Diana turun dari Mazda 3 milik David yang berwarna merah itu. David menggandeng tangannya dan berjalan memasuki rumah. Rita turun dari Alphard dengan membawa koper Diana dan mengekor di belakangnya.
Diana sempat melirik garasi. Sepertinya Mercerdes Benz GLE milik papanya sudah terparkir tanda papanya sudah di rumah. Diana tersenyum sambil menaiki tangga.
Seorang pelayan membuka pintu untuk Diana. Diana langsung melepaskan tangan David dan berlari masuk.
"Mama!! Pa!!" Suara Diana menggema di seluruh rumah.
Seorang wanita berumur sekitar 50 tahun keluar dari ruang baca. Senyumnya mengembang sempurna dan merentangkan tangan menyambut kedatangan anak tertuanya.
"Diana, my princess."
"Mom, I miss you so much."
"I miss you too, princess. Kapan landing? (mendarat) Kevin membawa pesawatnya dengan baik bukan?"
"Baru saja, Mom. And yes, Kevin did it so well." (Dan ya, Kevin melakukannya dengan sangat baik)
Rosa melepas pelukannya dan menyambut David.
"Halo, David. Apa kabar?"
"Baik, aunty. Aunty tampak sangat cantik."
"Kau selalu bisa menggodaku."
Mereka bertiga tertawa mendengar lelucon itu hingga suara pintu terbuka mengalihkan mereka.
"Princess, kau sudah datang."
Diana berlari menuju ayahnya dan memeluknya. Johan membalas pelukan itu tidak kalah erat. Lalu melepasnya.
"Apa kabar, Pa?"
"Baik, Anakku. Apa kau bertambah kurus? Sepertinya mamamu harus memmaksamu makan." Johan berkata dengan raut yang dibuat serius.
"Pa, jangan bercanda! Timbanganku naik satu kilo minggu kemarin." Diana berkata dengan kesal. Bisa-bisanya papanya menyebutnya kurus saat timbangannya naik!
Johan sontak tertawa. Dia suka sekali mengerjai anaknya tentang berat badan karena bagi Diana itu topik yang sensitif.
"Jangan cemberut, Princess. Kau tetap luar biasa cantik dengan berapa pun timbanganmu. David akan selalu di sisimu."
Johan mencubit gemas pipi anaknya. Sedangkan David langsung tersedak air liurnya sendiri mendengar penuturan Johan.
"Selamat datang kembali, Nona."
Sebuah suara menginterupsi kerinduan ayah dan anak itu. Seorang laki-laki berusia sekitar 29 tahun dengan setelan jas dark grey berdiri di belakang Johan. Dia terlihat tampan dan dengan kacamata itu, somehow, memberi kesan seksi padanya.
"Hm, terima kasih, Leo." Diana tersenyum tipis dan mengangguk sebentar.
Leo adalah asisten pribadi dan orang kepercayaan Johan. Dia sudah mengabdi pada Johan selama 12 tahun.
Awal pertemuan Leo dan Johan adalah ketika Johan hendak mengadakan pertemuan dengan klien penting di sebuah restoran hotel.
Sesaat setelah masuk ke dalam private room restoran hotel itu, Johan menyadari kalau map berisi file-file untuk rapat hari ini menghilang.
Sementara itu, Leo muda yang masih berusia 19 tahun bekerja sebagai OB di hotel itu menemukan sebuah map di tempat parkir. Leo membuka dan membacanya. Dari kopnya Leo tahu bahwa arsip ini milik PT. SBI.
Leo lalu menghubungi resepsionis untuk menanyakan tamu dari PT. SBI. Setelah mendapatkan tempat pertemuan, Leo secepat kilat menuju ruangan yang ternyata VIP di restoran hotel itu.
Saat Leo hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Johan yang membuka pintu itu terkejut ada pria muda yang berada di depan ruangannya.
"Ada apa?" Tanya Johan.
"Saya ingin bertemu dengan perwakilan PT. SBI."
"Ada apa kau ingin menemuinya?"
"Ada sesuatu yang harus saya serahkan."
"Apakah itu map? Apa map itu ada bersamamu?"
Leo mengernyit heran sebelum akhirnya menjawab, "Iya, Tuan."
"Syukurlah! Di mana sekarang?" Johan terlihat sangat lega dengan jawaban Leo.
"Saya perlu tahu siapa Anda, Tuan."
"Saya adalah Johan, pemilik PT. SBI." Johan mengulurkan tangannya pada Leo. Leo hanya menyambutnya singkat.
"Tapi saya membutuhkan lebih dari sekedar ucapan."
Johan tersenyum. Dia menyukai anak muda ini. Sepertinya dia tahu kalau isi dari map itu sangat penting sehingga dia perlu berhati-hati. Johan memerlukan orang yang bisa dipercaya seperti ini.
Dia lalu membuka dompet dan mengambil tanda pengenalnya.
"Baiklah. Ini kartu pengenalku. Namaku Johan Rahman Shiddiq. Aku pemilik PT. Sawit Berkah Indonesia. Map itu berwarna kuning. File di dalamnya berisi tentang pengajuan kerja sama dengan pihak Hotel Fortune di Medan. Ini adalah kerja sama terbesarku selama ini. Rapat ini sangat penting untuk kemajuan perusahaanku jadi aku sedikit gugup. Karena kegugupanku, tadi aku sempat terjatuh di tempat parkir. Mungkin map itu jatuh di sana. Kau bisa mengecek CCTV untuk meyakinkan posisiku."
Kening Leo mengkerut. Dia memang menemukan map itu di tempat parkir. Map itu juga memang berwarna kuning. Leo memandangi kartu pengenal Johan lalu menatap Johan. Dia mempercayai perkataan Johan. Lalu Leo mengembalikan kartu pengenal itu dan berjalan meninggalkan Johan sendiri.
Johan menyangka perkataannya sudah mampu meyakinkan pria muda di hadapannya tadi. Tapi kenapa dia pergi? Apa dia tidak percaya padanya? Apa dia benar-benar mengecek CCTV dulu? Johan tidak percaya ini! Kliennya sebentar lagi datang dan mapnya belum kembali!
Saat Johan masih sibuk dengan pemikirannya, Leo kembali datang membawa map kuning tersebut dan menyerahannya pada Johan.
"Maaf, Tuan. Aku harus menyembunyikannya dulu sebelum menyerahkan ini. Aku takut yang aku temui bukan pemilik PT. SBI."
Perkataan Leo sukses membuat Johan takjub. Pria muda ini mempunyai banyak cara untuk menjaga kepercayaanya. Baiklah, dia sangat membutuhkan sosok seperti ini.
"Masuklah, silahkan duduk!"
Johan mengajak Leo duduk di dalam ruangan VIP. Sela, sang sekretaris, tampak bingung dengan tamu dadakan ini tapi dia hanya terdiam.
"Siapa namamu?" tanya Johan.
"Leonardo Wijaya."
"Boleh aku memanggilmu Leo?"
Leo menjawab dengan anggukan.
"Apakah kau kuliah?"
"Tidak, Tuan. Saya kurang beruntung dalam hal itu."
"Sudah lulus SMA berapa lama?"
"Satu tahun, Tuan."
"Berapa rata-rata nilaimu?"
"8,7 Tuan."
"Orang tua?"
"Ibu saya meninggal sejak saya kelas 11. Ayah saya buruh pabrik."
"Berapa yang kau mau karena menyelamatkan berkasku?"
"Saya tidak meminta apa pun, Tuan. Siapa pun yang menemukannya akan melakukan hal yang sama."
Johan tersenyum. Leo sangat merendah. Dia yakin jika yang menemukan adalah orang berhati busuk, bisa saja berkas ini diserahkan pada pesaing bisnisnya atau meminta imbalan yang mencekik.
"Kalau begitu aku ingin menawarimu pekerjaan. Apa kau mau? Aku juga akan menguliahkanmu."
"Maksud Tuan?"
"Aku ingin membiayai kuliahmu dan memberimu pekerjaan di kantorku. Anggap saja ini ungkapan terima kasihku padamu. Apa kau tertarik? Tapi tentu saja kau tetap menjadi OB di sana."
Leo tentu saja terkejut. Keajaiban apa yang terjadi hari ini padanya? Mulutnya terbuka dan tertutup tanpa suara. Meski hanya sebagai OB di sana, tapi dia masih bisa kuliah secara gratis!!
Johan tertawa melihat reaksi Leo. Dia berdiri dan menepuk pundak Leo.
"Pikirkanlah baik-baik. Aku akan rapat sampai pukul dua siang. Aku akan menunggumu di sini sampai pukul tiga sore. Aku harap kau memberiku jawaban yang bagus."
Leo ikut berdiri dan berpamitan pada Johan. Dia meninggalkan ruangan itu dengan berbagai pertanyaan dalam hatinya. Tapi dia sangat tertarik dengan kata kuliah.
Senyum merekah di bibir Leo. Dia tidak sabar menunggu jam dua nanti untuk memberi jawaban pada Johan. Meski dia suka bekerja di hotel ini, tapi dia masih kekurangan biaya untuk kuliah. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik hanya mampu untuk membayar hutang dan cicilan. Sedangkan gaji Leo cukup untuk makan sehari-hari. Jauh dalam hatinya dia ingin kuliah.
Hari ini seluruh pekerjaan Leo bisa dikerjakannya dengan baik. Dia bahkan lebih banyak tersenyum, tidak seperti biasanya yang hanya dingin dan cuek.
Tepat pukul dua siang, Leo sudah menunggu Johan di luar private room. Dia sudah yakin untuk menerima kebaikan Johan. Dan akhirnya dipastikan satu bulan setelahnya Leo bekerja pada Johan dan pergi kuliah sore harinya.
Selama kuliah, Leo tetap bekerja sebagai OB di kantor Johan. Dan Leo khusus mmbersihkan lantai atas alias lantai para petinggi perusahaan. Setelah lulus kuliah, Johan mengangkatnya menjadi asisten pribadinya sampai sekarang.
Johan merasa Leo sangat cekatan. Dia bisa diandalkan. Pekerjaanya menjadi lebih mudah. Perusahaan yang dulu hanya mengolah sawit menjadi minyak, kini sudah merambah berbagai macam sektor.
Sebenarnya Johan sudah menyediakan paviliun di belakang rumahnya untuk Leo. Dia ingin berjaga-jaga seandainya pekerjaan menumpuk, Leo tidak perlu pulang malam-malam. Tapi sepertinya Leo sangat menyayangi ayahnya itu. Dia tidak ingin tinggal terpisah dengan ayahnya.
--
David, Diana, dan kedua orang tuanya kini telah duduk di ruang keluarga. Pelayan sudah menyuguhkan teh dan beberapa camilan.
"Jadi apa rencanamu setelah ini?" Johan bertanya pada Diana.
"Aku ingin mulai membantu papa. Terserah Papa ingin menempatkanku di mana. Tapi aku ingin dari bawah dulu, Pa."
"Kalau kau mau kau bisa memegang Luxinda." (anak perusahaan Johan di bidang kosmetik).
"Tidak apa-apa. Tapi jangan langsung
pegang atas ya, Pa."
Johan mengangguk mendengar penuturan Diana. Dia memang ingin anaknya merasakan segala tantangan bisnis dan menyelesaikannya sebelum benar-benar menjadi seorang CEO.
"Sudahlah, Pa. Anak baru pulang kok sudah diajak bicara perusahaan. Cari topik lain saja!" Rosa menyela obrolan.
"Haha, memangnya selama ini anakmu belajar untuk apa? Ya jelas untuk perusahaan, Ma." Johan tergelak mendengar perkataan istrinya. Rosa selalu keberatan jika obrolan di rumah terus berisi bisnis dan pekerjaan. Johan memahami itu. Maka dia tidak lagi meneruskan topik perusahaan.
Tiba-tiba suara ponsel terdengar. Ternyata itu milik David. David merogoh sakunya dan melihat nama Susan di sana.
"Babe, sebentar ya. Ini dari kantor."
Diana mengangguk.
David berdiri dan menerima panggilan di luar. Setelah beberapa saat, David kembali dan berpamitan.
"Maafkan aku, Babe. Susan menungguku untuk membicarakan berkas. Ini sudah jam 5. Mungkin aku akan lembur. Kita bertemu lagi besok, oke?"
"Iya, tidak apa-apa. Sampaikan salamku pada Susan. Aku akan menemui dia besok. Tolong jangan menghalangi sekretarismu bertemu denganku." Diana berkata dengan mode wajah dibuat galak.
David tertawa kecil. "Tentu, Babe. Bersenang-senanglah besok dengan Susan."
Lalu David mendatangi Johan.
"Pak Johan, saya pamit dulu. Susan sudah menunggu saya dengan berkas-berkas."
"Iya, baiklah. Segera selesaikan. Aku besok juga akan memikirkan besaran bonus untuk semua. Bulan depan waktunya pencairan bonus."
David menyalami Johan dan Rosa bergantian. "Aku pamit, Aunty."
"Iya, David. Berhati-hatilah di jalan."
Diana mengantar David sampai pintu depan. David memeluk Diana sebentar lalu mencium keningnya.
"Aku masih merindukanmu. Bagaimana kalau makan malam untuk besok?"
Diana memejamkan mata menerima ciuman sayang di keningnya.
"Aku juga merindukanmu. Baiklah, kita makan malam besok."
"Restoran biasa?"
"Ya, restoran biasa. Kita langsung ketemu di sana saja. Jangan menjemputku."
"Kenapa?"
"It's a surprise, Babe. Sudah berangkat sana." Diana mencuri cium di pipi David.
David tersenyum. "Aku menunggu kejutan darimu, Babe."
David sekali lagi memeluk Diana lalu berjalan dan masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Susan di kantor sudah menunggu David.