Mereka sudah melihat tanah yang akan mereka bangun. Lokasinya memang tidak jauh dari rumah orangtuanya. Kalau berjalan kaki, tidak sampai lima belas menit mereka akan sampai. Tanahnya luas, dan lokasinya juga strategis. Dekat dengan pasar dan sekolah. Cocok dengan niatan Adam untuk nantinya tanah itu dijadikan tempat usaha. Tanpa pikir panjang lagi, Adam memutuskan untuk membelinya. Dan sebulan setelah itu, tanah itu resmi menjadi milik mereka dan di daftarkan atas nama Sena.
"Kenapa atas nama aku, Mas?" tanyanya tak percaya saat menerima sertifikat tanah itu.
"Kenapa gak boleh? Kan Mas beli buat kamu. Buat tempat tinggal kita. Apa bedanya nama kamu atau nama Mas. Kan harta suami itu harta nya istri."
"Iya, tapi..." Sena hendak membantah, namun suaminya itu meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Sena dan meminta Sena untuk tidak berkata apa-apa lagi dan menerimanya saja.
Sena hanya bisa memandang suaminya dengan tatapan penuh sayang. Ia menerima semua itu karena ia tahu kalau ini adalah bentuk sayang suaminya terhadapnya.
Hari-hari kemudiannya, mereka mulai membicarakan mengenai desain rumah yang akan mereka bangun. Berapa kamar yang akan mereka bangun, dimana dan seperti apa dapurnya, kamar mandinya dan detail-detail lainnya.
"Minimal kita punya dulu blueprintnya, nanti kan kalau udah rejekinya bisa langsung eksekusi." Ucap suaminya dengan santai. Sena hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia setuju apapun itu ucapan Adam, selama itu baik.
Memasuki bulan lahiran, setelah berdiskusi panjang lebar dan meminta ijin pada mertuanya, Adam membawa Sena untuk tinggal di rumah orangtuanya. Bukan karena Adam tidak menyayangi Sena, namun lebih karena ia khawatir kalau-kalau Sena mulai mendapatkan tanda-tanda akan melahirkan dan mereka tidak tahu apa-apa karena sama-sama tidak memiliki pengalaman untuk menghadapi situasi itu nantinya.
Ibu Sena tentu saja dengan senang hati menyambut mereka. Bahkan menurut ayahnya, tak lama setelah Adam mengatakan rencananya, ibunya langsung membereskan kamar Sena. Mengganti tempat tidur yang tadinya berukuran single menjadi double.
Dua hari ini bukanlah hari yang nyaman bagi Sena. Ia mulai tidak bisa tidur karena rasa sakit di pinggangnya. Ibunya mencoba menenangkannya, "Mungkin proses lahirannya udah dimulai sayang. Sabar ya, yang kuat. Jangan lupa istigfar dan solawat. Ini sudah jadi takdir kita sebagai wanita." Ucap ibunya seraya mengusap punggung Sena. Sena hanya bisa mengangguk dan sesekali merintih. Namun ia tidak berteriak, apalagi mengucap sumpat serapah. Setiap kali rasa sakit datang, ia mengucapkan istigfar, seperti yang ibunya sarankan.
Keesokan harinya rasa sakit itu semakin menjadi. Ia bahkan hampir tak bisa berdiri setiap kali rasa sakit itu datang. Namun anjuran dari bidan yang ia datangi terakhir kali, ia disarankan untuk banyak berjalan dan naik turun tangga supaya bukaannya bisa lebih cepat.
Ibunya sudah menghubungi Adam. Seminggu sebelum Sena mendapatkan kontraksinya, suaminya itu diberikan surat dinas yang mengharuskannya bekerja di luar kota. Sena awalnya merengut pada suaminya, dan sejujurnya Luthfi juga sudah menjelaskan kalau ia dan Adam sudah meminta keringanan pada si bos supaya Adam bisa mendapatkan tugas di dalam kota. Namun atasan mereka—yang baru saja diangkat—itu tidak menerima alasan pribadi yang Luthfi dan Adam kemukakan. Atasan mereka bersikukuh kalau Adam harus pergi atau mengajukan surat pengunduran diri.
Ibu Sena mencoba menenangkan Sena. Flek sudah keluar, yang berarti hanya hitungan jam sampai Sena melahirkan. Lima jam setelah ibunya menelepon, Adam muncul di depan rumah orangtua Sena. Dengan segera ia memeluk istrinya dan menguatkan Sena. Membawanya dengan segera ke tempat bidan terdekat dan membantu dan menemani Sena saat bidan memerintahkan Sena untuk terus berjalan supaya mempermudah bukaan.
Setiap kali Sena meringis kesakitan, Adam mengusap punggung Sena, mengucapkan maaf karena membuat Sena mengemban semua rasa sakit sendirian, dan memuji Sena karena sena wanita yang kuat dan tangguh. Adam selalu membimbing Sena untuk melantunkan doa bersama.
Rasa haru memenuhi hati Sena. Keluhan yang tadinya akan keluar dari mulutnya ia tahan. Airmata sakit bercampur haru menggenangi matanya. Ia tahu, kalau melahirkan itu sakit, tapi ia tidak menduga akan sesakit ini.
Saat ia sudah tak mampu berdiri, Adam membantunya kembali ke ruang bersalin. Saat kontraksi semakin dekat, Adam dengan sigap memanggilkan dokter untuknya.
"Sudah bukaan ke 2." Ucap sang bidan. Antara rasa sakit dan takut, Sena terus menggenggam tangan Adam. Ia tidak ingin Adam sendirian, ia tidak mau Adam meninggalkannya.
Adam pun tidak beranjak. Pria itu dengan setia berdiri di samping kanan tempat tidurnya. Mengusap rambutnya dan sesekali mengusap keningnya. Ia selalu berbisik di telinga Sena, mengatakan kalau Sena harus kuat. Bahwa anak mereka siap untuk melihat muka bumi. Bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua yang sebenarnya. Mereka bersolawat bersama. Setiap kali nyeri itu datang, Sena selalu mengencangkap pegangannya dan Adam selalu bertasbih. Terus seperti itu sampai akhirnya bayi perempuan itu lahir keluar dari rahimnya diiringi dengan rasa syukur dan tangisan yang sangat kencang.
Airmata Adam membasahi wajah Sena saat pria itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasihnya kepada Sena atas perjuangannya melahirkan seorang bayi ke dunia. Ia mencium dan memeluk Sena dengan haru. Saat bayi itu ditempelkan ke d**a Sena, ia akhirnya tahu. Demi kesempurnaan inilah ia berjuang di ujung kematian.
Setelah di adzankan, suster meletakkan sang bayi di atas pangkuan Sena, tepat di atas dadanya. Bayi itu bergerak-gerak pelan di atas dadanya, mencari p****g ibunya, sumber makanannya. Dan saat ia sudah lelah dan tidak bisa mendapatkan apa yang dimau, bayi itu menangis dengan begitu kencangnya. Baik Sena dan Adam hanya tertawa bahagia.
Semua orang yang ada di luar masuk secara bergiliran setelah suster memakaikan pakaian ke bayinya. "Mana cucu Ibu?" ucap ibunya saat masuk ke ruangan. Semua mata tertuju pada sesosok bayi yang terbungkus di dalam kotak bayi. "Ya Allah, lucunya cucu Ibu. Lihat nih Fi, kalo kamu nikah kamu juga bakal punya ginian." Goda ibunya. Kakaknya tidak menjawab godaan ibunya, ia malah berbalik memandang Sena dan bayi itu bergantian.
"Ini bener kamu yang lahirin?" tanyanya dengan mimik ragu.
"Emangnya disini ada lagi yang ngelahirin?" balas Sena.
"Iya, aneh aja. Kok ga mirip ya." Jawab kakaknya lagi kembali memandang si bayi. Ibunya menoleh pada anak sulungnya dengan dahi berkerut. "Lihat aja Bu, bayinya cantik begini, ibunya.." ucapnya menggantung. Ingin sekali Sena melemparkan sesuatu ke wajah kakaknya itu. Namun ia belum memiliki tenaga ekstra untuk itu.
Asisten bidan yang membantu proses persalinannya masuk dengan membawakan nampan berisi makanan hangat dan segelas besar teh manis yang terlihat masih mengeluarkan uap. Wanita yang Sena duga berusia awal tiga puluhan itu tersenyum ke arah Sena saat meletakkan nampannya di atas nakas di samping tempat tidur. "Isi tenaga dulu ya, Bu. Bayinya saya ambil untuk disinar dulu." ucapnya seraya membawa bayi mungil itu dari pelukan Sena yang membuatnya merasa kehilangan seketika. "Tamunya jangan terlalu ribut. Nanti dede bayinya bangun." Ucap sang suster yang kemudian membaringkan bayi Sena di dalam box kaca yang sudah diberi penghangat.
"Maaf Sus, maklum cucu pertama." Jawab ibunya lagi. Perawat itu hanya tersenyum mengerti dan kemudian meninggalkan ruangan.
Beberapa jam kedepannya ruangan masih ricuh dengan tamu yang berdatangan. Keluarga Adam adalah tamu terakhir malam itu. Mereka melakukan penerbangan langsung dari Surabaya saat Adam menyampaikan kalau Sena sudah mengalami kontraksi. Mereka terlihat lelah, namun sepertinya lelah itu sirna saat melihat wajah cucu mereka yang menggemaskan.
Ketika keesokan harinya Sena kembali ke rumah orangtuanya. Rumah itu sudah diisi oleh tamu yang ingin melihat putrinya. Semua kerabat dan tetangga serta teman-teman Sena sepertinya kompakan untuk berkumpul di waktu yang sama. Satu persatu dari mereka mendoakan bayi yang belum diberi nama. Setiap orang di ruangan itu juga menanyakan hal yang sama "Siapa nama bayi nya?" namun baik Sena dan Adam masih memikirkan nama mana yang akan mereka pakai diantara nama-nama yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
Namun meskipun belum memiliki nama, doa terus menerus mengalir untuk putranya. "Semoga menjadi anak yang salehah. Menjadi anak kebanggaan orang tua. Menjadi anak sukses. Menjadi anak yang bisa membawa kedua orangtuanya ke surga. Menjadi anak yang..." masih banyak doa lain yang mereka panjatkan untuk si buah hati. Sena senang, bahagia, bangga. Semuanya bercampur dalam satu waktu yang bahkan tidak bisa Sena ungkapkan dengan kaa-kata. Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini berlangsung selamanya. Untuknya, dan keluarga kecilnya.
Di hari ketujuh kelahiran putri mereka. Satu ekor kambing jantan masuk ke pelataran rumah orangtua Sena. Adam dan ayahnya sudah membeli kambing jantan besar itu beberapa minggu sebelum kelahiran bayi mereka, yang kini diberi nama Hanna Keisha Ibrahim dengan harapan Hanna bisa menjadi orang yang beruntung yang disukai dan disayangi banyak orang, sama seperti namanya.
Waktu berlalu, Adam yang masih melaksanakan tugas dinasnya di luar kota masih juga belum datang. Sebelumnya, Adam mengatakan kalau ia akan cuti setengah hari, karena memang acara aqiqah bertepatan di hari jum,at. Namun saat sore menjelang, suaminya itu masih juga belum menunjukkan batang hidungnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima, dan Adam masih belum datang. Padahal tadi ia sudah berangkat setelah adzan duhur. Rencananya mereka akan melaksanakan syukuran setelah selesai magrib dan seharusnya, Adam sudah ada disana saat itu.
Sena kembali mencoba menghubungi ponsel suaminya, namun tak diangkat.
"Mungkin Mas Adam terjebak macet, Na." itu suara Haira. Sahabatnya itu berusaha menenangkan Sena yang tampak gusar. Sena sebenarnya bukan gusar tanpa alasan. Haira juga kini bekerja di kota yang sama dengan kota dimana Adam ditugaskan. Dan sahabatnya itu sudah sampai di kediaman orangtua Sena lebih dari dua jam yang lalu. Sementara Adam? Kemana suaminya itu?
Sena mencoba menenangkan gemuruh di hatinya dengan berdoa. Meminta perlindungan pada Yang Maha Kuasa untuk bisa menjaga suaminya dimanapun suaminya itu berada. Ia harus berprasangka baik, tidak boleh memikirkan yang tidak-tidak.
Namun waktu yang berlalu membuat Sena menjadi semakin cemas. Terlebih setiap kali membuka ponsel ia tidak mendapatkan kabar apapun dari Adam.
"Mas, kamu dimana?" gumamnya seraya membuka gorden jendela kamarnya, berharap Adam tiba-tiba muncul di halaman rumah keluarganya.
Suara tangisan Hanna memecah lamunan Sena. Ia berjalan menuju tempat tidur dimana tadi ia membaringkan Hanna. Meraih tubuh mungil putrinya dan menggendongnya. Sena mencoba untuk menyusui putrinya, menduga kalau Hanna terbangun karena lapar. Namun putri kecilnya itu menolak menyusu dan malah menangis semakin keras. Hal itu tampaknya mengundang perhatian orang di luar kamar karena kemudian ibunya masuk ke dalam kamar untuk mengecek keadaan.
"Kenapa, Na. Hanna lapar?" tanya ibunya seraya mendekati Hanna dan mengusap pipi bayi kecil itu dengan punggung telunjuknya. "Kenapa ga dikasih ASI, Na?"
"Sena udah coba kasih, Bu. Dia nolak terus." Jawab Sena dengan bingung. Ibunya mencoba mengambil Hanna dari pangkuannya. Namun bayi itu masih saja menangis.
Sena kembali meraih bayi itu dari pangkuan ibunya. Namun sebelum Hanna berada di pangkuannya, ia melihat kakak dan ayahnya masuk ke dalam kamar.
Pikir Sena, mungkin sudah waktunya pengajian dimulai. Namun saat melihat wajah pucat dari ayah dan kakaknya, Sena menatap keduanya bingung. Tatapan keduanya merupakan campuran khawatir, sedih, bingung dan entah apalagi. Dan Sena bisa merasakan ada masalah disini.
"Ada apa, Bang?" tanyanya kepada kakaknya. Ayahnya menghampiri ibunya yang sedang menggendong Hanna dan memintanya duduk di kursi depan meja rias. Sementara kakaknya meraih bahu Sena dan memintanya duduk di atas tempat tidur.
"Na," ucap kakaknya dengan nada serak.
Sena menatap kakaknya dengan dahi berkerut dalam dan bingung. "Kenapa Bang?" tanyanya penasaran. Saat kakaknya malah saling tatap dengan ayahnya, Sena mulai merasa cemas tanpa sebab. "Ada apa, Bang?" tanyanya lagi dengan nada menuntut.
"Adam, Na." Ucap kakaknya lagi. Sena menatap kakaknya dengan kesal.
"Kenapa sama Mas Adam?" Tanya Sena ketus. Rasa kesalnya pada sang suami yang tidak ada kabar muncul seketika. "Mas Adam gak bisa datang kesini?" Tanya Sena kesal.
Kakaknya menggelengkan kepala. Sena memandangnya semakin galak.
"Adam.. dia..." ucap kakaknya yang membuat Sena semakin kesal. "Adam kecelakaan." Tutur kakaknya lirih denga kepala tertunduk.
Sena memandang kakaknya dengan bingung, memukul lengan kakaknya dengan sekuat tenaga karena marah. Ini bukan saatnya untuk bercanda. Apalagi tentang kecelakaan.
"Jangan bercanda, Bang. Ini ga lucu." Ucap Sena dengan marah. Ia bangkit berdiri dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Pikirannya, Adam dan Luthfi tengah menjahilinya. Mengatakan kalau Adam tidak bisa datang karena kecelakaan padahal suaminya itu ada di depan rumah.
Sena membuka pintu, dan ia merasa aneh dengan tatapan orang-orang yang mengarah ke arahnya. Saat ia menatap Haira, sahabatnya itu menatap Sena dengan penuh iba. Dan saat Sena memandang ibu mertuanya, wanita itu tampak tengah menangis dalam pelukan ayah mertua Sena dan dua orang pria mengenakan seragam polisi berdiri di depannya.
"Na..." kakaknya memanggil Sena dari belakang. Sena menoleh dan memandang kakaknya dengan marah.
"Jangan bercanda, Bang. Ini gak lucu!" bentak Sena pada kakaknya disaat bersamaan jantungnya berdebar tak karuan dan airmatanya mengalir dengan deras begitu saja.
"Na..." Kali ini panggilan itu berasal dari Haira. Sahabatnya itu mendekat dan berusaha untuk memeluk Sena. Berusaha menenangkannya. Namun Sena tidak menerima tangan Haira dan menepisnya begitu saja.
"Ibu Sena." Ucap salah satu dari dua orang petugas yang tadi tampak berbincang dengan orangtua Adam.
Sena memandang kedua orang itu bergantian, sebelum kemudian memandang mertuanya yang tengah menangis. Sena menggelengkan kepala, tidak mau mendengar ataupun mempercayai apa yang akan petugas itu katakan.
"Kami mohon maaf sebelumnya. Namun harus kami beritahukan bahwa, Bapak Adam Mohammad Ibrahim telah di konfirmasikan meninggal dalam tabrakan beruntun di tol tadi sore pukul 16.10."
Sena masih menggelengkan kepala. Menolak untuk mendengar dan percaya.
Ini hanya mimpi, kan? Tidak mungkin terjadi. Adam masih menghubunginya saat ia akan pergi. Ini tidak mungkin dia. Yang meninggal itu bukan Adam nya.
Sena memandang sekeliling rumah ibunya. Kakaknya, Haira, Ayahnya, Ibunya memandang Sena dengan airmata yang tak berhenti mengalir di matanya. Sena juga memandang Hanna, putrinya yang masih berada dalam pelukan ibunya. Bayi kecil itu masih terus menangis seolah merasakan kesedihan yang dirasakan orang-orang di sekitarnya.
Tidak ini semua hanya mimpi. Ucapnya dalam hati. Ia tidak sadar bahwa kalimat itu ia teriakkan dengan keras, sesaat sebelum semuanya berubah gelap.