Part 3.

1333 Words
Sena tengah berbaring di tempat tidurnya dan memandangi langit-langit kamar. Ia baru saja kembali dari pertemuannya dengan teman-teman SMA nya untuk menyebar undangan pernikahannya dengan Adam. Tadi, saat ia pergi, mood nya benar-benar dalam keadaan baik, tapi sekarang? Sena kembali mengingat alasan kenapa mood nya berubah memburuk. Itu karena pertanyaan yang diajukan salah satu temannya. "Kenapa kamu buru-buru nikah?" Tanya salah satu teman Sena ingin tahu. "Kenapa harus lambat-lambat, kan calonnya udah ada." Jawab Haira mewakili jawaban Sena. "Iya, tapi kenapa buru-buru. Maksudnya, kamu baru aja lulus kuliah. Emang kamu gak mau kerja dulu atau gimana gitu? Kan sayang itu ilmu sama biaya kuliah yang udah keluar selama ini. Kalo ujung-ujungnya mau nikah, kenapa gak habis tamat SMA aja kamu nikahnya." Mendengat pertanyaan itu, Sena seketika merasa kesal dan ingin marah. Sena tahu kalau temannya itu menyayangkan keputusannya untuk menikah setelah perjuangannya kuliah. Ibarat kata, kalau memang ujung-ujungnya menikah, kenapa harus kuliah. Kenapa harus menyia-nyiakan biaya, tenaga dan pikiran kalau pada akhirnya mereka akan berakhir menjadi ibu rumah tangga saja. Tanggapan sebagian besar orang, kalau wanita kuliah mereka harus menjadi wanita karir dan berpenghasilan tinggi. Bukan menjadi wanita yang berakhir mengenakan apron, memasak di dapur, mengurus anak dan membersihkan rumah. "Kerja atau enggak, itu urusan belakangan." Jawab Sena pada akhirnya. "Mas Adam udah janji kalau dia gak akan pernah membatasi aku untuk melakukan apapun yang aku suka. Dan aku percaya sama dia." Jawab Sena yakin. Temannya itu mengibaskan tangannya di depan muka. "Alah, semua laki-laki sama. Mereka Cuma bisa janji-janji aja. "Kamu lupa sama Listia? Dia kan dulu dijanjiin bakal dikuliahin sama suami dan bapak mertuanya. Tapi ujung-ujungnya, dia tetep aja jadi pengurus rumah. Penampilannya sekarang malah lebih lusuh dari asisten rumah tangga. Padahal dia kan anak yang pinter kalo dibandingkan sama kita." Sena mengenal Listia, meskipun tidak dekat karena dulu waktu SMA Listia itu berbeda jurusan dengannya. Namun faktanya, Listia memang anak yang pintar. Dia bahkan bersekolah dengan jalur beasiswa prestasi dan menjadi juara umum kala itu. Dan Sena tidak menyangka kalau nasib gadis terpintar seangkatannya itu menjadi seperti apa yang temannya itu katakan. "Suami itu, awalnya perlakukan istri layaknya ratu. Habis itu perlahan, mereka jadi biasa aja karena rasa menggebu itu perlahan juga hilang dan jadi biasa. Trus, kalo nanti kamu hamil, mereka pasti akan minta kamu fokus aja sama kehamilan kamu dan setelah anaknya lahir, kamu diminta fokus untuk ngurus anak. Begitu deh sampai akhirnya kesempatan kamu buat berkembang sirna dimakan kesibukan." Sena menatap Haira. Dan sahabatnya itu juga balik menatap Sena dengan ekspresi yang bisa Sena baca 'ragu'. Sena tahu temannya itu baik. Secara tidak langsung temannya itu ingin memberitahukan pada Sena kalau kehidupan rumah tangga itu tidak selalu indah dan mudah. Belenggu ikatan pernikahan itu ada meskipun tak terlihat nyata. Menurutnya, setelah pernikahan, wanita akan diwajibkan untuk melakukan semua hakikat seorang istri dan ibu sehingga nantinya iatidak akan punya waktu untuk dunia luar. Dan sebelum Sena menyesal karena tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilewati saat muda, temannya itu ingin Sena berpikir balik. Namun apa yang harus disesalkan oleh Sena nantinya? Toh pada akhirnya setiap wanita akan menemukan pasangannya dan menikah. Dan hal itu saat ini sudah Sena miliki. Ia sudah menemukan Adam sebagai belahan jiwanya. Dan selanjutnya, ia akan memiliki anak sebagai hasil cinta mereka berdua. Ia yakin, ia tidak akan menyesali keputusannya untuk menikah muda. Sekalipun nanti ia tidak akan menggunakan gelarnya untuk bekerja, tapi ia bisa menggunakan ilmunya untuk bisa mendidik anaknya, bukan begitu? Ya. Sena tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak ada satu pun manusia yang tidak merasa menyesal di masa depan karena mengambil keputusan yang dianggap salah di masa kini. Namun Sena tak ingin memikirkannya lebih jauh lagi. Dia lebih memilih untuk menikmati saja masa-masa kini. Melakukan segalanya dengan sebaik mungkin. Karena ia tahu, hal baik yang dilakukannya akan menghasilkan kebaikan pula. Sementara takdir kedepannya, itu urusan Tuhan dan catatan takdirnya. Sena keluar dari kamarnya, berniat untuk mencari makanan karena perutnya yang tadi sudah diisi mendadak kembali lapar. Disana, di dapur dia menemukan kakaknya yang juga tengah memasukan camilan ke dalam mulutnya. "Bang, boleh nanya sesuatu?" Tanya Sena seraya duduk di depan kakaknya di meja makan. "Nanya aja, biasanya juga langsung." Ucap kakanya dengan ekspresi tak acuh. "Kenapa Abang belum nikah?" pertanyaan itu sontak membuat kakaknya tersedak. Ia meraih gelas berisi air putih di dekatnya dan memberikannya kepada kakaknya yang terbatuk. "Kenapa tiba-tiba nanya begitu?" kakaknya balik bertanya dengan ekspresi kesal karena Sena sudah menyebabkan tenggorokannya sakit. Sena mengedikkan bahu. "Cuma mau tahu aja." Jawabnya santai. "Abang kan udah cukup umur, udah lebih tua dari Mas Adam, dan udah punya gebetan pula. Kenapa Abang ga nembak dia trus Abang ajakin nikah?" tanyanya lagi. Sena ingat perbincangannya dengan Adam. Ia pernah bertanya pada Adam apakah di kantor mereka ada seseorang yang ditaksir oleh kakaknya. Dan Adam mengatakan kalau dia sempat memperhatikan Luthfi mencuri-curi pandang pada seorang gadis, namun ia tidak yakin apakah Luthfi menyukainya atau tidak. "Darimana kamu tahu Abang punya gebetan?" tanya Luthfi dengan sorot curiga. Sena kembali mengedikkan bahu. "Abang normal kan? Abang suka sama cewek kan?" Tanya Sena yang kembali dijawab kakaknya dengan pelototan. "Adikku, Anandya Sena Zaffar, yang cantik, manis, imut, baik hati dan sedikit sombong juga tidak bisa menabung." Ucap kakaknya dengan nada meledek. "Menikah, buat laki-laki itu bukan perkara mudah. Hanya karena suka, punya gebetan trus tiba-tiba gitu aja ngajakin dia nikah. Kamu tahu kenapa?" Tanyanya yang dijawab Sena dengan gelengan kepala. "Karena segalanya butuh persiapan dan dipersiapkan." "Apalagi yang mesti Abang siapkan?" tanya Sena bingung. "Abang udah mapan. Rumah ada, mobil ada, tabungan ada. Masa depan istri Abang pasti bakal terjamin. Lalu apalagi?" Luthfi mengacak kerudung adiknya gemas. "Hidup itu tidak selalu tentang kemapanan hidup, Sayang." Ucapnya dengan nada lebih lembut. "Abang itu laki-laki. Tanggung jawab Abang untuk calon istri dan anak-anak Abang jauh lebih besar. Kalau kamu diwajibkan untuk mematuhi suami dengan menjaga diri, Abang diwajibkan untuk membimbing istri dan anak Abang untuk menjaga diri mereka. Sementara Abang sendiri belum yakin bahwa Abang itu pantas. Mengerti?" goda Abangnya lagi. "Abang bukan orang soleh yang memiliki prinsip menikah karena Allah, atau cintai pasangan karena Allah. Abang belum se-soleh itu. "Hanya saja Abang merasa kalau, jika Abang sudah siap membimbing istri dan calon anak Abang. Jika Abang sudah bisa memperbaiki kelakuan Abang sendiri, jika" ucapnya dengan penuh penekanan. "Ada seseorang yang bersedia menerima Abang dengan segala kekurangan Abang dan bersedia untuk belajar bersama Abang untuk semakin mengenal Allah. Maka mungkin, itulah saatnya." "Jadi sekarang belum saat yang tepat?" tanya Sena lagi. Kakaknya menjawab dengan mengangkat bahu. "Menurut Abang, ini belum saat yang tepat untuk Abang. Mungkin jodoh Abang sedang memperbaiki dirinya di suatu tempat, seperti halnya Abang. Atau mungkin saat ini kami sedang mencari dalam doa. Hanya saja, perlu kamu yakini, kalau Allah tidak tidur. "Ia akan memberikan segala sesuatunya pada saat yang tepat, pada saat makhluk itu membutuhkannya, bukan menginginkannya. Kamu tahu tentang firman itu kan? "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai seusatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." "Terus menurut Abang, Adam udah siap? Dia sudah pantas untuk menjadi suami? Imam yang baik buat Sena?" tanyanya ingin tahu pendapat kakaknya. Kakaknya mengangkat bahu. "Setiap orang punya prinsip hidup yang berbeda. Kayak kamu dan Haira. Meskipun kalian sama-sama cewek, tapi kalian punya pemikiran dan keinginan yang berbeda. Begitu juga Adam dan Abang. "Bagi Abang menikah adalah satu hal, bagi Adam? Dia yakin bahwa dia siap menikah sama kamu, karena itu dia melamar kamu. Alasan sebenarnya ya cuma Adam yang tahu." Sena merenungkan apa yang dikatakan kakaknya. Ia memang tidak pernah bertanya pada calon suaminya, selain yang pernah ia dengar dari percakapan saat lamaran dulu, ia tidak pernah bertanya lagi secara intens pada Adam. Namun Sena percaya pada Adam. Pria itu tidak akan melanggar janjinya. Apapun keputusan yang akan diambil setelah mereka menikah kelak, Sena akan pastikan kalau keputusan itu adalah hasil keputusan bersama. Bukan keputusan sepihak. Keputusan yang akan diambil untuk menguntungkan keduanya, bukan salah satu pihak saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD