BAB 28

1623 Words
Ferdi menghentikan mobilnya, menepi sembari melihat ke rumah di seberang sana, agak jauh dari tempat kami berada, tetapi masih bisa dilihat dengan cukup jelas. Aku yakin, dia tidak ingin segera masuk ke rumah itu, mungkin ingin mengawasinya lebih lama sebelum kami masuk dan mulai menginterogasi si empunya rumah alias Diana. Aku tidak terlalu mengerti soal taktik, tapi sepertinya, Ferdi sudah memiliki rencana. Melihat dari sorot matanya yang tidak terlihat bingung atau canggung, aku tahu, dia sudah memutuskan apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Walau untuk sekarang, kami harus menunggu sampai rencana Ferdi tersebut bisa dijalankan dengan lancar dan tanpa ada kesalahan. Bagaimanapun, kami harus menyelidiki kasus ini secara diam-diam dan melaporkan jawabannya pada Denis. Psikopat itu hanya memberikan kesempatan sekali dalam menjawab. Jika salah, berakhirlah sudah semua ini. Aku tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk bertemu Ferdi, melindungi ayah ataupun membalaskan dendamku pada suamiku sendiri. Apa yang dia lakukan padaku, dia harus membayarnya dengan balasan yang setimpal. Dulu, aku benci balas dendam, sekarang, khusus untuknya seorang, aku ingin melakukannya meskipun hanya sekali dalam hidupku. Bukan karena Denis istimewa, tetapi untuk mengembalikan semua penderitaan dan rasa sakit yang dia berikan padaku selama ini. Walau balas dendam bukan keputusan yang bijaksana, aku tetap ingin melakukannya. denis istimewa dan pantas mendapatkannya.             Kami berdiam diri, mengamati sekitar dengan seksama selama beberapa saat. Tidak! Ini bahkan sudah hampir dua jam. Aku tidak tahu apa yang Ferdi tunggu sehingga kami harus diam di sini tanpa melakukan apapun. Padahal, tadi dia yang mengatakan padaku kalau dia sudah memiliki tersangka utama. Jika tahu akan selama ini, aku lebih memilih mengantar mobil ayah lebih dulu daripada hanya duduk diam sehingga membuat pantas terasa panas seperti saat ini. Sungguh, keadaan yang menyebalkan.             “Aku tahu, saat ini kamu pasti sedang mengeluh, benar kan?” tebak Ferdi sembari tersenyum geli.             Aku tidak menjawab, hanya mengerucutkan bibir. “Tidak,” sahutku mengelak.             Ferdi hanya terkekeh pelan, “Kamu tampak jengkel, Nisa. Kamu pasti bertanya-tanya mengapa aku hanya diam saja dari tadi kan? Mengapa aku tidak masuk dan menangkap pembunuhnya langsung?” Ia seolah bisa menebak pikiranku. Sejak dulu, sepertinya isi pemikiranku bisa ditebak dengan mudah. Terkadang, aku benci kenyataan itu, terutama sekarang.             “Tenanglah, aku hanya mengamati situasi, kamu melihat mobil yang terparkir tepat di depan rumah itu? Itu mobil polisi. Mereka juga sedang mengintainya, kita tidak sendiri. Jika kita mengambil langkah yang gegabah, polisi akan mencurigai dan menginterogasi kita. Jika sudah begitu, kita tidak akan bisa bergerak dan kehilangan waktu dengan percuma,” jelasnya panjang-lebar. “Aku juga ingin semua ini cepat selesai, Nisa. Ada banyak yang ingin aku katakan padamu.”             Aku terdiam, menatapnya yang kini menatapku lekat dan dalam. Hatiku seperti berdenyut-denyut antara sakit, bahagia dan nyeri. Ini bukan perasaan yang mudah untuk digambarkan. Akan tetapi, aku senang melihatnya masih hidup. Bisa duduk bersamanya dengan jarak sedekat ini, aku sudah sangat bahagia. Walau kami, tidak bisa lagi bersama meskipun memiliki perasaan yang sama. Ada Denis di antara kami. Aku memilih menikahinya, itu artinya, semua adalah akibat dari tindakanku. Jadi, aku harus bertanggungjawab sampai akhir. Bagaimanapun, semua tidak akan terjadi seandainya… ah, sudahlah. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku tidak mau menjadi manusia yang putus asa dan terjebak dalam hal-hal yang bersifat ilusi dan pengandaian. Itu tidak baik untuk kesehatan mentalku. Bagaimanapun, aku perlu pulih untuk bisa bangkit dan melakukan serangan balasan. Sebelum itu, aku harus menyelesaikan kasus Sarah yang sedang kami coba tangani sekarang.             “Jadi, apa saja petunjuk yang kamu punya, Fer?” Aku membuka topik pembicaraan membuat Ferdi kembali memasang wajah serius, mengenyahkan perasaan nostalgia kami yang memang harus musnah agar tidak mengacaukan semua usaha yang sudah mati-matian kami berdua selama ini.             “Ada beberapa petunjuk. Pertama, pelakunya memakai jubah hitam dan topeng—persis seperti yang kamu katakan tadi—jadi kita tidak tahu jenis kelamin pelaku secara pasti, dia bisa lelaki atau perempuan. Namun, dari bagaimana dia menyeret dan menggantung korban, dia pasti seseorang yang kuat. Kedua, dia tidak meninggalkan petunjuk apapun, kecuali ponsel sekali pakai yang tidak bisa dilacak. Entah dia perempuan atau lelaki, yang jelas, dia memiliki ukuran kaki yang cukup besar. Ada jejak kaki di halaman dekat pohon di mana korban digantung.”             “Hanya itu?” Aku menyela.             Ferdi tersenyum tipis, “Sabar, aku belum selesai,” sanggahnya.             “Lantas?” Aku tidak sabaran.             “Kita memiliki tiga tersangka,” jawab Ferdi yang membuatku menautkan alis.             “Bagaimana bisa? Apa mereka benar-benar tersangka untuk saat ini?” tanyaku ragu.             Ferdi mengangguk, “tentu saja, kamu tahu, aku tidak akan mudah percaya siapapun kecuali instingku. Mereka semua memiliki motif. Juga, memiliki kesempatan untuk melakukannya.”             “Siapa dan apa?” Aku ingin penjelasan lebih detail.             “Pertama, tersangka kita saat ini, Diana. Dia seorang pengrajin topeng, juga sahabat Sarah. Walau mereka sudah berteman sejak SMA, mereka sering berdebat. Dua hari sebelum terjadinya pembunuhan, mereka bertengkar dan banyak saksi yang mengatakan itu. Mereka berdebat sengit. Bahkan saling melemparkan umpatan kasar,” terang Ferdi.             “Kedua, Anton, kekasih korban. Walau dia mengatakan tidak ada di sana saat kejadian, itu meragukan, mengingat seorang penjaga warung memergokinya berada di dekat rumah korban beberapa jam sebelum kejadian. Dia juga tidak terlihat gelisah selama beberapa waktu sebelum memutuskan untuk pergi dari sana. Yang terakhir adalah ayah tiri korban. Malam itu dia pergi dengan istrinya menonton film, tetapi dia meninggalkan bioskop cukup lama dengan alasan ke toilet karena diare. Dia juga adalah orang yang pertama menemukan tubuh Sarah, meskipun di sana, juga ada ibu Sarah yang ikut bersamanya. Aneh bukan? Maksudku, jika dia diare, seharusnya dia tidak menonton film dengan istrinya.” Ferdi mengemukakan pendapatnya.             “Aku lebih curiga pada pacarnya,” kataku memberikan pendapat juga.             “Mengapa?” tanya Ferdi ingin tahu.             “Dia yang paling berpotensi untuk membunuh. Kamu tahu, cinta bisa menjadi kebencian dalam semalam. Terlebih, dia terlihat gelisah dan berada tidak jauh dari tempat kejadian, memiliki fisikyang kuat karena dia lelaki dan…”             “Tunggu! Sepertinya kamu salah paham,” ucap Ferdi memotong pembicaraanku.             “Apa maksudmu?” Aku sama sekali tidak mengerti.             “Anton, pacar Sarah, dia masih kuliah. Mereka berbeda 6 tahun. Sarah 25 tahun sedangkan pacarnya 19 tahun. Fisiknya juga tidak macho, dia pemuda kurus biasa yang bisa dibilang sangat jauh dari kesan kuat.” Ferdi memberikan bantahan.             Aku mengerutkan kening, “Jangan bilang Diana yang akan kita temui memiliki tubuh yang kekar?” Merinding rasanya mengatakan pertanyaan itu meskipun aku yang mengatakannya.             Ferdi mengangguk cepat, sama sekali tidak ingin menyangkal kenyataan itu.             “Kalau begitu, dia memang pelakunya?” Aku semakin merasa yakin dengan dugaan awal kami.             Ferdi menghela napas panjang, “Kita belum tahu itu. Belum ada bukti kuat,” jawabnya. “Apa kamu mengingat sesuatu? Detail yang mungkin kamu lewatkan dan belum aku temukan?” Ferdi mencoba membuatkumengingat lebih.             Aku menggeleng, “Maaf, aku hanya mengingat persis seperti yang aku katakan tadi padamu. Aku belum memiliki petunjuk atau ingatan baru,” jawabku merasa sedikit tidak enak.             “Tidak masalah, kita pasti bisa menemukan pelakunya,” katanya meyakinkan dan memberiku semangat. Aku hanya mengangguk mengiyakan, meskipun masih memiliki sedikit keraguan di dalam hati. Bukannya meremehkan Ferdi, tetapi kami diburu waktu, bisa saja kami melewatkan sesuatu. Bagaimanapun, kami dalam tekanan di mana tidak boleh ada sedikitpun kesalahan. Jika tidak, permainan ini akan usai lebih cepat dari dugaan. Aku harus memastikan hal itu tidak akan terjadi.             Pada akhirnya, apa yang kami tunggu tiba. Polisi sudah meninggalkan rumah Diana, membuat kami segera turun dari mobil dan pergi ke rumah Diana. Berbeda dengan polisi, kami tidak mengetuk pintu depan. Kami pergi, mengedap-edap seperti maling dan masuk melalui pintu belakang.               Saat masuk, ruangan dapur gelap, seolah pemiliknya sudah pergi tidur. Kami masuk dengan menjaga kesunyian. Ada dua lantai di rumah itu. Diana tidak ada di lantai dasar, itu artinya dia berada di kamarnya di lantai atas. Ferdi memintaku untuk mencari petunjuk apapun yang bisa ditemukan di lantai dasar. Dia akan ke atas, memeriksa Diana secara hati-hati. Aku setuju dengan usulannya, kami berpencar. Namun, tidak lama. Aku mendengar Ferdi berteriak cukup keras, menyebut nama Diana dan terdengar suara yang cukup keras seperti benda berat jatuh. Tanpa basa-basi aku segera ke lantai atas dan melihat Diana sudah terkapar di lantai kamarnya dengan mulut berbusa. Dia terlihat kejang-kejang.             “Dia kenapa, Fer?”             “Dia berusaha untuk menggantung dirinya setelah meneguk racun serangga,” terang Ferdi membuatku sedikit terkejut.             “Apa yang harus kita lakukan? Dia bisa mati jika kita biarkan,” kataku merasa panik.             “Bantu aku, kita harus segera membawanya ke rumah sakit.” Ferdi memberikan perintah.             “Mengapa tidak menelpon ambulan saja?”             “Baiklah, segera hubungi. Aku akan memberikan pertolongan pertama.”             Aku pun menuruti perintah Ferdi, menelpon ambulan. Mereka akan segera datang. Aku tidak kesulitan mengatakan alamat Diana karena Ferdi memberitahuku sebelumnya. Setelahnya,  aku kembali ke kamar di mana Ferdi memberikan pertolongan pertama pada Diana yang masih terlihat sadar dan bernapas, meskipun dia muntah beberapa kali dan kejang-kejang.             Setiap kali Diana muntah, Ferdi segera membersihkan mulut dan tenggorokannya. Caranya dengan membalutkan kain bersih ke jari dan tangannya, lalu  menggunakan jarinya untuk membersihkan mulut dan tenggorokan Diana. Setelahnya, sambil menunggu pertolongan medis datang, Ferdi membaringkan penderita dengan posisi miring ke arah kiri dan memberikan bantal atau penyangga pada punggungnya. Dia juga menarik dan menekuk tungkai yang berada di atas ke arah depan. Posisi seperti ini disebut posisi pemulihan (recovery position). Begitu yang Ferdi katakan padaku. Tak lama kemudian ambulan datang, Diana dibawa ke rumah sakit dan kami berdua ikut bersamanya. Ini sungguh di luar dugaan. Aku tidak berharap Diana akan bunuh diri. Maksudku, jika dia memang pelakunya, dia sungguh aneh. bagaimana bisa dia membunuh jika memilih untuk mati karena merasa bersalah? Sungguh tidak masuk akal. Akan tetapi, jika bukan Diana, siapa? Ah, aku benar-benar bingung sekarang. Ini sungguh menyebalkan. Kasus Sarah tidak sesederhana perkiraanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD