Part 8

1045 Words
Haira melihat berkeliling, mencari wajah sepupunya—yang juga merupakan kakak angkatnya. Sejujurnya ia ragu apakah ia masih akan mengenalinya atau tidak. Sudah lebih dari delapan tahun mereka tidak bertemu semenjak sepupunya itu memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia. Dan memang sudah selama itu juga mereka tidak sering berkomunikasi. Bara selalu saja memiliki alasan untuk membatasi komunikasi. Entah itu pria itu sibuk, atau karena waktu mereka yang berbeda membuat mereka tidak bisa berkomunisai dengan intens. Dari kejauhan ia melihat seorang pria mengenakan kaos polo berwarna putih berlengan pendek dengan dengan celana cargo selutut serta kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Wajahnya yang dulu klimis sudah berganti dengan brewok dan kumis tipis. Ia tampak lebih matang dibandingkan dengan yang terakhir Haira kenal. Lebih dewasa, mengingat kini usianya sudah tiga puluh satu tahun. “Assalamualaikum.” Sapanya saat sudah dekat. Barra memandang ke arah Haira dengan dahi berkerut sebelum melepas kacamatanya saat menyadari siapa sosok yang sedang mengucapkan salam padanya itu. Tentu saja, masa delapan tahun tidak akan membuat Haira terlihat sama saja kan? Haira mengulurkan tangan pada pria itu dan Bara langsung mengulurkan tangannya, lantas Haira mencium punggung tangan pria itu dengan sopan. “Waalaikumsalam.” Jawab pria itu pelan seraya mengusap kepala Haira dengan lembut. “Maaf Ira telat, tadi ada sedikit masalah.” Jawab Haira dengan penuh penyesalan. Bara tersenyum dan mempersilahkan Haira untuk duduk di kursi kosong yang ada di hadapannya. Saat itulah Bara sadar kalau Haira tidak sendirian. Ada anak perempuan kecil yang berdiri di belakang Haira, bersembunyi dengan sebelah tangan mencengkeram erat rok Haira. “Sayang, ayo salim sama Om.” Perintah Haira halus. Namun gadis itu malah semakin menyembunyikan dirinya. Bara terkekeh geli, ia menekukkan lutut dan berjongkok di hadapan anak itu. Mencoba mengintip gadis kecil itu dengan jahil. Gadis itu tersentak dan bersembunyi di sisi lain tubuh Haira yang membuat Bara kembali terkekeh. Rasanya, Bara mengenal gadis itu. Kalau tidak salah, dia gadis yang tadi dipanggil-panggil oleh wanita bertubuh kecil berhijab itu kan? “Siapa Namanya?” Tanya Bara kemudian. “Hanna, Om ini ga jahat. Memang wajahnya nyeremin, tapi ga jahat kok.” Bujuk Haira mencoba melepas pegangan erat Hanna di rok nya. “Om mau beliin Hanna eskrim lho.” Ucapnya lagi saat pegangan Hanna tidak juga melonggar. Mendengar kata “Eskrim” seolah menjadi jimat tersendiri bagi si anak. Ia melepaskan pegangannya dari rok Haira dan mulai berdiri di samping Haira. Meskipun belum berani memandang wajah Bara. Bara hanya bisa tersenyum geli. “Hanna mau om beliin eskrim apa?” Bara berusaha supaya anak itu lebih menerima keberadaannya. Anak itu mendongak dengan malu-malu sebelum menjawab “Coklat” dengan suara yang sangat kecil. “Oke, om belikan eskrim coklat buat Hanna.” Jawab Bara yang kini menjadi lebih antusias. Mereka duduk di meja yang sudah dari tadi Bara tempati dan memesan makanan. Membiarkan Hanna dengan eskrimnya, pembicaraan basa basi mengenai kehidupan Bara selama tinggal di luar negeri dan juga mengenai kabar ayah dan ibunya beserta oma. Mereka juga membicarakan masa lalu dan hal-hal yang terjadi selama Bara tidak ada disana. Sampai kemudian pembicaraan mereka beralih menjadi tentang Hanna. “Dia anak sahabat aku. Ibunya Namanya Sena. Waktu aku ajak dia ke rumah waktu itu Abang lagi sibuk-sibuknya skripsi kalo ga salah.” Jelas Haira dengan suara yang lebih pelan. “Aku dan Sena join bisnis. Belum terlalu besar, tapi penghasilannya udah cukuplah untuk biaya kami bertiga.” “Bertiga?” Tanya Bara dengan bingung. “Iya, bertiga. Aku, Sena dan Hanna.” Haira kembali mengelap eskrim yang meleleh di wajah Hanna. “Ayahnya?” Tanya Bara mengarahkan pandangannya pada anak kecil yang lahap memakan eskrim sambil menonton kartun di handphone. “Ayahnya sudah meninggal.” Ucap Haira seraya mengusap kepala kecil yang berambut tebal itu dengan sayang. “Sena ibu tunggal. Ayah Rafka meninggal dalam kecelakaan saat dia dalam perjalanan pulang untuk menyelenggarakan aqiqah Hanna. “Miris memang, menjadi janda di usia muda. Tapi Sena itu orangnya kuat. Butuh waktu cukup lama sampai Sena, ibunya bisa kembali menjadi normal. “Sudah dua tahun kami menjalankan bisnis ini bersama. Dan Alhamdulillah, respon masyarakat baik. Perlahan usaha kami sudah mulai diminati. “Sekarang saja kami sedang mengerjakan tiga ribu pcs souvenir untuk acara pernikahan.” Ucap Haira dengan nada bangga. Sebelumnya Haira sudah menjelaskan bahwa ia memiliki sebuah toko bersama yang bergerak di bidang kerajinan tangan dan jahit. Namun ia belum menjelaskan secara rinci siapa rekanannya. Baru kali ini ia tahu bahwa rekanan adiknya itu adalah janda muda. Rupanya, gadis mungil tadi ternyata sudah tidak memiliki suami. Bara turut merasa kasihan pada wanita itu. Ia memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ayah tunggal yang membesarkan seorang anak sendirian. Namun ia pernah merasakan bagaimana tidak memiliki orangtua, hingga mungkin sedikit banyak ia bisa mengerti apa yang Hanna rasakan saat gadis itu besar kelak. “Alhamdulillah kalau begitu.” Ucap Bara dengan tulus. “Semoga kamu tumbuh jadi anak yang soleh ya, Hanna. Jangan kayak Om.” Ucapnya diakhiri dengan senyuman sinis. “Memangnya Abang kenapa?” Tanya Haira pura-pura tak tahu. Bara hanya mengedikkan bahu. Ia tidak terlalu suka membicarakan dirinya sendiri. Ia hanya menatap adiknya dan tersenyum. “Apa Abang ada rencana untuk tinggal?” tanyanya penasaran. Bara terdiam. “Yang jelas Abang belum punya rencana untuk berangkat lagi. Abang juga belum memutuskan untuk memperpanjang kontrak Abang. Untuk sementara Abang mau tinggal dulu disini.” Jelasnya singkat. “Dimana Abang tinggal sekarang?” tanyanya ingin tahu. “Abang tinggal dulu di hotel sementara waktu. Kamu mau bantuin Abang nyari kontrakan?” Haira mengerutkan dahi. “Kenapa? Ga mau?” goda Bara lagi. “Bukan gitu. Kenapa harus nyari kontrakan. Emang Abang ga kangen sama Mama? Tinggal sama Mama, Ayah, Oma sama Haira juga?” tanyanya ingin tahu, kesedihan tampak di wajah kakaknya. “Atau Abang bisa nempatin rumah Oma. Rumah Oma udah kosong lama. Oma juga ga ada niatan buat ngontrakin rumahnya. Kan sayang.” Sarannya halus. “Engga ah. Kalo serumah sama Mama malah nantinya Abang ga bebas.” “Kalo di rumah Oma?” “Katanya udah lama kosong, kalo ada hantunya gimana?” Haira hanya menjawanya dengan cibiran. “Wajah aja penuh bulu kayak mafia Italia, tapi kok takut sama setan. Yang ada juga setannya takut sama abang.” Ledek Haira lagi. Bara hanya tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD