Part 7

1163 Words
3 Tahun Kemudian “Hanna!” Pekikan lantang itu membuat semua orang-orang dalam radius lima puluh meter menoleh. Dengan kepala tertunduk malu dan wajah memerah Sena mendekati anaknya yang berdiri mematung dengan mimik bersalah. “Mama udah capek, Sayang. Berhenti lari-lariannya.” Ucapnya saat ia sudah berada dekat dengan sang buah hati. “Tadi Hanna udah janji sama Mama ga akan lari-lari kan?” Wajah cemberut anak kecil itu membuat Sena ingin menciumnya karena gemas. Namun saat ini ia sedang mendisiplinkan anak itu, sehingga ia hanya bisa menahan diri. “Apa yang tadi Hanna janjikan sama Mama?” “Hanna ga boleh nakal.” Jawab anak itu masih dengan wajah cemberut. “Tapi Mama, Hanna mau esklim.” Tunjuknya ke arah minimarket di area Mall tersebut. “Iya, Hanna boleh minta eskrim. Tapi kan bisa bilang Mama, jangan pake lari-lari dari Mama.” Ucapnya lagi dengan lembut seraya berjongkok di hadapan sang anak. “Tante Haira udah nungguin Hanna di dalem, nanti kita beli eskrim nya sambil pulang ya, Sayang?” bujuknya dengan lembut. Ia masih belum bisa menghilangkan cemberut di wajah anak itu. “Mau Mama kasih dua?” tanyanya seraya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan wajah anak itu. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Ia menganggukkan kepala dengan antusias dan kemudian meraih tangan ibunya dan mengikuti ibunya. “Hanna anak solehah kan?” Tanya Sena seraya menuntun anak itu kembali masuk ke arah pertokoan. “Iya, Hanna anak soleh.” Jawab anak itu dengan lugu. “Kaka sayang Mama?” Tanyanya lagi mengarahkan pandangannya kebawah. Anak itu mengangguk. “Kalau sayang Mama, Hanna harus apa?” “Nulut.” Jawab anak itu dengan lantang. Sena tersenyum senang. *** Sementara di sisi lain, seorang pria mengerutkan keningnya tampak berpikir. Ia menoleh ketika seseorang meneriakkan nama yang amat dikenalnya dengan lantang. Ia pikir, ia juga akan menemukan sosok yang ia kenal. Namun alih-alih menemukan sosok wanita dewasa, ia malah menemukan sosok gadis kecil yang sedang dituntun ibunya. Dialah Bara Rafka Sobiyanto. Pria yang sedang duduk termenung dan menikmati pemandangan yang perhatiannya terusik karena sebuah nama yang ia pikir tidak akan ia ingat kembali. Bara memperhatikan sosok wanita mungil berkerudung sedang berjalan mendekati seorang anak perempuan lucu yang memiliki nama yang sama dengan nama yang ingin ia lupakan. Jika wanita yang ingin ia lupakan itu adalah wanita dewasa dengan tubuh molek yang mungkin banyak diinginkan kaum pria, maka Hanna yang dipanggil itu bertubuh kecil ramping dengan rambut ikal menggantung yang Barra pikir mungkin berusia tiga atau empat tahun. Sebenarnya Bara tidak terlalu pandai mengenai anak-anak. Namun entah kenapa ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kedua orang itu. Ia tidak tahu apa yang mereka perbincangkan karena jarak antara tempat duduknya dan kedua orang itu cukup jauh. Hanya saja ia menyukai bagaimana keduanya berinteraksi. Si ibu tampak sedang mendisiplinkan si anak, karena dari raut wajahnya Bara bisa bahwa si ibu mencoba menahan tawa saat melihat si anak merengut dengan kesal. Entah apa yang mereka bahas atau apa yang membuat si ibu menegur si anak yang jelas si ibu berjongkok di depan si anak dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang mungil. Mungkin jika dibandingkan tangan wanita itu akan menjadi setengah dari tangan Bara sendiri. Ia melihat si anak menganggukkan kepalanya dan kemudian tersenyum sebelum akhirnya merangkul leher ibunya. Ibunya mengecup wajah sang anak dengan sayang berkali-kali sampai si anak geli. Mungkin bagi mereka itu hal yang biasa. Dan memang itu biasa dilakukan oleh ibu