Sudah dua hari ini aku menjauhi Ferdi. Luka lebam di sudut bibirku adalah penyebabnya. Aku tidak ingin dia tahu jika Denis datang dan nyaris membunuhku. Aku tidak ingin dia cemas dan bertingkah protektif. Namun hari ini, aku terpaksa meminta bantuannya.
Aulia, cewek yang memang dalam penglihatanku akan mati, sudah dua hari ini tidak datang ke kampus. Dia juga tidak terlihat bersama Fuad, kekasihnya. Aku sudah menelpon sebagian teman yang mengaku bersahabat dengannya, tetapi mereka juga tidak tahu keberadaan Aulia.
Kecemasanku meninggi ketika Satria secara rajin memberiku surat dari Denis. Monster itu selalu mengirimkan sebuah ancaman seperti puisi cinta sehingga maknanya begitu bias. Namun, aku sangat tahu makna dari puisi-puisi hitamnya itu.
Princess,
Bau mawarmu menyengat hingga membuatku nyaris gila dan aku semakin berduka ketika kuputar batang berdurimu dan memetikmu dengan sempurna.
Mungkin bagi orang awam itu puisi yang indah atau bahkan dianggap romantis. Namun jika kuartikan, akan sangat berbeda dengan puisi aslinya. Jika kuterjemahkan kira-kira seperti ini :
Korbanku,
Bau darahmu telah mengundangku dan aku akan sangat bahagia ketika berhasil membunuh dan mengawetkan tubuhmu.
Itu puisi yang pertama. Puisi yang kedua cukup sederhana dan terlalu to the point menurutku.
Princess,
When I got you, you're be immortal.
Hari ini, dia mengirimiku sebuah tantangan yang langsung dikirim ke ponselku. Entah bagaimana dan darimana, dia tahu nomer kontakku. Padahal, aku sama sekali tidak memberitahunya. Walau begitu, aku tidak ingin terlalu kaget. Dia adalah Denis Aditya, lolos dari bom saja dia bisa, apa yang tidak mungkin baginya?
Dalam tantangan itu, dia seolah tahu kalau Aulia adalah calon yang akan mati. Dan sampai saat ini aku tidak mengerti, darimana dia bisa menebak setiap orang yang akan kucegah kematiannya.
Temukan Aulia dan mari kita bermain game kedua! Waktumu sampai langit pagi berubah menjadi senja.
Begitulah isi pesan dari Denis. Karena itu hari ini aku meminta bantuan Ferdi untuk pergi ke rumah Aulia. Jika ini jebakan, setidaknya aku mempunyai seseorang yang akan melindungiku dan kulindungi. Berdua akan sangat bagus untuk melawan Denis. Kalaupun ini curang, ini demi kebaikan kami semua.
Kami tiba di sebuah rumah kontrakan yang letaknya agak terkucilkan dari rumah warga yang lain. Rumah itu tertutup rapat, mulai dari gerbang, jendela hingga pintunya. Tidak ada satu pun tanda-tanda keberadaan makhluk hidup. Melihat kenyataan di depanku mendadak aku merasakan firasat yang kurang enak.
"Nisa, ini rumahnya!" tunjuk Ferdi ketika aku hanya diam sambil memegang alamat yang kudapat dari sekretariat kampus.
Aku menelan ludah.
"Kosong sepertinya, Fer!" ucapku berpraduga.
"Mungkin dia tidur, mari kita coba dulu!" usul Ferdi.
"Aku sedikit was-was," ucapku jujur.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Ayo kita masuk!" ajak Ferdi.
Aku mengangguk mengiyakan.
Kami pun turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang rumah kontrakan itu. Sebenarnya gerbangnya hanya terbuat dari kayu yang tidak seberapa tinggi dan bisa saja kami masuk dengan melompatinya. Namun rasanya itu kurang sopan dan bisa-bisa kami akan dicurigai sebagai maling.
Beberapa kali diketok dan tidak ada satu pun yang menjawab. Cukup lama kami menunggu dan tidak ada siapapun yang menjawab panggilan kami.
"Dek, cari siapa?" tegur seorang wanita.
Aku dan Ferdi menoleh kompak ke arahnya dan tampak seorang wanita yang sepertinya baru datang dari pasar berdiri di depan kami.
"Kami mencari Aulia, buk! Apa benar ini rumahnya?" tanyaku.
Wanita itu mengangguk.
"Betul, ada perlu apa?" tanyanya lagi.
"Kami teman kampusnya dan sudah dua hari Aulia tidak masuk tanpa ijin. Kami khawatir," jelasku.
Wanita itu tampak mengerti dengan menaik-turunkan kepalanya.
"Sudah dua hari ini Neng Aulia tidak keluar rumah, tidak kelihatan sama sekali juga. Padahal biasanya tiap pagi dan sore selalu ke warung beli makanan tapi sudah dua hari tidak datang. Mungkin dia sakit, masuk saja Neng! Neng Aulia tinggal sendiri!" kata wanita itu menjelaskan panjang-lebar.
"Tidak enak, bu! Bagaimana kalau ibu menemani kami saja, dikhawatirkan kami disangka maling nanti!" kata Ferdi merasa enggan.
Wanita itu tersenyum.
"Maaf sekali, saya buru-buru. Masuk saja tidak apa-apa!" kilah wanita itu lalu pergi.
Aku dan Ferdi terdiam, ragu. Kami saling berpandangan sampai akhirnya kami memutuskan untuk masuk setelah mengetahui kalau pintu gerbang rumah kontrakan Aulia tidak dikunci.
Kami masuk hingga ke pekarangannya. Sepi, berantakan dan kotor seolah dibiarkan begitu.
Ferdi terdiam saat kami sudah di depan pintu. Lelaki itu tampak menautkan alisnya.
"Ada apa?" tanyaku heran.
"Pintunya tidak terkunci!" tunjuknya pada pintu rumah yang rupanya sedikit terbuka, kaitan kuncinya tidak tertutup sempurna.
"Apa Aulia di dalam?" tanyaku mulai berpraduga.
Ferdi mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah," jawab Ferdi.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku lagi.
"Kita masuk saja!" jawab Ferdi lalu mulai membuka pintu itu dengan mendorongnya sedikit.
Perlahan, dengan berjalan mengedap-edap, kami masuk ke dalam rumah kontrakan Aulia. Sunyi, tidak ada suatu bunyi ataupun tanda pergerakan walau hanya sedikit. Hening, bahkan terlalu hening membuat detak jam dinding pun terdengar. Suasana itu membuatku semakin berfirasat buruk.
"Fer!" cegatku saat Ferdi perlahan melangkah menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka lebar.
"Kenapa?" tanya Ferdi.
"Apa kamu mencium bau busuk?" tanyaku balik.
Ferdi mengangguk setelah mengendus udara di sekitarnya.
"Ya, aku rasa baunya bersal dari sana!" tunjuk Ferdi pada kamar yang dia tuju.
"Makanya aku ingin kesana, ada sesuatu yang tidak beres!" kata Ferdi mulai penasaran.
Aku pun mau tidak mau hanya selain mengikuti Ferdi yang terus melangkah.
Kami membeku, aku melihat Aulia yang telah tewas di atas ranjangnya dengan leher yang nyaris putus. Tubuhnya sudah bersimbah darah dengan darah yang sudah mengering. Baunya amis, busuk dan banyak lalat mengerubuni tubuhnya.
Aku ternganga, terlalu terkejut sehingga tidak sempat menjerit. Ferdi pun hanya terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak pantas dilihat di depannya dengan bingung.
"Nisa, panggil polisi!" suruhnya.
"Tapi," ucapanku tergantung.
"Sudah, cepat hubungi polisi!" suruhnya lagi.
"Baiklah,"
Dengan cepat aku mengiyakan perintah Ferdi untuk menghubungi polisi sementara Ferdi mendekat ke jasad Aulia, memeriksanya.
"Fer, aku sudah menghubungi kepolisian!" kataku setelah selesai menelpon polisi.
"Bagus," kata Ferdi tanpa mengalihkan pandangannya dari jasad Aulia.
"Bagaimana? Ada yang aneh?" tanyaku yang berdiri agak jauh, enggan melihat jasad malang itu lebih dekat.
Ferdi menghela napas sejenak lalu menoleh ke arahku.
"Dia sudah tewas sejak dua hari yang lalu. Lehernya digorok sehingga dia tewas kehabisan darah," rinci Ferdi.
“Detail sekali, bagaimana kamu tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku pernah jadi kaki tangan pembunuh Nisa, menganalis hal semacam ini sudah keahlianku!" jelas Ferdi.
"Oh," kataku manggut-manggut seolah apa yang dia katakan barusan bukan sesuatu yang mengerikan.
"Ngomong-ngomong, apa Denis sudah menemuimu, Nisa?" tanya Ferdi mendadak serius.
"Heh?" seruku kaget.
"Sudah ternyata," kata Ferdi menyimpulkan.
"Tidak kok, dia ti-,"
"Sudah, jangan berbohong lagi. Aku yakin dia sudah datang padamu," potong Ferdi cepat.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku penasaran.
Ferdi mengambil secarik kertas dari bawah leher Aulia dan mendekat padaku.
"Lihat!" katanya sambil memberikan kertas itu padaku.
Aku menerima kertas itu dan terkejut setengah mati setelah membaca isinya.
Nisa, aku beri waktu 6 jam untuk menemukan pelakunya. Jika gagal, si gendut akan mati!
Aku meremas kuat kertas itu.
"Sialan!" umpatku merasa geram.
"Dia sudah bergerak," ucap Ferdi.
"Sekarang, kita pun akan kembali menjadi pionnya," imbuh Ferdi.
"Lalu, kita harus bagaimana?" tanyaku.
"Kita temukan dulu pembunuh Aulia, setelah itu baru kita pikirkan langkah selanjutnya!" jawab Ferdi.
Aku mengangguk mengiyakan. Walaupun dalam hatiku, aku sedikit tidak menyukai situasi dimana Denis Aditya kembali menjadi raja dan aku hanyalah pion.
Awas kamu, Denis!
***
"Sialan!"
Aku mengumpat kesal ketika aku dan Ferdi telah tiba di rumah Fuad, pacar Aulia dan lelaki itu sudah tewas mengenaskan. Kepalanya ditenggelamkan dalam bak mandi lalu disetrum hingga tewas.
"Bagaimana ini, Fer?" tanyaku pada Ferdi.
Ferdi terdiam, aku rasa dia enggan mengakui kekalahan kami entah untuk keberapa kalinya. Kami sudah berusaha agar bisa selangkah di depan Denis tetapi monster itu selalu bergerak 10 langkah di depan kami. Dia memang tidak terkalahkan dan itu menyebalkan.
Ferdi tiba-tiba menonjokkan lengannya ke tembok hingga berdarah.
"Fer!" pekikku cemas.
Ferdi tertunduk lemas, tubuhnya bersandar di tembok dengan mata terpejam. Aku yakin dia sangat kesal, marah dan juga lelah. Aku tahu bagaimana berusaha kerasnya dia untuk menemukan pembunuh Aulia. Akan tetapi kini Denis telah bergerak lebih dulu. Walau Denis bukan pembunuh Aulia, kami semua tahu kalau Denis adalah pembunuh berdarah dingin.
Ferdi membuka matanya lalu menghela napas panjang.
"Ayo kita pergi," ajak Ferdi sambil meraih tanganku.
"Mau kemana?" tanyaku bingung.
"Polisi akan segera tiba, ayo pergi!" jawab Ferdi lalu menarikku.
"Kenapa kita tidak menunggu sampai polisi datang?" tanyaku heran.
Ferdi menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku.
"Nisa," panggilnya.
"Ya?" sahutku.
"Kamu mau menyelamatkan Satria bukan?" tanyanya.
Aku mengangguk yakin.
