BAB 29

1502 Words
Bodoh. Aku sama sekali tidak ingat  tentang janjiku dengan ayah tadi pagi. Karena terlalu sibuk dengan urusan Diana, aku sampai tidak sempat untuk memeriksa ponselku. Juga, tidak melihat waktu yang berlalu. Saat melihat ponselku, sudah ada panggilan dari ayah berulang kali. Dia juga mengirimkan banyak pesan padaku. Intinya, ayah sangat mengkhawatirkanku. Dengan tergesa, aku menelpon ayah, ingin meminta maaf karena tidak menepati janji juga mengabarkan kalau aku baik-baik saja.             “Kamu ke mana saja, Nisa? Ayah khawatir,” ujar ayah dengan cemas. “Kamu nyaris membuat ayahmu ini melapor polisi!”             Aku merasa bersalah dan tidak enak hati karena membuat ayah sangat cemas. “Maaf, Ayah. Nisa sedang di rumah sakit dan lupa waktu,” terangku.             “Rumah sakit? Kamu kenapa? Kamu sakit atau kecelakaan, atau bagaimana?” tanya ayah bertubi-tubi. Dia sangat khawatir.             “Tenanglah, Ayah. Nisa baik-baik saja, hanya menemani teman saja,” jelasku, berusaha untuk menenangkan ayah dan berhenti khawatir.             “Kamu yakin?” Ayah masih merasa ragu.             “Tentu, ayah bisa bertanya pada Ferdi kalau…” Aku menghentikan ucapanku seketika, sedikit panik karena keceplosan. Semua karena Ferdi yang tiba-tiba muncul dan melambaikan tangan. Dia baru saja berbicara dengan dokter dan pihak kepolisian yang tiba-tiba muncul entah darimana. Yang mengherankan, dia tidak sendirian. Saat akan menerangkan tentang siapa, mengapa dan bagaimana kami bisa di sana, dua lelaki muncul. Salah satunya adalah Anton, kekasih Sarah, perempuan yang menjadi korban. Rasanya cukup aneh jika dia datang pada Diana, sahabat kekasihnya, sehari setelah kematian pacarnya. Bahkan, ini belum bisa dihitung sehari, hanya setengah hari setelahnya. Mencurigakan. Walau sejak awal, aku memang sudah mencurigainya. Dia memiliki motif dan tindakannya mencurigakan. Terlebih, dia terkesan melindungiku dan Ferdi. Dia berbohong pada polisi mengenai siapa kami dengan mengatakan kalau kami adalah teman Diana yang kebetulan datang dan menemukan Diana dalam keadaan sekarat. Walau merasa lega karena pertolongan darinya, tindakannya tersebut sungguh terasa mengherankan, janggal dan aneh.             “Ferdi? Apa maksudmu, Nisa? Ini tidak seperti yang ayah pikirkan, kan? Mengapa kamu bersamanya? Apa yang kamu lakukan? Kamu tahu akibat dari perbuatanmu ini kan?” Ayah sepertinya salah paham. Pertanyaan darinya sukses membuatku sadar kembali.             “Tidak, Ayah. Dia memang Ferdi yang itu. Denis tahu kalau aku bersamanya, jangan khawatir. Aku tidak akan berbuat sesuatu yang akan membuat Denis marah,” kataku berusaha menenangkan ayah. Walau tidak mengatakannya secara gamblang, aku tahu kalau ayah sangat menjaga perasaan Denis. Meskipun mereka dekat, terkadang, aku melihat ayahku merasa takut saat bersama Denis. Mungkin, sebagian dari dirinya atau insting bertahan hidup manusia sangat kuat, sehingga ayah tahu kalau terkadang Denis berbahaya. Tidak hanya untukku, tetapi baginya. Dia selalu berhati-hati. Mungkin itu sebabnya, aku tidak pernah melihat ayahku melawan atau membantah aturan yang Denis berikan. Kami berdua sama, patuh karena merasa takut, bukan hormat. Sepertinya, Denis tahu tentang itu dan merasa di atas angin.             “Kenapa?” tanya Ferdi saat dia sudah berada di depanku. Tanpa basa-basi, aku memberikan ponselku padanya.             “Ayahku ingin bicara,” terangku membuatnya segera mengambil ponselku dan menjauh, menjaga jarak agar pembicaraannya tidak terdengar olehku ataupun dua orang lainnya, Anton dan temannya. Kami belum sempat berkenalan, sehingga aku tidak tahu siapa nama temannya. Walau begitu, temannya memiliki tubuh yang cukup kekar, sepertinya dia rajin berolahraga mengingat otot lengan dan d**a bidangnya masih bisa terlihat meskipun dia memakai kemeja panjang.             “Ah, maaf, aku lupa memperkenalkan diri,” ucap Anton membuka topik. “Aku Anton dan dia sahabatku, Brian.”             Aku melihat pada Brian dan lelaki itu tersenyum membuatku harus membalas senyumannya sebagai dasar kesopanan.             “Aku Annisa. Lelaki yang tadi bersama kalian adalah Ferdi.” Aku menerangkan.             “Kalian…” Anton mencoba mencaritahu hubunganku dengan Ferdi.             “Kami bersahabat. Aku sudah menikah.” Aku menerangkan.             “Ah,” gumam Anton sembari mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.             “Maaf, aku kira tadi kalian adalah suami-istri,” ucap Anton merasa tidak enak.             “Tidak masalah. Suamiku mengenalnya, kami bertiga juga adalah teman SMA. Jadi terkadang orang bisa salah paham,” jelasku lagi. “Untuk bantuanmu tadi, aku berterima kasih.”             “Ah, soal itu tidak masalah. Kalian teman Diana, tentu saja aku harus membantu. Lagipula itu bukan sesuatu yang besar.” Anton menekankan beberapa hal dalam nada suaranya, seolah dia tidak mau kalau teman dekatnya tahu kalau kami dan Diana sebenarnya tidak berteman. Ini sungguh aneh.             “Kamu dan Diana, apa kalian akrab? Kenapa kamu ke rumahnya?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.             “Ah, aku dan Diana sudah berjanji untuk bertemu malam ini. Dia bilang ada sesuatu yang mau dibicarakan, tetapi tidak aku sangka, ternyata dia mau bunuh diri,” sesalnya dengan heran. “Namun, dia beruntung karena kalian menemukannya dan bisa memberikan pertolongan pertama sampai tenaga medis datang.” Anton melengkungkan senyuman, dari bagaimana garis senyumnya terbentuk, aku tahu kalau dia tulus, membuatku menurunkan kecurigaanku padanya. Sedikit, tidak banyak. Aku masih mencurigainya sebagai tersangka dari tewasnya Sarah. Menurutku, dia yang paling mencurigakan.             “Kalau dia? Apa alasannya datang ke rumah Diana? Apa kalian datang bersama?” tanyaku bertubi-tubi membuat Anton tertegun.             “Ah, maaf. Aku banyak bertanya, ya?” Aku tertawa canggung.             “Dia memang suka penasaran dengan banyak hal. Maaf jika membuat kalian tidak nyaman,” ujar Ferdi beralasan. Dia sudah selesai berbicara dengan ayah.             “Bagaimana? Apa yang ayah katakan?” tanyaku beralih padanya sejenak.             “Jangan khawatir, ayahmu mengerti. Kita harus pulang setelah ini,” jawab Ferdi.             Aku hanya mengangguk setuju.             “Hai, aku Brian. Aku datang ke rumah Diana karena khawatir padanya. Dia tidak menjawab telponku, jadi aku mengajak Anton ke sana. Tidak aku sangka, dia ternyata sudah memiliki janji dengan Diana. Dia sama sekali tidak mengatakan soal itu padaku.” Brian memaparkan, pada Ferdi, bukan padaku.             “Ah, maaf. Aku hanya tidak ingin kamu salah paham.” Anton berkilah. “Brian adalah kekasih Diana,” lanjutnya membuatku dan Ferdi saling berpandangan, tidak menduga dengan fakta yang baru saja kami dapatkan.             “Kamu…”             Aku menggaruk-garuk kepalaku. Mustahil dia percaya aku dan Ferdi adalah teman Diana jika memang benar dia kekasihnya. Seharusnya, dia tahu, kalau kami adalah orang asing, terkecuali dia dan Diana berpacaran LDR, hubungan mereka sedang renggang, atau memang tidak pernah saling memperkenalkan teman masing-masing. Ini sungguh di luar dugaan.             “Terima kasih sudah menyelamatkan nyawa Diana,” ucap Brian padaku dan Ferdi.             Kami hanya mengangguk mengiyakan. Basa-basi sebentar lalu memilih untuk pergi. Aku tidak tahu kenapa, tetapi sepertinya ada sesuatu yang mereka berdua coba tutupi. Tugasku dan Ferdi mencari tahu tentang hal itu. Dengan demikian tabir misteri ini akan terbuka.             Ferdi mengantarku ke rumah temannya, di mana teman itu yang membawa mobilku tadi. Setelahnya, aku pulang ke rumah di mana ayah langsung menyambutku. Dia memelukku erat alih-alih memberikan pertanyaan atau omelan. Aku tahu, ayah sangat menyayangiku, aku juga. Namun, tindakannya sungguh terasa sedikit berlebihan. Raut wajahnya juga terlihat khawatir sekaligus ketakutan.             “Kamu tidak apa-apa kan, Nis?” tanyanya memastikan keadaanku padahal sudah tahu dan melihatku dengan kedua matanya sendiri kalau aku baik-baik saja.             “Tenanglah, Ayah. Nisa tidak apa-apa.” Aku berusaha membuat ayah tenang.             “Di mana Ferdi? Dia juga tidak apa-apa kan? Kalian tidak celaka kan?” Ayah bertanya lagi.             Aku mengangguk, “Tentu saja. Lagipula sudah Nisa terangkan, yang terluka adalah teman kami. Jangan khawatir,” kataku menjelaskan.             “Denis, kamu sudah menelponnya. Ayah tidak mau dia salah paham dan…” Ayah nyaris sesak napas. Entah apa yang sebenarnya dia ketahui sampai sepanik ini.             “Dan apa, Ayah? Apa ayah memiliki rahasia atau sesuatu yang disembunyikan dan tidak ingin aku tahu?” Aku menaruh curiga dengan sikapnya.             Ayah segera menggeleng dengan cepat, “Tidak. Kalian sudah menikah, bagaimana kalau dia salah paham dan membuat pernikahan kalian retak?” Ayah mengungkapkan.             Aku hanya mendesah kasar. Sejujurnya, sejak awal, pernikahanku dengan Denis memang sudah retak sejak awal. Bahkan, kami sudah saling membenci sampai mencapai titik ingin saling membunuh. Keadaan dan keinginan egois Denislah yang membuat kami masih saling bertahan untuk tidak melakukannya. walau ini menyedihkan, tetapi aku sama sekali tidak sedih semisal, Denis salah paham dan benar-benar melepasku dan menyerah pada pernikahan ini. Akan tetapi, keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Secara tegas, Denis mengatakan akan membunuh kami jika aku macam-macam. Aku tidak sebodoh itu untuk menyia-nyiakan nyawaku sendiri, apalagi nyawa orang lain.             “Ayah, di sini dingin, mari kita masuk,” ajakku pada ayah.             Ayah hanya mengangguk lalu kami pun masuk ke dalam rumah.             Aku menyiapkan makan malam dan makan malam bersama ayah. Sejak tadi ayah sepertinya tidak bisa berhenti untuk tidak khawatir sehingga dia segera terlelap setelah aku membaringkannya di tempat tidur dan menyelimutinya. Wajah tuanya menunjukkan rasa lelah. Setelahnya, aku kembali ke kamarku.             Sebuah pesan mendarat di sana, tepat sebelum aku berbaring. Dari Denis.             Dua hari lagi. Jangan melakukan hal yang sia-sia, Nisa. Kamu hanya memiliki kesempatan sekali. Jangan bermain-main, apalagi bersandiwara atau bernostalgia dengan mantan.             Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Amarahku mendadak naik. Sejak dulu, aku sudah tahu kalau Denis memang menyebalkan. dia sungguh meremehkanku membuatku semakin tidak ingin tinggal diam dan ingin segera menyelesaikan kasus ini. Aku pasti akan menemukan pembunuhnya! For sure. I can do this.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD