
“Eh?”
“Soal meledaknya mobil, apa itu benar? Bukankah harusnya kalian melapor?”
Aku tercekat.
Mungkinkah Ferdi membohongiku? Mengapa?
“Hei, Dek! Adek!” panggil polisi itu sambil mengibaskan tangannya di depanku.
“Tidak! Lupakan saja! Tidak terjadi apapun! Terimakasih, Pak!” kataku lalu buru-buru kabur.
Dengan sekuat tenaga, aku berlari menjauh. Saat merasa sudah aman, aku pun berhenti. Aku sandarkan punggungku di tembok yang dingin. Jika memang polisi itu tidak mengajak bicara Ferdi, bahkan tidak tahu soal insiden meledaknya bom di mobil kami, lantas kenapa Ferdi membohongiku? Pergi kemana dia?
Jika dugaanku benar, ia akan kembali untuk menemuiku secara langsung lalu membunuhku.
Kata-kata Ferdi waktu itu tergiang-giang lagi di telingaku. Jika dugaan Ferdi itu benar, maka Denis pasti akan segera menemui Ferdi. Namun pertanyaannya sekarang, dimana Ferdi berada? Apa Ferdi di rumahnya? Bisa saja bukan? Rumah adalah tempat terbaik untuk membunh seseorang. Sebaiknya aku segera kesana. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera mencegat taxi. Aku segera memberitahukan alamat Ferdi pada supir taxi. Taxi pun segera meluncur kesana. Aku harap, semuanya belum terlambat.
Sepanjang jalan menuju rumah Ferdi, aku terus berupaya menghubungi kekasihku itu. Berkali-kali aku menelpon dan mengiriminya pesan. Akan tetapi tidak pernah ada balasan, atau mungkin tidak pernah sampai. Handphonenya tetap tidak aktif. Aku menjadi semakin mengkhawatirkan keadaannya. Aku berharap kekasihku itu bisa aku temukan dalam keadaan hidup. Jika sampai Denis melukainya sedikit saja, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku sudah berkali-kali gagal melindungi orang-orang yang ada di sekitarku. Akan tetapi, kali ini aku tidak mau gagal melindungi orang yang aku cintai. Bagaimanapun caranya, Denis harus mati!
Tiba di rumah Ferdi, aku segera turun dan berlari ke rumah Ferdi. Rumahnya tampak sepi. Ferdi memang sendiri di rumahnya yang termasuk dalam lingkungan perumahan para orang kaya. Pintu gerbangnya tertutup rapat dan tampak tidak ada siapapun di post satpamnya. Tak ada waktu, aku pun segera memanjat pagar rumahnya. Aku hanya berharap, tidak akan ada yang melihatku. Walau kemungkinan itu kecil mengingat betapa sepinya komplek perumahan ini.
Begitu bisa masuk, aku segera menuju pos satpam dan ternganga mendapati satpam rumah Ferdi telah tergeletak dengan rahang yang aneh. Sepertinya dia dibunuh dengan rahang yang dipatahkan.
Dia sudah di sini.
Kekhawatiranku semakin memuncak mengetahui hal itu, aku pun berlari sekuat tenaga menuju rumah Ferdi. Jantungku makin berdegup tidak karuan saat mendapati pintu rumah Ferdi tidak dikunci. Rasanya, aku bisa merasakan bagaimana bulu kudukku meremang dan juga rasa takut yang begitu besar dan mencekam. Aku bahkan bisa merasakan desahan napasnya di telingaku tanpa harus melihatnya. Dia sudah serupa iblis yang memiliki aura membunuh yang luar biasa dan bisa dirasakan dari jarak bermil-mil jauhnya.
Aku berhenti bergerak ketika mendapati pemandangan yang sangat mengiris jantungku. Denis sudah di sofa dengan kaki yang dibuka selebar bahu dan tatapan angkuh yang menyebalkan. Sementara di bawah kaki kanannya, aku dapati Ferdi yang sudah bersimpah darah. Kekasihku itu tampak kacau, wajah tampannya sudah bengkak karena berbagai pukulan yang diterimanya. Jantungnya masih bernapas walau sangat lemah. Setidaknya, dia masih hidup. Aku belum begitu terlambat, aku berharap begitu.
Aku jatuh terduduk, airmataku mengalir tanpa diminta saat melihat potongan jari tidak jauh dari tempat Ferdi berbaring. Dengan tatapan nanar, aku arahkan pandanganku ke jemari Ferdi dan menjerit saat melihat jari telunjuk dan tengah dari tangan kirinya kini sudah buntung.
“Jangan menangis, Nisa! Ini hanya permulaan!” ucap Denis dengan seringai sombong memuakkan.
Aku tatap Denis dengan marah, rasanya aku ingin meloncat dan membunuhnya saat ini juga. Namun tangan kanannya memegang pisau sekarang, aku tidak boleh terlalu ceroboh dengan membiarkan diriku terbunuh bahkan sebelum menolong Ferdi yang aku yakin sangat kesakitan saat ini. Melihat banyaknya darah yang menggenang, kekasihku itu akan tewas karena kehilangan banyak darah jika aku biarkan dengan keadaan seperti sekarang.
“Denis,”
“Ya?”
“Lepaskan Ferdi, dia tidak bersalah!” mohonku.
Denis tergelak pelan.
“Tidak bersalah?”
Sorot mata Denis menajam, gelak tawanya kini berganti tatapan dingin yang mampu menusukku dalam satu pandangan.
“Dia sudah merebutmu dariku, Nisa! Dia pantas mendapatkan hukuman!” sanggahnya.
“Tidak, Denis! Aku yang bersalah! Aku yang bersalah! Aku mohon, bunuh aku saja!” ratapku lagi.
Denis menghela napas lalu bangun dari duduknya. Ferdi meringis kesakitan saat Denis sengaja menginjak wajahnya dengan kakinya.
“See? Dia bahkan tidak bisa melindungimu, mengapa kamu mencintainya Nisa?”
Aku tertegun.
Bagaimana bisa dia tahu bahwa aku mencintai Ferdi?
“Tidak! Aku mencintaimu, Denis!” bantahku.
Denis tersenyum tipis.
“Kalau kamu mengatakannya dulu, mungkin aku percaya. Tapi saat ini di hatimu sudah ada lelaki b******k ini!” ujar Denis yang membuatku mati kutu.
Aku terdiam, bibirku hanya mampu bergetar saat iblis itu datang dan menjambak rambutku membuatku mendongakkan kepalaku padanya.
“Tatap aku dan katakan kalau kamu mencintaiku!” suruhnya.
“A-aku mencintaimu,” ucapku.
Denis mengarahkan pisaunya ke daguku, lalu turun menuju leherku.
“Aku benci kebohongan, Nisa. Kamu tahu itu!” katanya dengan sorot mata menakutkan yang membuatku menelan ludah.
“Ni-nisa,”
Panggilan lirih itu membuat Denis mengarahkan pandangannya ke arah Ferdi.
“Kamu sudah bangun huh?” kata Denis lalu melepaskan aku, tetapi aku segera menangkap kakinya.
“Jangan, jangan bunuh dia! Aku hanya mencintaimu, percayalah padaku!” mohonku.
Denis melirikku dengan ekor matanya.
“Benarkah? Kalau begitu, apa kamu mau melakukan apapun yang aku suruh?” tantangnya menguji apa yang barusan aku katakan padanya.
Aku mengangguk cepat.
“Iya, karena itu jangan bunuh dia! Akan aku lakukan segalanya!” janjiku dengan sungguh-sungguh.
Denis tampak berpikir.
Aku hanya menunggu dengan jantung berdebar.
“Kalau begitu,” katanya kemudian. “Bukankah ini saatnya bagi kita mewujudkan apa yang dulu pernah kamu impikan?”
Deg!
Tubuhku bergetar saat Denis berjongkok dan memegang pipiku dengan satu tangannya. Otakku bisa menebak apa yang akan dia katakan padaku dan apa yang akan dia ucapkan bahkan lebih menakutkan dari sebuah kematian.
“Menikahlah denganku!”