"Denis baru saja pergi, mayat Fuad masih hangat, itu artinya dia baru saja tewas saat kita datang!" jelas Ferdi.
"Jadi, jika kamu tidak ingin melihat kematian lagi. Kita harus bergegas!" kata Ferdi menambahkan.
Aku terdiam, lupa sama sekali akan ancaman itu.
"Baiklah, ayo!" kataku bersemangat.
Kami keluar dari rumah Fuad yang sepi, sepertinya dia sedang sendirian saat kejadian itu berlangsung. Kami pun bergegas masuk ke dalam mobil. Ferdi langsung tancap gas menuju ke rumah Satria dengan arahanku.
"Kamu yakin dia di rumah?" tanya Ferdi.
Aku mengangguk.
"Iya," jawabku yakin.
"Coba kamu telpon. Suruh dia bersama orang lain. Denis itu sangat rapi dan berhati-hati, dia pasti tidak akan bergerak jika ada orang lain di sekitar Satria." saran Ferdi.
"Oke," kataku lalu menghubungi Satria.
Pada telpon pertama tidak diangkat. Telpon kedua masih tidak diangkat. Aku coba lagi, telpon ketiga pun juga sama.
"Bagaimana?" tanya Ferdi.
Aku hanya menggeleng pelan.
"Tidak diangkat, bagaimana ini?" tanyaku balik, aku mulai gelisah dan cemas.
"Coba lagi!" suruh Ferdi sambil terus fokus menyetir.
Aku pun terus mencoba menghubungi Satria. Namun lelaki gendut itu tidak mengangkat telponnya atau dia tidak bisa mengangkatnya?
"Masih belum diangkat juga?" tanya Ferdi.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Nisa, pasang sabuk pengamanmu dan berpegangan!" perintah Ferdi.
“Aku akan mengebut!” jelasnya.
Aku pun menuruti apa yang Ferdi perintahkan. Setelah itu, Ferdi pun mulai menginjak gas sehingga mobil melaju dengan kecepatan penuh. Tidak ada lagi yang bisa kami pikirkan lagi kecuali menyelamatkan Satria.
Ferdi memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin mobil. Dengan setengah berlari, aku dan Ferdi berlari menuju rumah Satria. Di depan rumahnya telah berkumpul banyak orang. Kulihat seorang wanita yang menangis histeris. Sebagian lagi-seorang gadis, kuperkirakan masih di usia remaja tampak digotong oleh beberapa orang. Dia pingsan.
Aku menelan ludah, perasaanku sungguh tidak enak. Berbagai macam hal berkecamuk dalam jiwaku. Aku sudah memiliki dugaan tetapi rasanya enggan meyakininya.
Ferdi menggenggam erat lenganku saat aku entah sejak kapan menghentikan langkahku. Aku terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi.
"Kuatkan hatimu, Nisa!" ucap Ferdi.
Aku mengangguk pelan, mencoba membangun keberanian di hatiku walau hanya sedikit.
Ferdi mendekati kerumunan warga, terdapat garis polisi sehingga kami tidak bisa masuk lebih jauh. Ferdi pun memutuskan untuk bertanya.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Ferdi pada seorang pria tua di depan kami.
Pria tua itu menoleh.
"Ah, anak tertua di rumah ini baru saja dibunuh!" jawabnya.
Deg!
"Sa-satria, Pak?" tanyaku terbata.
Bapak itu menganggukkan kepalanya membuatku urat saraf kakiku tiba-tiba tidak berfungsi.
"Nisa!" pekik Ferdi saat aku mulai kehilangan tenagaku.
"Adik ini teman korban?" tanya bapak itu heran saat melihat reaksiku.
Aku hanya menunduk dalam dengan air mata yang bercucuran.
"Siapa yang membunuhnya, Pak?" tanya Ferdi.
"Saya juga tidak tahu. Tapi kata adiknya, tadi ada seorang lelaki muda datang berkunjung, mengaku sebagai teman Satria. Karena itu adiknya tidak curiga saat lelaki ingin menemui Satria. Adik Satria mengantar lelaki itu ke kamar Satria. Na’asnya adiknya itu dipukul hingga pingsan. Lalu saat dia terbangun, Satria sudah tewas dengan perut yang robek hingga ususnya berhamburan keluar!" jawab Bapak itu menjelaskan.
"Sumpah ini mengerikan, pembunuhnya masih buron saat ini. Polisi sedang berupaya meminta keterangan pada adiknya sebagai satu-satunya saksi. Namun sepertinya adiknya trauma, akan sulit meminta keterangan darinya!" lanjut bapak itu.
Aku semakin melemas. Denis semakin jauh di depan kami.
Ferdi pun mengucapkan terimakasih pada bapak itu sebelum memapahku kembali ke dalam mobil.
"Fer, ini salahku!" kataku menyalahkan diriku saat kami sudah berada di dalam mobil. "Tidak, Nisa! Jangan salahkan dirimu! Ini bukan salahmu," elak Ferdi.
"Tidak! Seandainya aku tidak berupaya melawan Denis, tidak akan ada yang mati. Semua ini salahku! Salahku!" kataku mulai histeris.
Aku kacau. Di suatu tempat, aku yakin kalau Denis tengah tertawa melihat kekalahan telakku.
"Nisa, tegarkan hatimu!" ucap Ferdi setengah membentak.
"Tidak ada waktu untuk menyalahkan dirimu. Denis tengah bermain-main dengan kita sekarang! Jika kamu menunjukkan keputusasaanmu, dia akan semakin merajarela!" nasehat Ferdi.
"Kamu mau ada banyak korban berjatuhan?" ucap Ferdi sambil menatapku lekat.
Aku menggelang tegas.
"Tidak, aku tidak mau! Aku hanya tidak mau Denis membunuh orang-orang di sekitarku! Aku tidak mau dia membunuhmu, cukup aku saja yang mati!"
Plaak.
Tamparan keras itu mendarat sempurna hingga pipiku terasa panas dan sakit di saat yang bersamaan. Aku terdiam, merasakan kesadaran yang entah bagaimana perlahan mengembalikan kewarasanku.
"Annisa Sofiana, dengarkan aku!" ucap Ferdi sembari mencengkram kuat kedua bahuku.
Kami bertatapan dan aku bisa merasakan keseriusan dari sorot mata Ferdi. Kekasihku itu bersungguh-sungguh.
"Nisa, Denis itu mosnter! Dia pembunuh! Dia tidak akan melepaskanmu meski dia membunuh semua orang di dunia ini. Jangan lemah. Pilihannya sekarang hanya dua, dibunuh atau membunuh!"
Aku terpaku diam. Aku sudah tahu tetapi rasanya enggan menghadapi kenyataan semacam ini.
"Denis akan terus berada di sekitar kita, suka ataupun tidak, Nisa. Dia akan terus memburumu. Jadi mari kita akhiri perburuan ini. Kuatkan dirimu, tentukan pilihan. Apapun keputusanmu, aku tidak akan membiarkan kamu mati!" Ferdi bersikukuh.
"Kamu mengerti?" tanya Ferdi.
Aku mengangguk pasti.
Tiba-tiba Ferdi membuka pintu mobilnya lalu menyeretku keluar. Dia menarik paksa aku untuk berlari menjauh dan tiarap dalam sekejap.
Duaarrrr..
Mobil Ferdi meledak dan mobil bagus itu kini telah hancur menjadi kepingan. Aku membelalakkan mataku, sulit percaya dengan apa yang terjadi.
"Sudah kubilang bukan? Dia berada di sekitar kita!" bisik Ferdi sembari membantuku berdiri.
Aku melihat nyala api dan asap hitam yang mengepul, melambung ke langit dengan angkuh. Orang-orang mulai berdatangan dan kulihat Ferdi yang memiliki sedikit luka di bagian sikunya dan juga lututnya yang berdarah.
"Jadi, apa keputusanmu?" tanyanya.
Hatiku membeku. Nisa yang baik hati baru saja mati.
"Aku akan membunuhnya!"