dan anak yang penuh cinta. Tapi bagi Bara, itu hal yang langka. Bahkan ia tidak tahu apa di masa kecilnya ia merasakan hal yang sama. Begitu di cintai? Ia tidak tahu. Pasangan ibu dan anak itu berjalan kembali ke arah pertokoan dengan tangan saling menggenggam. Sesekali si ibu mengayunkan tangan sang anak dan berbicara sambil tersenyum. Hati Bara merasakan iri pada si anak. Tapi ia adalah laki-laki dewasa, tidak sepantasnya ia merasa demikian. *** “Sorry,” ucap Sena kepada sahabatnya yang sedang memainkan ponsel di dalam toko. “It’s okay.” Jawab Haira dengan santai. “Kamu kabur kemana, Cantik?” tanyanya mencubit pipi Hanna dengan gemas. “Hanna, Ateu. Bukan Cantik.” Elak anak itu. Membuat kedua wanita dewasa itu tertawa. “Iya, Hanna…” jawab Haira mengalah, memutar kedua bola matanya. “Hanna lari kemana barusan? Mama marah?” tanyanya menggoda. Anak itu menggelengkan kepala. “Mama baik, Hanna yang nakal.” Jawab anak itu dengan jujur. “Hanna ga nakal, Sayang. Hanna baik.” Jawab ibunya dengan lembut. “Tapi lain kali, jangan lari lagi kaya tadi ya.” Pinta Sena dengan lembut. Anak itu mengangguk. Sena tahu bahwa sekian menit kemudian anak itu akan melupakan janjinya. Namun ia selalu diingatkan, bahwa mendidik tidak harus sekali jadi. Melainkan dengan membimbingnya perlahan. Sena mendudukkan Hanna di kursi di belakang meja kasir sebelum memandang sahabatnya. “Jadi ketemuan?” tanyanya melihat Haira yang masih diam disana, belum beranjak. “Jadi.” Ucapnya dengan nada kurang antusias. “Apa mendingan gue bawa Hanna?” “Kenapa?” Tanya Sena ingin tahu. “Ga kenapa-napa. Takutnya dia nanti gangguin lo kerja. Biar gue bawa aja. Sekalian kenalan sama sepupu gue.” “Ga bakal nyaman kali, Ra. Lo dah lama ga ketemu sepupu lo, masa mau bawa anak.” “Gapapa lah, daripada si Hanna bengong disini ngeliatin lo. Udah kenyang dia di rumah sama lo, masa disini juga.” Jawab Haira sekenanya. Ia memandang bocah yang sedang duduk diam di kursi. “Hanna mau ikut Ateu?” tanyanya memandang bocah cantik itu. Hanna memandang ibunya dan Haira bergantian. “Nanti Ateu beliin eksrim.” Bujuknya lagi. Ia tahu kalau Hanna sangat dekat dengan ibunya dan sulit sekali membujuknya kalau ibunya ada bersamanya. “Hanna mau ikut tante Haira?” giliran ibunya yang bertanya. “Tante mau beliin Hanna eskrim. Mau?” tanyanya lagi, dengan sedikit membujuk. Anak itu memandang Haira dan Sena beberapa kali, sepertinya dia sedang berpikir dengan caranya sendiri, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. “Jangan nakal ya.” Perintah Sena dengan halus. “Jangan pergi dari tante.” Lanjutnya lagi. Anak itu mengangguk pelan sebelum meminta bantuan untuk turun dari kursi. “Mama mau Hanna beliin?” Tanya anak itu sebelum meraih uluran tangan Haira. Sena tersenyum seraya menggelengkan kepala pelan. “Ga usah, Sayang. Hanna aja yang makan. Jangan banyak-banyak ya. Nanti sakit perut.” Anak itu mengangguk dan terus mengikuti Haira berjalan keluar toko. Sena tahu bahwa Haira memberinya lebih banyak waktu untuk bekerja. Karyawan yang seharusnya menunggui toko hari ini tidak bisa hadir karena sakit. Secara otomatis Sena harus menggantikannya meskipun sebenarnya ia masih harus mengejar deadline orderan. Haira tadinya bersedia menjaga toko untuknya, karena memang toko ini merupakan toko bersama. Namun ia tidak tega karena ia tahu bahwa hari ini Haira sudah punya janji untuk bertemu dengan saudaranya yang sudah lama tidak ia jumpai. Bahkan saudaranya itu dengan sukarela mengganti tempat pertemuan mereka di area yang tidak jauh dari toko. Sena tidak bisa tidak berterima kasih pada kebaikan dan kesetiakawanan sahabatnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD