Hujan deras mengguyur bumi malam ini. Aku tengah duduk termenung di meja belajarku. Ayah belum pulang, lelaki paruh baya itu mengatakan akan menghadiri suatu acara pernikahan kerabat temannya malam ini. Jadi, kemungkinan akan datang larut sekali.
Aku sudah terbiasa sendirian jadi hal ini sudah biasa. Ferdi pun baru saja ke rumah tadi sore. Jadi tidak enak rasanya jika aku memintanya sekali lagi ke rumahku. Terlebih status kami hanya pacaran, bukan sesuatu yang pantas jika dia bertamu ke rumahku pada malam hari di saat tidak ada siapapun di rumah.
Walaupun pada kenyatannya aku dan Ferdi tentu saja tidak akan melakukan sesuatu yang buruk, tetap saja ucapan orang tidak ada yang bisa mengontrol. Rumahku memang cukup jauh jaraknya dari rumah para tetangga, tetapi mata manusia akan selalu saja menangkap hal-hal yang menurut mereka menarik.
Aku menghela napas, tidak ada panggilan masuk. Sepertinya Ferdi pun tengah sibuk. Aku tidak ingin mengganggunya walau sebenarnya malam ini aku begitu kesepian dan ingin ditemani.
Kilat menyambar dan suara keras itu sedikit menakutiku. Aku menoleh pada jendela kamarku dan sedikit bergidik ngeri saat tanpa sengaja kulihat sekelebat bayangan lewat. Aku menelan ludah, mendadak menjadi waspada.
Aku berlari keluar kamar, mendekati pintu depan dan jendelanya.
"Dikunci rupanya," gumamku.
"Ah!" pekikku lalu segera berlari ke pintu belakang dan langsung gemetar saat gagang pintu belakangku sedikit basah.
Aku tidak menyentuhnya lalu apa yang membuatnya basah?
Aku segera menyadarkan diriku, kukunci rapat pintu belakang itu. Kudekati dapur dengan langkah pelan. Aku buka laci lemari di dapur lalu mengambil pisau besar yang berada di deretan pisau yang memang sudah kupersiapkan.
"Ini yang paling besar, tidak begitu runcing tetapi kuat untuk menebas," gumamku lirih saat kupandangi pisau yang sudah kupilih.
Aku terdiam sejenak, menghitung jumlah pisau yang ada.
"Masih lengkap," ucapku sambil menarik napas lega.
Aku pun berjalan pelan dengan pisau di tangan. Kupaksa mata dan telingaku menjadi sangat peka. Aku merasakannya, aura kegelapan yang begitu besar dan membuat aura mencekam yang sungguh menakutkan.
Aku memantapkan langkahku, mencoba melawan rasa takut akan kemungkinan terburuk siapapun yang akan kuhadapi malam ini. Jika aku beruntung, dia-sekelebat bayangan itu, hanyalah maling amatir. Aku bisa melawannya jika hanya maling kelas teri. Tapi-jika aku begitu sial dan menemuinya, maka bisa saja ini adalah malam kematian seperti yang sudah aku lihat di mimpiku.
Tik. Tok. Tik. Tok.
Suara jam dinding yang berdetak menyambutku yang melangkah pelan tapi pasti menuju ruang tamu. Keringat dingin telah membasahi wajah, kening dan punggungku. Debaran jantungku yang sudah melebihi normal pun menambah rasa gugup yang kurasakan.
Aku menelan ludah saat kilat sekali lagi menyambar dan listrik tiba-tiba padam. Dalam kegelapan dan keheningan itu, aku bisa merasakan hawa dingin yang mulai menyebar dari pangkal kaki hingga ke sudut hatiku yang terdalam.
Aku terus mencoba melangkah dengan sisa penglihatan yang lama-kelamaan membaik karena dipaksa bekerja dengan kekuatan mata yang minim.
Deg!
Aku terhenti saat kilat menyambar dan memberikan sedikit penglihatan tentang sosok bayangan yang memanjang.
Aku menggenggam erat pisauku, mencoba sekuat tenaga mengumpulkan keberanianku yang tertidur. Aku tidak tahu pasti letak asli posisi tubuh dari bayangan yang memanjang itu. Namun jika kuperkirakan, dia tidak jauh. Dia sudah di dalam, di ruang tamu ini!
Brak..
"Aaaa," teriakku keras sembari mengayunkan pisau di tanganku ke kiri dan ke kanan.
Kosong! Tidak ada apapun, yang terbelah oleh pisauku hanyalah udara. Aku pererat genggaman tanganku dengan kaki dan tangan yang sudah membeku.
Grap.
Prangg.
"Akh,"
Aku tertahan dan mendadak menjatuhkan pisau yang kugenggam ke bawah saat tiba-tiba leherku dikunci oleh lengan yang sudah tidak asing lagi untukku.
Aroma tubuh yang berbau mawar-menyengat dan memabukkan itu sungguh membuatku lemah. Kuncian tangannya di leherku membuatku yang meski sudah menguasai taekwondo sabuk hitam ini tidak bisa bergerak sama sekali.
Kedua tanganku yang mencoba melepaskan tangannya dari leherku, dua-duanya tidak berdaya. Dia terlalu kuat. Kaki-kakiku melemas dan ini sungguh terasa seperti kematian yang nyata.
Napasnya berhembus pelan di wajahku dan bisa aku rasakan bibirnya yang sedingin es itu mengecup mesra pipi kiriku membuatku yang merasa ingin mati pun mulai berharap agar segera mati. Aku sungguh putus asa.
"Nisa," bisiknya pelan di telingaku.
Aku hanya diam, bulu kuduk di seluruh tubuhku berdiri. Mendengar suaranya saja sudah membuatku merinding dan lemah, bagaimana mungkin aku bisa melawannya? Kepercayaan diriku untuk membunuhnya terasa lenyap dalam sekejap.
"Aku mencintaimu, Sayang!" bisiknya lagi sembari menyentuhkan logam dingin ke pipiku. Dari sudut runcingnya, jika boleh berpraduga, logam dingin itu adalah sejenis pisau.
Aku pun menggigit erat bibir bawahku kuat-kuat, menghindari suara ketakutanku agar tidak keluar. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku ketakutan. Walaupun aku yakin dia sudah menyadarinya karena tubuhku yang gemetar tanpa bisa kukendalikan.
"Nisa sayang, sudah tiba saatnya untuk giliranmu!" bisiknya disusul dengan tawa yang terkekeh.
Deg!
Aku bergidik ngeri dan hanya bisa pasrah. Hatiku menjerit dan terus berharap agar seseorang datang dan menolongku. Satu-satunya harapanku saat ini hanyalah Ferdi, kekasihku.
Ferdi, tolong aku!!
Denis tiba-tiba melonggarkan kuncian tangannya di leherku. Cowok itu perlahan mundur membuatku sedikit bernapas lega untuk sejenak.
"Bagaimana? Apa kamu merindukan aku?" tanyanya dalam kegelapan.
Aku hanya diam sambil mencoba bernapas normal, menenangkan degup jantungku yang masih saja ketakutan meski dia telah menjauh. Hal itu karena aura pembunuhnya yang masih begitu kuat terasa meski ada jarak di antara kami.
"Kamu merindukanku?" tanyanya sekali lagi.
Aku terdiam, hanya mencoba mengembalikan kekuatanku.
Braak.
Aku jatuh terduduk saat tiba-tiba Denis sudah didekatku dan menarik rambutku hingga aku terhempas ke bawah.
"Jangan mengabaikanku, Nisa! Aku tidak suka diabaikan!" tegurnya.
Aku hanya merintih kesakitan, rambut panjangku benar-benar ditarik dengan kuat. Beberapa helai bahkan tercabut secara paksa, menimbulkan rasa sakit yang khas di kulit kepalaku.
Denis mencengkram kuat pipiku dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menjambak kuat rambutku. Sepertinya dia telah menyimpan kembali pisaunya. Hal itu membuatku sedikit merasa tenang karena itu artinya dia tidak berniat untuk segera menghabisiku.
"Nisa sayang, jawab aku ya," katanya dengan nada manja.
Aku hanya menganggukkan kepalaku meski sakit itu makin menjadi karena perlakuannya yang benar-benar kasar.
"Nisa, kamu merindukanku?" tanyanya untuk ketiga kalinya.
"I-iya, aku rindu," jawabku terbata karena mencoba mengatakan hal yang sebaliknya dengan isi hatiku.
Denis tersenyum lalu melepaskan cengkaramn tangannya dari pipiku. Cowok itu pun juga melepas jambakan tangannya. Perlahan dia bangun lalu berdiri dan berjongkok di depanku.
Dalam gelap, mataku masih menangkap wajahnya yang samar. Dia masih sama dan bisa kukatakan, dia masih saja tampan dan juga menakutkan.
"Jangan menatapku lama-lama, aku tahu kamu mencintaiku," katanya penuh percaya diri.
Aku menelan ludahku dengan terpaksa. Ingin sekali kuludahi dia tetapi jika demikian itu sama saja aku mempersingkat umurku.
"Kamu masih mengingat namaku bukan?" tanyanya.
"Iya, masih!" sahutku.
"Siapa?" tanyanya lagi, memastikan aku benar-benar mengingat namanya.
"Denis Aditya," jawabku dengan yakin.
Denis tertawa kecil lalu perlahan-lahan tawanya mengeras dan menggema di seluruh ruangan di rumahku.
"Wah, kamu masih ingat rupanya," katanya dengan kagum.
Tentu saja aku mengingatnya. Bagaimana mungkin aku lupa sedangkan dia adalah mantan pacar plus cinta pertamaku yang berniat membunuhku? Kecuali aku sudah gila, aku pasti sudah melupakannya.
Denis kemudian berjalan mendekat, menyentuh leherku lalu perlahan dia mulai mendekatkan wajahnya padaku. Cowok gila itu mulai mengendus-ngendus bau leherku dan terkekeh pelan membuatku menjadi risih dan muak padanya.
"Baumu masih sama saja," katanya penuh kekaguman.
"Bau lezat yang mengundang selera untuk dibunuh!" lanjutnya sehingga membuatku langsung merinding.
"Ke-kenapa kamu ingin membunuhku? Bukankah kamu mencintaiku?" entah setan apa yang merasukiku sehingga aku bisa mengajukan pertanyaan itu.
Denis memudurkan tubuhnya dariku lalu tangannya bergerak untuk menyentuh bagian belakang kepalaku dengan lembut.
"Justru karena aku mencintaimu, aku ingin membunuhmu sayang," jawabnya.
"Dengan begitu, kamu hanya akan menjadi milikku selamanya!" lanjutnya.
"Kamu gila!" dengusku tanpa sadar.
Denis terbahak.
"Aku memang sudah gila, gila karena cintamu!" katanya.
Aku merasa jijik saat dia mengatakan itu.
"Jadi, semua yang kamu bunuh selama ini juga kamu cintai?" tanyaku.
Denis terdiam sepertinya dia marah terasa dari tangannya yang mulai mencengkram kasar kepalaku.
"Aku membunuh mereka karena mereka pantas mati. Sedangkan kamu ingin aku bunuh, karena aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Aku membutuhkanmu, Sayang!" sanggahnya.
"Tenang saja, kamu akan kuperlakukan dengan baik dan lembut!" kata Denis menimpali.
"Tubuhmu tidak akan aku lukai sedikitpun, akan aku carikan cara mati yang indah untukmu, Sayang!"
Aku mengepalkan tanganku, rasa ketakutanku pada Denis mendadak memudar. Aku layangkan tinjukua padanya.
Grap.
Denis menangkap tanganku dengan cepat. Terlalu cepat bahkan.
"Kenapa? Apa kamu tidak ingin mati untukku? Bukankah kamu sudah mencintaiku?" tanya Denis heran.
"Aku tidak mencintaimu lagi!" bantahku tegas.
"Kenapa?" tanya Denis heran.
"Karena,"
"Karena Ferdi?" sambung Denis.
Aku terdiam.
"Ah, gara-gara pelayan tidak tahu diri itu rupanya," tebak Denis.
"Eh, tidak! Tidak! Ti-"
Plaakkk.
Tamparan keras itu membuatku langsung terkapar di lantai rumahku yang dingin. Pipiku berdenyut, seumur hidup baru kali ini aku ditampar.
"Arrghh," jeritku kesakitan saat tanganku ditarik lalu diputar ke belakang.
"Nisa, jangan mengkhianatiku. Karena siapapun yang merebutmu dariku pasti akan aku bunuh!" katanya dengan bersungguh-sungguh.
"Tidak, aku masih mencintaimu! Aku mencintaimu!" peikku panik.
Denis melepas kuncian tangannya di tanganku lalu membantuku berdiri.
Lampu menyapa dan kini kulihat monster itu di depanku dengan wajah ganteng yang sungguh menakutkan. Dia menyeringai dengan bibirnya yang merah darah. Kurasakan nyeri di sudut bibirku, aku rasa tamparan Denis telah melukaiku.
Denis mendekat dan menjilat pipi kiriku dari dagu hingga nyaris ke pelipisku.
"Enak," gumamnuya lirih.
Aku hanya diam mematung, yang paling kutakutkan sekarang bukanlah kematianku tetapi kematian Ferdi, kekasihku.
"Tatap mataku!" suruhnya.
Aku pun mencoba sekuat tenaga menatap balik pandangan mata Denis. Sorot matanya yang tajam bak elang itu telah menembus jantung dan otakku sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali.
"Haruskah kubunuh teman gendutmu dulu sebagai permulaan?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat.
"Tidak! Jangan lakukan! Jika kamu menginginkan aku, bunuh saja aku!" larangku.
Denis menghela napas panjang.
"Itu akan membosankan Nisa," tolaknya.
"Kalau begitu, mari saling bertarung! Kali ini aku pasti tidak akan kalah!" usulku.
Denis hanya berjalan mundur lalu duduk di sofa ruang tamuku.
"Kemarilah!" panggilnya.
Aku pun berjalan mendekat padanya meskipun sebenarnya enggan dan merasa takut.
"Duduk!" suruhnya lagi sambil menunjuk sofa di depannya.
Aku mengangguk mengiyakan, menuruti apapun yang dia perintahkan.
"Good girl," pujinya.
"Nisa, aku bosan bermain petak-umpat denganmu," keluhnya.
"Dulu kamu membunuhku dengan bantuan Ferdi, apa sekarang kamu juga akan melakukan kecurangan yang sama?" tanya Denis penuh curiga.
"Tidak! Aku akan membunuhmu sendirian!" bantahku tegas.
"Kamu pasti akan mati sia-sia jika begitu, tubuhmu akan terluka dan aku tidak suka itu!" tolak Denis.
"Lantas bagaimana?" tanyaku sedikit putus asa.
"Hm." Denis tampak berpikir sejenak.
"Nah, aku ada ide!" katanya bersemangat!"
"Apa itu?" tanyaku.
"Aku yang akan menyerang, kamu yang bertahan!" jawabnya.
"Maksudmu?" tanyaku kurang mengerti.
Denis hanya tersenyum penuh arti. Dari balik jaketnya dia mengeluarkan dua buah botol berisi cairan. Karena botolnya berwarna cokelat, aku jadi tidak bisa mmeprediksi warna atau jenis minuman apakah di botol itu.
"Pilihlah!" suruhnya ssmbari meletakkan kedua botol itu di meja.
"Peluangnya 50:50," kata Denis.
Aku mengerutkan keningku.
"Salah satu isi botol ini adalah racun. Jika kamu beruntung, kamu akan mendapatkan racun itu. Jika sial, kamu akan mendapatkan minuman yang manis!" katanya dengan seringai penuh kelicikan.
Aku mengulurkan tanganku, hendak mengambil kedua botol itu tapi Denis segera menepis tanganku.
"Aku menyuruhmu memilih, bukan memeriksa isi botolnya!" katanya dengan memandangku marah.
"Maaf," ucapku pelan.
"Pilih lalu minum!" katanya memerintah.
Aku hanya diam, memperhatikan kedua botol minuman itu dengan seksama. Karena hidupku ini bergantung pada kedua botol itu.
"Waktumu 5 detik!" ucap Denis lalu mulai menghitung mundur.
"Lima, empat, tiga, dua,"
Aku ambil botol sebelah kiri, membuka lalu meneguknya habis.
Denis tersenyum puas. Aku tunggu beberapa detik, tidak ada yang terjadi. Aku tetap diam sampai dua menit berlalu.
"Oke, kamu lolos tahap pertama!" kata Denis lalu bertepuk tangan.
Dia mengambil botol yang tersisa dan memasukkannya kembali ke kantong jaketnya.
"Ini kalium sianida, jika kamu meminumnya hanya butuh semenit untuk membuat jantungmu berhenti berdetak!" katanya.
Aku menelan ludah, diam-diam merasa bersyukur karena aku memilih botol yang benar.
"Baiklah, aku pergi!" pamitnya.
"Kamu melepaskanku begitu saja?" tanyaku tidak percaya.
Denis menyeringai.
"Kenapa? Kamu masih ingin bermain lebih lama denganku?" tanya Denis dengan senyum mengejek.
"Tidak!" jawabku tegas.
Denis mendekat dan menyentuh wajahku dengan kedua tangannya.
"Sayang, aku mencintaimu!" katanya lalu mengecup cepat bibirku.
Aku hendak menamparnya tetapi si cowok gila itu telah bersiap, mencengkram kuat kedua tanganku.
"Hati-hati, Nisa! Jaga sikapmu! Sedikit saja kamu salah melangkah, kamu akan segera menjadi hiasan di rumahku!" katanya mengingatkan sekaligus mengancam.
Denis pun pergi sementara aku hanya duduk lemas dengan air mata yang telah bercucuran.
Dasar b******k!