Mariana terdiam. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap pria itu dengan mata lebar seolah kata-kata itu baru saja menghantam dadanya dengan keras. Namun, alih-alih melunak, sesuatu di dalam dirinya justru meledak. Ia tertawa—tapi bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa getir, penuh kepedihan dan kemarahan yang selama ini terpendam. “Kamu benar-benar keterlaluan, Bara.” Suaranya bergetar. “Kamu menginginkan Selene? Setelah kamu menghancurkan semuanya?” Napas Mariana memburu. Matanya membara dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung. “Jangan berbicara omong kosong! Pergilah, Bara! Selene nggak butuh ayah seperti kamu!” Tepat setelah bentakan itu, suara langkah kaki yang mendekat membuat Mariana mengalihkan pandangannya. Begitu melihat siapa yang datang, senyum miris tersungging di bibir