Part 2.

1375 Words
Tiga hari setelah pembicaraan Adam dengan orangtuanya, Adam menyampaikan kalau orangtuanya akan datang ke kota mereka dalam waktu satu minggu. Saat ibu Sena bertanya apa yang harus ia siapkan untuk keluarga Adam—makanan apa yang disukai keluarga Adam—Adam mengatakan kalau orangtua Sena tidak perlu repot-repot memikirkan itu karena Adam sudah berencana untuk mempertemukan keduanya di luar rumah sambil menikmati liburan kecil dan sederhana. Awalnya ibu Sena keberatan. Dia bilang dia ingin menunjukkan kelihaiannya memasak pada keluarga Adam. Namun Sena tahu, Adam tidak ingin ibu Sena kerepotan dan nantinya kewalahan. Dan Luthfi yang juga memahami hal itu akhirnya membujuk ibunya untuk mau menerima niatan Adam. Hari H pun kemudian datang. Sekalipun Adam meminta Sena untuk bersikap biasa, Sena rupanya tidak bisa seperti itu. Dia gugup. Rasa takut ditolak oleh keluarga Adam membuatnya dilanda cemas. Adam menenangkannya, mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Keluarganya akan menerima Sena apa adanya. Dan ucapan pria itu terbukti. Orangtua Adam memang sangat menerimanya dan mereka juga bisa berhubungan baik dengan keluarga Sena. "Saya dan istri, datang kesini dengan maksud untuk meminang putri Bapak dan Ibu untuk putra saya, Adam." Ucap ayah Adam setelah mereka selesai makan malam. Hal itu sudah diduga sebelumnya karena sempat menjadi perbincangan antara Sena dan keluarga. Namun Sena tidak menduga akan mendengarnya kala itu juga. Dalam artian, ia pikir kalimat lamaran itu akan datang nanti, setelah ada perundingan tentang syukuran tunangan atau apapun itu yang umum dilakukan orang-orang. "Putra saya sudah tidak muda lagi, dan sepertinya dia sudah ngebet mau nikah Pak, Bu." Gurau ayahnya lagi yang dijawab kekehan orangtua Sena. Faktanya, Adam itu tidak tua. Dibandingkan kakaknya, Adam justru lebih muda karena usianya baru menginjak dua puluh empat dan kakaknya sudah dua puluh lima. "Bener kamu mau sama Sena, Dam?" Tanya ayah Sena langsung kepada Adam. "Iya, Pak." Jawab Adam tanpa ragu. "Kamu tahu kan kalau Sena ini masih kuliah?" Tanya ayah Sena lagi. Adam kembali menganggukkan kepala. "Apa kamu tahu cita-cita Sena setelah kuliah?" Lanjutnya yang lagi-lagi dijawab Adam dengan anggukkan kepala. "Adam tidak akan melarang Sena untuk bekerja setelah menikah nanti, kalau memang itu yang dia inginkan. Adam tidak akan membatasi Sena supaya dia tinggal di rumah dan cukup menjadi ibu rumah tangga. Adam juga tidak akan membiarkan Sena menyia-nyiakan perjuangannya untuk kuliah dan juga perjuangan Bapak yang sudah membiayainya. Adam justru akan mendukungnya." Ucap Adam dengan tegas. Ayah Sena menganggukkan kepala sebelum kemudian beralih memandang Sena. Sena hanya bisa tertunduk tanpa berani memandang siapapun yang ada disana. "Coba bilang alasan kamu mau menikahi Sena?" Tanya ayah Sena lagi. "Apa kamu mau menikahi Sena karena kamu mau diurus seseorang, atau bagaimana?" Sena sedikit mendongakkan kepala, memandang Ayahnya karena mengajukan pertanyaan yang menurut Sena ambigu di telinganya. Ia lantas memandang Adam dan melihat pria itu menggelengkan kepala. "Saya mau menikahi Sena karena pertama saya sayang Sena dan saya tidak mau Sena jatuh ke tangan pria lain." ucapan itu membuat Sena merona dan membuat para pria berdehem sementara para ibu terkekeh geli. Tidak menyangka kalau Adam bisa mengatakan hal manis seperti itu. "Tapi alasan utamanya saya menikahi Sena karena saya ingin menjadikan dia halal untuk saya, Pak." Lanjutnya dengan nada tegas. "Saya tidak butuh istri untuk mengurus saya, karena sampai sejauh ini, saya tinggal jauh dengan orangtua saya dan saya bisa mengurus diri saya sendiri dengan baik." Jawab Adam yang diberikan anggukan oleh ayah Sena dan juga usapan punggung dari ibu Adam sendiri. "Sena tidak berkewajiban mengurus saya karena dia bukan ibu saya. Saya membutuhkan partner dalam hidup, dan saya merasa yakin kalau sosok yang tepat adalah Sena." Lanjutnya lagi yang membuat wajah Sena semakin merona. "Kamu denger itu kan, Na?" ucap ayahnya dan Sena hanya bisa menganggukkan kepala malu. "Jadi, kamu mau jadi partner hidupnya Adam?" tanya ayahnya lagi. Sena mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya pada Adam. Dan tanpa ragu, ia pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Iya, Pak. Sena mau." Jawabnya lirih yang kemudian ditanggapi dengan penuh syukur oleh anggota keluarganya yang lain. Mereka pulang dengan perasaan lega. Ayah Sena rupanya bisa berkawan baik dengan ayah Adam dan begitu juga dengan ibu Sena dan ibu Adam. Rasanya, bagi Sena semua itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak perlu mengkhawatirkan perselisihan antar besan seperti yang ia lihat dalam drama-drama. Keputusan lain yang diambil saat itu adalah, Adam belum bisa menikahi Sena sebelum Sena lulus kuliah. Ayah Sena bukannya ingin memberatkan Adam, hanya saja ia tidak mau pikiran Sena terbagi antara kuliah dan urusan rumah tangga. Dan Adam, pria itu tidak keberatan sama sekali karena menurutnya, waktu satu tahun untuk menunggu tidaklah terlalu lama terlebih waktu satu tahun itu bisa ia gunakan untuk menabung supaya mereka bisa memiliki hunian sendiri setelah menikah. Bagi Sena. Malam itu adalah malam yang indah. Masa depannya seolah menantinya dengan cerah. Ia hanya perlu menjalani hari-harinya dengan melakukan yang terbaik. Kuliah dan mempersiapkan skripsinya dengan cepat dan bersiap untuk menjadi istri dari seorang Adam. Nikmat mana lagi yang harus Sena dustakan. Ia sudah merasakan semua kenyamanan yang mungkin bisa membuat orang-orang iri padanya. Orangtua dan juga kakak yang sangat mencintainya. Kekasih yang sabar dan siap menjadikannya pendamping hidupnya. Calon mertua yang sangat baik dan perhatian. Maka nikmat mana lagi yang ia dustakan setelah semua kesempurnaan hidup ini ia dapatkan? Setahun kemudian berlalu. Kerja keras Sena di bangku kuliahnya sudah hampir usai. Hanya tinggal satu langkah lagi, wisuda, maka ia akan mendapatkan dua gelar. Satu sebagai sarjana dan satu sebagai istri. Ya, Sena sudah bersiap untuk menjadi seorang istri. Dan ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya itu. Sena menundukkan kepala, memandang dua buah kertas yang ada di tangannya. Satu adalah undangan wisudanya yang akan berlangsung dalam waktu tiga hari, dan satu adalah undangan pernikahannya. "Anandya Sena Zaffar, SE dengan Adam Mohammad Ibrahim, SE" adalah huruf yang paling besar yang mengisi undangan berwarna pastel yang indah itu. Meskipun Sena belum resmi menyandang gelar, namun saat pernikahannya berlangsung dua minggu lagi, gelar itu sudah akan disematkan padanya. Sena tersenyum sendiri saat membacanya. Namanya dan nama Adam bersanding dengan indah diikuti dengan nama kedua orangtuanya dan orangtua Adam yang tertera dibagian paling bawah undangan. Dengan perasaan membuncah, Sena memeluk kertas-kertas itu dan tersenyum bahagia. Dua pekan lagi, ia akan sah menjadi istri dari Adam Mohammad Ibrahim. Satu-satunya pria yang paling di cintainya di muka bumi ini setelah ayah dan kakak satu-satunya. "Bukannya seharunya Abang dapet hadiah ya?" goda kakaknya saat mereka sedang memasangkan label nama tamu di luar plastik undangan. Sena mendongak dan mendelik kepada kakaknya. "Apa?" tanya abangnya pura-pura bodoh. "Kan Abang dilangkahi, mestinya kan menurut adat, kalo adik melangkahi kakaknya, kakaknya mesti dapat uang pangbubungah—kompensasi sebagai ganti dilangkahi menurut adat sunda—tapi kok Abang ga dapet sih, itu namanya ga adil." Protesnya lagi. "Oh, jadi Abang pamrih?" tanya Sena dengan tatapan menuduh. "Atau jangan-jangan maksudnya Abang deket-deketin Sena sama Mas Adam itu karena ini?" Tanya Sena dengan curiga. Kakaknya itu hanya mengedikkan bahu. "Ya, semuanya kan sah dalam cinta dan perang. Abang juga harus dapat getahnya. Gitu kan, Bu?" ia menoleh ke arah ibunya. Bukannya mendapat dukungan, Luthfi malah mendapatkan cubitan di bahunya yang membuatnya mengaduh. "Jangan ngaco kalo ngomong!" pelotot ibunya. "Yah, Bu. Kan ini kesempatan Abang buat minta sesuatu sama Adam." Ucap kakaknya dengan nada memelas seraya mengusap lengannya pelan. "Emangnya Abang mau minta apa sama Mas Adam?" Sena kembali memandang kakaknya dengan curiga. "Ya, apa ajalah. Mobil kek, rumah kek, atau tiket jalan-jalan ke luar negeri kek." Ucapan kakaknya itu yang dijawab Sena dengan lemparan sisa gulungan plastik sampah. "Emangnya Abang pikir, Adam itu gudang uang!" pekik Sena kesal. "Emang." Jawab Luthfi sekenanya. "Dia itu gudang uang Na. Kamu lupa kalau dia itu anak satu-satunya dan bapaknya itu juragan mebel di Surabaya sana? Uangnya itu banyak, kalo bapaknya meninggal, warisannya itu otomatis akan jatuh sama dia." "Hush!" ibunya memperingatkan. "Kamu kalau ngomong, jangan asal." Perintahnya yang membuat Luthfi seketika terdiam. Sena kembali melempar gulungan sampah plastik pada kakaknya, kali ini kena di keningnya. "Rasain." Ucap Sena seraya kembali melakukan pekerjaannya. Ia tahu kakaknya itu hanya menggodanya. Ia sangat tahu bahwa Luthfi adalah orang yang sangat mendukung pernikahannya dengan Adam, meskipun sebagian saudaranya, dan juga teman-temannya mempertanyakan alasannya untuk menikah muda. Sena pernah bertanya pada Abangnya, kenapa Abangnya mengijinkan Sena bersama Adam. Kakaknya malah menjawab "Bajingan bisa menilai sesama bajingan." Yang justru terdengar ambigu di telinga Sena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD