Leo 3

1714 Words
Gedung SBI pusat terdiri dari 20 lantai. Di lantai satu terdapat meja resepsionis panjang, beberapa sofa di sebelah kiri resepsionis, kantin pegawai, lounge untuk para atasan dan meeting klien, musholla, dan banyak toilet. Lantai 2-15 untuk kantor anak perusahaan SBI. Khusus lantai 10 terdapat kantin kedua yang super luas, banyak toilet, dan musholla. Sedangkan lantai 16-20 untuk kantor pusat SBI. David kembali ke kantor saat sebagian karyawan sudah pulang. Bahkan di lantai 18 tempat David bekerja tinggal dua orang saja yang masih belum pulang. Susan sudah menunggu David dari tadi. Dia menyiapkan beberapa berkas untuk rapat besok juga beberapa laporan dari beberapa divisi. David tersenyum saat melihat Susan sedang fokus dengan pekerjaannya. "Selamat sore, Susan." Susan mendongak dan ikut tersenyum. "Selamat sore, Pak David. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani untuk rapat besok dan beberapa laporan untuk diperiksa." "Baik. Bawa ke ruangan saya. Dan tolong buatkan kopi seperti biasa." "Baik, Pak." David membuka pintu ruangannya dan masuk. Jasnya ditaruh sembarangan di sofa. Membuka kancing tangannya dan melipat kemejanya sampai siku. Dasinya juga dilonggarkan sedikit. Ini sudah lewat jam kerja. Sepertinya David bisa sedikit longgar pada kemejanya. Di luar, Susan menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan David. Setelah menyerahkannya ada David, dia keluar untuk membuatkan David kopi. Sejak mereka dekat, David tidak pernah meminta OB untuk membuatkannya kopi. Susan selalu membuatkannya kapan pun dia mau. Selama dua jam, David dan Susan fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Susan mengerjakan tugasnya di ruangan David untuk memudahkan koordinasi. Mereka berdua tidak pernah main-main dengan pekerjaan. "Sudah selesai?" tanya David. "Tinggal menyimpan berkas-berkas ini saja, Pak." Susan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. David mengecek ponselnya. Diana mengirim pesan selamat malam padanya. David tersenyum. David mengingatkan Diana untuk tidak tidur terlalu malam. Dia juga mengirimkan beberapa kata romantis. Selamat malam, Sayang. Tidur yang nyenyakJangan begadang ya. Aku masih di kantor - David. David juga menambahkan emotikon cium di akhir pesannya. Dia lalu memasukkan ponselnya di saku. "Sudah, Pak. Saya akan membereskan meja saya dahulu." David mengangguk. Dia berdiri, mengambil jasnya lalu keluar ruangan. Susan sudah menenteng tasnya siap pulang. Mereka berjalan berdua menuju lift khusus petinggi perusahaan. David awalnya hanya memegang pinggul Susan dan sedikit menariknya agar lebih dekat. David tetap menatap lurus ke depan. Lalu jempolnya mulai mengusap-usap punggung Susan dengan pelan. Susan mulai tidak bisa mengontrol nafasnya. Kini, tangan David yang mulai beraksi. Nafas Susan semakin tercekat. Dia menoleh kanan, kiri, bahkan belakang. Dia takut ada yang melihat. "Tidak ada orang." David berkata dengan suara dalam dan tidak menoleh sedikit pun pada Susan. "Bagaimana kau tahu?" Susan berbisik. David menunjuk depan dengan dagunya. Ternyata pintu lift bisa memantulkan apa yang ada di depannya dengan jelas. Susan memperhatikan dengan seksama pintu lift itu. Lalu tiba-tiba dia meraih kerah David dan menciumnya habis-habisan. David tersenyum dalam hati. Tentu saja dia menyambut ciuman itu dengan sama ganasnya. Di tengah-tengah ciuman itu, suara denting lift terdengar. Susan langsung menjauhkan dirinya. David berdehem untuk menetralkan jantungnya sedangkan Susan merapikan bajunya. -- Di lantai 20, Leo masih berkutat dengan laptopnya. Tugasnya tinggal sedikit lagi. Dia melirik jam tangannya. Sepertinya dia akan membawa pulang tugasnya yang tinggal sedikit itu. Dia tidak ingin pulang terlalu malam sehingga tidak sempat bertemu ayahnya. Dengan cekatan, Leo membereskan mejanya dan memasukkan laptop dan beberapa berkas ke dalam ranselnya. Pria berkaca mata itu suka memakai ransel karena menurutnya bisa memuat banyak barang. Meskipun sedikit aneh melihat ransel bersanding dengan setelan jas, tapi dia tidak peduli. Yang penting dia nyaman. Leo sudah memasuki lift untuk turun ke basemen. Saat di lantai 18, lift berhenti lalu terbuka. Terlihat David dan Susan berdiri di sana. David tersenyum pada Leo dan mengangguk. Bagaimana pun, Leo termasuk atasannya. David berdiri di sebelah Leo. Susan salah tingkah. Dia berdehem dan ikut masuk ke dalam lift. "Lembur?" tanya Leo entah pada siapa. "Iya. Ada banyak laporan divisi yang harus saya periksa. Juga menyiapkan berkas untuk besok." David menjawab pertanyaan Leo dengan tenang. David terlihat sangat tenang meski bajunya jelas tidak terlihat 'tenang'. Leo menyadari itu. Leo juga akhirnya memperhatikan penampilan Susan dari pintu lift yang memantulkan semua isi lift. Rambut Susan terlihat lebih berantakan dari seharusnya. Apalagi bibir Susan terlihat memerah bukan karena lipstik. Seperti bekas hisapan dan sedikit membengkak. "Maaf, Pak David, sepertinya ada noda lipstik di sudut bibir Anda," kata Leo. David dan Susan sangat terkejut. Mereka terlihat salah tingkah. David langsung mengelap bibirnya dengan kemeja. Dia tidak peduli jika kemejanya akan kotor. Susan juga perlahan-lahan mengelap bibirnya dengan jempol. Leo memperhatikan semua itu dari pintu lift. Dia sama sekali tidak menoleh. Sebenarnya itu hanya akal-akalan Leo saja untuk mengetes mereka. Tidak disangka, ternyata yang dipikirkan Leo benar. "Haha, Pak Leo ini ada-ada saja. Mana ada lipstik di bibir saya." David berkata dengan tawa sumbang. Dia hanya bisa menemukan sedikit warna merah di kemejanya. David yakin itu tidak akan terlihat oleh siapa pun saking tipisnya. Lagi pula dia selalu memperingatkan Susan untuk memakai lipstik yang matte atau waterproof. "Benarkah?" tanya Leo pura-pura terkejut. "Maafkan aku, Pak David. Sepertinya aku salah," lanjut Leo tanpa merasa bersalah sama sekali. David tentu saja geram. Dia mengutuk Leo dalam hati. Bisa-bisanya Leo mempermainkannya! B******k! B******n! Awas saja! Jika dia main-main denganku, aku tidak akan segan mengambil tindakan, batin David. Ting! Pintu lift terbuka di basemen. Leo melangkah terlebih dulu. "Mari, Pak David." "Silahkan, Pak Leo." Leo tidak perlu repot-repot berpamitan pada Susan. Dia rasa itu tidak penting karena sudah berpamitan pada David. Leo memasuki Lexus GS miliknya yang baru dibelinya tiga bulan lalu. Mobil ini adalah penghargaan untuknya sendiri karena sudah bekerja dengan sangat keras. Awal bekerja sebagai OB dengan Johan, Leo selalu naik angkot atau ojol. Setelah mempunyai cukup uang, dia membeli motor matic yang menemaninya ke mana-mana. Setelah diangkat menjadi PA (Personal Assistant-Asisten Pribadi) oleh Johan, Leo merasa dia butuh mobil untuk membantu pekerjaannya yang membutuhkan mobilitas tinggi. Dia sempat menghabiskan tabungannya untuk membeli sebuah Honda Jazz waktu itu. Setelahnya, Leo sadar kalau dia membutuhkan pemasukan tambahan sebagai cadangan jika dia membutuhkan pengeluaran mendadak. Kini dia memiliki beberapa ratus ribu lembar saham di 10 perusahaan asing dan domestik. Setiap tahun dia mendapatkan deviden dari sahamnya tersebut. Dari deviden beberapa ratus juta yang diterimanya itu, sebagian untuk kembali membeli saham dan sebagian lagi masuk obligasi. Dia hanya mengambil sedikit untuk ATM-nya. Hingga uangnya terkumpul untuk bisa membeli sebuah Lexus yang dibanderol 1,2 M itu. Selain itu, kini dia juga mempunyai rumah 2 lantai untuk ditinggali bersama ayah dan adiknya. Banyak karyawan perempuan yang menaruh hati pada Leo. Dia sangat pekerja keras. Leo adalah contoh hidup kesuksesan bagi mereka. Leo yang awalnya hanyalah OB, kini menjadi aspri sang pemilik perusahaan. Leo yang dulu hanya mengendarai motor matic, kini mengendarai Lexus. Tapi Leo seperti tak tersentuh. Yang ada di pikirannya hanyalah bekerja dan bekerja. Leo tidak sombong, juga tidak dingin. Tapi karena fokusnya bekerja, dia tidak mempedulikan hal-hal di luar pekerjaan, seperti perhatian dari karyawan perempuan. Leo menyempatkan diri untuk mampir membeli martabak manis atau terang bulan isi kacang dan coklat untuk ayahnya. Dia juga membeli mi pangsit untuk dirinya dan Ferdi, adiknya. Leo memasuki pagar jam menunjukkan pukul 9 malam. Ayah dan adiknya masih menonton TV saat dia membuka pintu. “Lembur, Mas?” tanya Ferdi. “Iya. Banyak file yang harus aku urus. Nona Diana sudah pulang tadi sore, jadi Pak Johan hanya di kantor sampai siang. Sisanya aku yang urus.” Leo menjawab sambil membuka sepatu dan menaruhnya di rak. “Nona Diana sudah pulang? Pasti kau akan lebih betah lagi di kantor, Mas.” Ferdi berkata menggoda Leo. “Maksudmu apa?” Leo keheranan. “Nona Diana kan sangat cantik.” Ferdi menyunggingkan senyum sambil memainkan alisnya. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu tidak lembur?” Leo mengalihkan pembicaraan. Dia merasa risih dengan gurauan adiknya. “Tadi pulang jam 8,” jawab Ferdi. “Apa yang kau bawa itu?” tanya Wijaya, ayah Leo. “Terang bulan untuk ayah. Seperti biasa isi kacang dan coklat.” Leo tersenyum dan menghampiri ayahnya. Dia mengecup punggung tangan ayahnya. “Hanya untuk ayah?” Ferdi memprotes. “Ada mi pangsit juga untukmu.” “Benarkah? Wah! Kau memang yang terbaik, Mas! Sebentar aku ambil mangkok dulu.” Leo menaruh makanan itu di atas meja lalu berlalu menuju kamarnya untuk berganti baju. Saat menaiki tangga, Ferdi berseru, “Ke mana, Mas? Ayo makan dulu!” “Sebentar. Aku berganti baju dulu.” Ferdi menata makanan di meja. “Ayo, Yah. Kita dimakan dulu sambil menunggu Mas Leo.” Wijaya duduk dan mengambil satu iris terang bulan dan mulai memakannya. Wijaya ingat dulu dia harus menyisihkan uang dulu sebelum bisa menikmati terang bulan ini. Gajinya sebagai buruh pabrik sudah habis untuk menyekolahkan dua anak, membayar hutang, juga cicilan. Bahkan Leo sudah bekerja serabutan sejak SMA. Dia pernah menjadi kuli di toko grosir milik Koh Vincent sepulang sekolah. Tugasnya mengangkut beras, gula, atau tepung bersak-sak dari truk ke gudang atau dari gudang ke pick up pel*****n. Dalam sehari dia mendapat 30-50rb tergantung banyaknya muatan yang ada. Uang itu dia pakai untuk ongkos sekolah pulang pergi dan makan siang di sekolah. Sisanya dia bagi bersama Ferdi, adiknya. Jam 8 malam dia baru sampai di rumah, mandi, makan, lalu belajar. Dia terus melakukannya sampai akhirnya diterima kerja di hotel. Kini Leo dan Ferdi sudah sama-sama bekerja. Mereka juga rukun, tidak pernah berselisih. Hanya saja Leo yang belum pernah memperkenalkan seorang gadis, membuat Wijaya sedikit kepikiran. Berbeda dengan Ferdi yang memang sudah ingin menikahi gadisnya tahun depan. Kini, Leo sudah berganti baju. Dia memakai kaos oblong dan celana pendek. Rambutnya yang masih agak basah hanya disisir dengan jari-jarinya saja. Mereka bertiga duduk bersama sambil menikmati makanan yang tidak bisa disebut juga makan malam. Suasana di meja makan tampak hidup. Mereka saling bercerita tentang kegiatan mereka sehari ini. Hanya dengan mi pangsit dan terang bulan, sudah bisa membuat mereka bahagia. Setelah selesai makan malam yang menyenangkan itu, Leo kembali ke kamarnya di lantai 2. Ferdi bertugas membersihkan meja dan mencuci mangkok piring. Di kamar, Leo kembali menghidupkan laptop dan membuka berkas-berkas yang belum selesai dikerjakan tadi. Pikirannya kembali mengingat David dan Susan. Entah bagaimana reaksi Diana jika dia mengetahui hal ini. Sudut hatinya mengatakan ingin memperingatkan Diana, tapi dia hanya seorang asisten. Dia merasa tidak berhak ikut campur urusan nona mudanya. Leo tahu Diana sangat mencintai dan menyayangi David. Sudahlah, terserah saja. Bukan urusanku, batin Leo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD