Di dalam kamar tidur super luas itu, seorang gadis cantik masih tidur di balik selimut tebalnya. Bantal-bantal empuk menemani mimpinya. Jendela-jendela yang tinggi itu masih tertutup gorden berbahan linen yang super lembut. Terdapat sofa bergaya chic memberi kesan girly pada kamar bernuansa elegan itu.
Diana mengerjapkan matanya. Perlahan-lahan, mata cantik itu terbuka. Semalam dia tidur setelah mendapat balasan pesan dari David. Dia tersenyum mengingat isi balasan itu. David selalu memperlakukannya dengan baik.
Diana duduk dan mencari ponselnya di meja nakas samping king size-nya. Sudah pukul lima pagi, batinnya.
Dia bergegas turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan bersikat gigi.
Keluar dari kamar mandi, Diana masuk closet untuk mencari outfit olah raga yang cocok. Pilihannya jatuh pada Nike, begitu juga sepatunya.
Kini dia duduk di depan kaca, mencari sisir. Tepat saat itu, seorang pelayan masuk. Wina namanya. Pelayan khusus Diana di mansion ini.
“Nona sudah bangun?” tanya Wina keheranan.
“Iya. Aku ingin berolah raga sebentar.”
“Maafkan saya, Nona. Saya terlambat membangunkan Anda.” Wina menunduk. Dia takut dianggap terlambat dan tidak becus.
“Jangan begitu. Kau tidak salah. Aku memang yang terlalu pagi dan bersemangat.”
Wina masih saja menunduk. Dia bahkan hendak berlutut. Diana langsung menahannya.
“Eh, mau apa? Jangan aneh-aneh ya. Aku malah tidak suka kamu begini. Begini saja, kamu sisir rambutku dan ikat.”
Wina tersenyum lebar. Dia mengangguk dan mengambil sisir dari tangan Diana. Dengan telaten, dia menyisir rambut nona mudanya itu.
“Kamu sudah lama di sini?” tanya Diana.
“Satu tahun lebih sedikit, Nona. Dulu saya di bagian laundry. Mulai hari ini saya yang bertugas melayani Nona,” jawab Wina.
“Pantas saja aku belum pernah melihatmu.”
“Iya, Non. Maaf saya lancang. Tapi apa benar Nona kuliah di Amerika?” Wina takut-takut bertanya pada Diana.
“Iya, kenapa?” Diana merasa aneh dengan pertanyaan pelayannya.
“Apa di sana sangat indah?” Mata Wina membesar saat menanyakannya. Tanda bahwa dia sangat penasaran.
“Lebih indah Indonesia,” jawab Diana enteng.
“Nona jangan bercanda.”
“Tidak. Aku tidak bercanda. Di sana memang indah, tapi Indonesia lebih indah. Kau ingin ke Amerika?”
“Tentu saja, Non. Tapi itu mustahil. Meskipun saya menabung, tapi bapak emak saya di desa membutuhkan uang. Adik-adik saya juga masih sekolah.”
“Jangan pesimis. Siapa tahu suatu saat nanti bisa. Berapa umurmu?”
“20 tahun, Non.”
“Kamu kuliah?”
Wina menggeleng.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa, Non. Adik-adik saya di desa semua masih sekolah. Meskipun biaya sekolah di desa sangat murah, tapi kebutuhan sekolah masih mahal, Non. Biar saya tidak kuliah tidak apa-apa.”
Diana menjadi iba dengan keadaan Wina.
“Siapa namamu?” tanya Diana.
“Wina, Non.”
“Kemungkinan besar aku akan bekerja di kantor Papa. Jadi kalau pagi, kamu tidak ada tugas. Bagaimana kalau kuliah saja. Jangan pikirkan biayanya. Aku yang akan mengurusnya. Kamu punya ponsel? Cari tahu kampus mana yang cocok dengan keadaan dan keinginanmu. Daftarkan dirimu!”
“Tap.. tap.. tapi.”
“Tidak ada tapi-tapi. Aku akan membantu biaya selama kuliah di sana. Setelah itu, kau bisa mencari beasiswa. Jangan patah semangat! Bekerja menjadi pelayan berat bukan?”
Wina menunduk dan mengangguk.
“Bekerja di kantor juga berat. Tapi gaji yang didapat berbeda. Jika sama-sama berat, apa kau ingin menjadi pelayan selamanya?”
Wina menggeleng.
“Bagus! Jadi pergilah kuliah. Ambil kelas pagi saat aku bekerja. Jangan lupa mencari beasiswa. Dengan itu, kau akan terus termotivasi belajar karena nilaimu akan terus dipantau. Selain itu, kau juga akan membutuhkan laptop dan buku-buku. Ingat! Aku membantu biaya kuliah. Kau mencari beasiswa untuk kebutuhan kuliah. Dan gajimu dari mama bisa untuk keluargamu di kampung. Bagaimana?”
Wina seperti mendapat pencerahan. Ide dari nona mudanya begitu dahsyat. Dia kini bersemangat untuk kuliah. Wina menganggukkan kepalanya dengan senyum besar.
“Setelah lulus S1, kau bisa mencari beasiswa S2 ke Amerika.”
Kini Diana yang tersenyum lebar. Dia senang Wina setuju dengan usulnya.
“Baik. Sekarang sudah jam 6. Aku harus ke lantai 4 untuk berolah raga.”
“Baik. Benar, Nona. Maafkan saya sudah menghambat aktivitas Nona.”
Wina menunduk dan bergeser. Diana berdiri dan menepuk pundak Wina.
“Jangan sungkan begitu.”
Diana keluar dari kamar dan menuju tangga. Wina masih termenung di depan kamar Diana. Wangi Diana masih tertinggal di sana. Sungguh, dia senang mendapat majikan seperti Diana.
Wina bergegas menuju dapur untuk membantu menyiapkan sarapan untuk Diana. Sedangkan Diana sudah di dalam ruang fitnes berlatih untuk kebugaran tubuh dan kesehatannya. Perut rata dan ramping adalah bonus bagi Diana.
Tidak lama, papanya masuk dan menyalakan treadmill. Diana berdiri di matras sambil mengangkat dumbball.
“Dari jam berapa, Princess?” tanya Johan.
“Jam 6, Pa.”
“Hmm, sudah 30 menit rupanya. Nanti ke kantor?”
“Iya. Aku ingin sedikit mengenal lingkungan kantor sebelum terjun ke sana.”
“Bagus! Papa suka pemikiranmu.”
Diana meletakkan dumbball-nya dan beralih menuju sepeda.
“Tapi, Pa, sebelum aku fokus di kantor pusat, aku ingin mencoba di anak perusahaan dulu. Terserah Papa mau aku di mana. Aku ikut saja.”
“Hmm, begitu ya? Akan aku bicarakan dengan Leo. Bagaimana hubunganmu dengan David?”
“Kenapa, Pa?”
“Kamu sudah lulus S2, Princess. David juga sudah hampir 30 tahun. Sebenarnya Papa juga ingin melatih David untuk memimpin salah satu anak perusahaan. Dia sangat cekatan dalam bekerja. Papa senang kau menjalin hubungan dengan pria itu.”
“Pap tahu tidak? Dulu sebelum mengenalkan David pada Papa, aku sepat takut Papa akan menjodohkan aku dengan salah satu anak rekan Papa.”
Diana tertawa mengingat betapa takutnya dulu dia dijodohkan. Tapi ketakutannya tidak beralasan. Papanya begitu mengerti dan tidak ingin menjodohkannya dengan siapa pun meski banyak dari mereka yang mencoba mendekat. Ada yang terselubung, ada juga yang terang-terangan mengenalkan anak mereka pada Johan. Tapi Johan dengan bijak selalu berkata, “Biarkan itu menjadi urusan anak muda.”
Johan tersenyum. “Papa tidak ingin memaksamu, Princess. Beruntungnya Papa ternyata pacarmu sesuai dengan harapan Papa. Jadi untuk apa Papa melarang?”
“Terima kasih banyak, Pa. I love you.” Diana tersenyum sambil menatap Papanya penuh kasih.
“I love you too, Princess.”
Pukul 9 pagi Diana memasuki gedung PT. SBI ditemani oleh Rita. Bodyguard sekaligus sopirnya itu selalu menemani ke mana pun. Sebenarnya, Johan ingin ada 2-3 bodyguard lagi, tapi Diana selalu menolak ide itu. Dia hanya mengizinkan satu orang menemaninya ke mana pun. Dan Johan memilih Rita.
Seluruh karyawan menyapa dan menunduk dengan hormat pada Diana. Diana tersenyum dan membalas sapaan karyawan papanya. “Selamat pagi semua.”
Diana berjalan dengan penuh percaya diri menuju lift. Rita dengan sigap menekan tombol lift untuk nona mudanya itu. Setelah Diana dan Rita masuk lift dan pintunya tertutup, para karyawan mulai terdengar kasak-kasuk.
“Gila! Lama gak nongol, sekalinya nongol bikin hati lumer kayak coklat diemut.”
“Perasaan makin cakep aja Non Diana.”
“Gue iri!! Tuhan nyiptain Non Diana sempurna banget. Tinggi, cantik, kaya, pinter lagi!”
“Gue mau lah antri dapetin hatinya.”
“Busyeettt! Itu bodi apa gitar?”
“Kayaknya gua perlu ke toilet sekarang!”
“Eh, anjir! Jangan mikir macam-macam tentang Non Diana ya. Bodyguard-nya kalau ngamuk sumpah nyeremin!"
Semua karyawan berbisik dengan rekan kerjanya membicarakan Diana yang sudah lama tidak muncul ke kantor.
Lalu semua bisik-bisik tentang Diana tiba-tiba saja berhenti. Sepasang mata menatap tajam ke arah mereka semua.
“Ke sini mau bekerja atau bergosip?” Leo bertanya dengan keras. Sontak semua menunduk dan berhamburan menuju meja masing-masing.
Setelah semua kembali normal dan bekerja, Leo berlanjut menuju lift hendak ke ruangannya. Wangi parfum Diana tertinggal dalam lift. Wangi dari Victoria’s Secret Bombshell yang berupa citrus dan apple fruit yang diakhiri dengan shangri-la peony dan vanilla orchid membuat Diana seperti sosok wanita dewasa yang penuh percaya diri dan bold. Leo menghirupnya dalam-dalam. Sangat menyegarkan dan eeerr.. seksi. Tapi dia segera tersadar dengan apa yang dilakukannya.
“Bodoh!” makinya dalam hati.
Saat pintu lift terbuka, dia segera keluar dan menuju ruangannya. Setelah menaruh ranselnya, dia mengambil beberapa berkas yang perlu dicek ulang oleh Johan. Leo pun berlalu menuju ruang CEO.
Tok.. tok..
“Masuk!” Terdengar suara dari dalam.
“Permisi, Pak Johan.”
Leo membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan luas didominasi warna putih dengan aksen kayu pada furniture dan lantai.
Johan sedang duduk di sofa dengan Diana di sampingnya. Leo menunduk hormat pada Diana.
“Oh, Leo. Bagaimana?” tanya Johan.
“Sudah, Pak. Pak Anton juga sudah setuju untuk memakai produk kita di hotel barunya yang ada di Medan dan Manado.”
“Bagus! Kau memang berbakat.”
“Mm, Pa. Aku akan ke lantai 19 dan 18 untuk berkeliling sebentar. Setelah itu aku ingin makan siang bersama David. Tidak apa-apa bukan?”
Leo berdiri kaku mendengar kata David meluncur dari bibir Diana. Reflek otaknya mengingat apa yang dilakukan David dan Susan kemarin.
“Apa kamu ingin papa mengumpulkan direksi atau manajer supaya kau bisa langsung bertanya pada mereka?”
“Tidak usah, Pa. Aku akan menemui mereka di ruangannya. Lagi pula aku bisa bertanya-tanya pada David saat makan siang nanti. Dia general manager kan?”
“Iya, tapi jangan mengajaknya terlalu lama. Kembalikan dia ke perusahaan tepat waktu.” Johan berpura-pura marah pada Diana.
Diana tertawa melihat wajah Johan yang pura-pura marah itu. “Pa, ingat umur. Jangan manja begitu.”
Diana kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu. “Sampai ketemu di rumah, Pa.”
Johan tersenyum melihat Diana. Dia bisa melihat betapa Diana sangat menyayangi David dan begitu pun David. Dia sangat menjaga Diana.
Leo mendekat ke arah Johan. “Pak, ada yang perlu Bapak ketahui.”