1. Awal Bencana.
Di kantor guru, Dia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas.
"Selamat pagi, Bu Dia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya.
"Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Dia sambil tersenyum kecil.
"Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal.
"Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Dia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Dia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi.
"Astaghfirullahaladzim." Dia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Dia menimbang-nimbang sejenak sebelum mengangkat telepon. Karena biasanya setiap kali berbicara dengan sang ibu, mood mengajarnya bisa terjun bebas.
"Assalamulaikum, Bu. Ada..."
"Sabtu depan jangan lupa datang ke pesta ulang tahun Ibu. Gaunmu sudah Ibu pesan. Lusa akan diantar oleh kurir. Transfer Ibu 12 juta rupiah. Ibu
memesan gaun karya Iwan Tirta untukmu."
Dia mematung sejenak sebelum merespon kata-kata ibunya.
"12 juta? Itu tiga bulan gaji Dia, Bu. Dia tidak sanggup membayarnya. Lagi pula Dia tidak meminta Ibu untuk membelinya bukan?"
"Ibu membelinya karena Ibu tidak mau kamu permalukan! Cukup bulan lalu kamu mempermalukan Ibu, dengan hadir di ulang tahun Tante Titik mengenakan gaun murah jahitanmu sendiri. Sabtu depan, jangan coba-coba tampil seperti orang susah lagi. Kamu tahu siapa Ibu kan? Ibu adalah artis senior kebanggaan negeri ini. Paham kamu!"
"Paham, Bu. Paham. Tapi Dia tidak punya uang sebanyak itu sekarang. Gaji Dia sudah menipis untuk membayar uang kontrakan dan..."
"Siapa suruh kamu mau menjadi guru SD di sekolah kecil? Diorbitkan Pak Abdi jadi artis, tidak mau. Jadi model dan bintang iklan, tidak mau juga. Kamu malah memilih menjadi guru SD. Telan sendiri penderitaanmu. Ibu tidak mau tahu!"
"Cita-cita Dia memang menjadi guru, Bu."
"Kalau begitu, jadilah guru seperti si Clara. Yang gajinya sebulan puluhan juta karena mengajar di sekolah internasional. Bukan menjadi guru di sekolah abal-abal sepertimu. Jangan banyak alasan. Pokoknya segera transfer uang Ibu!"
Telepon kemudian diputus. Dia meletakkan ponsel di meja kayu lesu. Begitulah ibunya, Sahila Rahman—seorang artis lawas yang hidupnya penuh dengan keglamouran. Dia tidak pernah sepaham dengan ibunya yang selalu bergaya ala seorang sosialita papan atas. Ibunya sendiri sudah bercerai dengan ayahnya, lima belas tahun yang lalu. Tepatnya saat ia masih berusia 10 tahun.
Lamunan Dia terputus, tatkala mendengar suara langkah- langkah kaki tergesa memasuki kantor. Beberapa rekan guru baru saja datang. Mereka adalah Bu Sekar, Pak Indra dan Bu Rasti. Ketiganya tampak menggoyangkan payung masing-masing untuk menghilangkan sisa-sisa air hujan sebelum masuk ke dalam ruang guru.
"Wah, Bu Dia sudah hadir duluan. Kami pikir, kami bertigalah orang yang pertama kali datang," ujar Bu Sekar ceria.
"Saya sengaja datang lebih cepat karena tadi cuaca mendung, Bu. Takut kehujanan di jalan. Ternyata dugaan saya benar bukan? Hujan deras sudah membasahi bumi pagi-pagi," pungkas Dia.
"Lain kali, telepon saya saja kalau Bu Dia takut kehujanan di jalan. Jikalau Bu Dia ingin setiap hari saya jemput pun, boleh kok." Pak Indra ikut berkomentar. Pak Indra adalah guru bidang studi matematika yang kebetulan memiliki mobil.
"Pak Indra modus terus ya? Tapi, ya memang tidak apa-apa sih. Kalian berdua 'kan masih single. Bolehlah saling penjajakan. Usaha yang lebih keras lagi dong, Pak. Biar hati Bu Dia luluh lembut seperti agar-agar." Bu Rasti yang telah berusia 40-an memanas-manasi Arman.
"Mau berusaha sampai kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki juga tidak bakalan berhasil, Bu. Mana mau Bu Sahila Rahman punya menantu guru matematika yang gajinya pas-pasan," celetuk Bu Sekar.
"Tuh, Bu Rasti. Jawaban saya sudah diwakili oleh Bu Sekar. Sudah menjadi nasib saya hanya bisa mengagumi mawar indah ini dari kejauhan." Pak Indra berdeklamasi dengan raut wajah sedih.
Dia menanggapi keriuhan rekan-rekan sejawatnya hanya dengan senyum kecil saja. Sesungguhnya rekan-rekannya ini hanya melihat sebagian kecil hidupnya. Rekan-rekannya ini menganggap dirinya mau menjadi guru hanya karena sedang gabut saja. Kalau meminjam istilah Rina, dirinya adalah contoh gabutnya anak orang kaya yang positif. Padahal itu semua tidak benar. Dirinya bekerja menjadi guru memang karena cita-citanya. Sedangkan mengenai keuangan, ia tidak pernah meminta sepeser pun pada ibunya. Setelah tamat kuliah, ia mengontrak sebuah rumah yang dekat sekolah tempatnya mengajar. Sudah setahun lamanya ia hidup dengan mengandalkan gaji sebagai guru dan upah mengajar les piano.
Ponselnya kembali berdering. Memindai nama sang ibu kembali di ponselnya, membuat Dia mendecakkan lidah. Ibunya benar-benar memaksa agar dirinya segera mentransfer dana gaun yang tidak pernah ia minta. Namun tak urung ia mengangkatnya juga.
"Iya, Bu. Nanti agak siang ya, Dia transfer. Soalnya..."
"Selamat pagi. Benar, ini dengan Ibu Dia Nan Dinanti Suhardi?"
Dia memegang dadanya. Suara laki-laki dengan bahasa formal. Jelas, ini bukan suara ibunya.
"Benar. Bapak siapa ya? Mengapa ponsel ibu saya ada di tangan Bapak?"
"Saya IPDA Gultom Siagian. Ibu Anda, Sahila Rahman, mengalami kecelakaan lalu lintas saat berkendara. Saat ini Ibu Anda ada di rumah sakit Harapan Kita. Harap segera ke sini karena Ibu Anda dalam keadaan kritis."
Dia tidak mengatakan apa pun. Lidahnya kelu. Ia hanya menatap ponsel dengan tatapan horor, sebelum terduduk dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Ibunya mengalami kecelakaan! Astaghfirullahaladzim.
"Apa apa, Bu Dia? Kok Ibu pucat sekali." Bu Rina kebingungan saat melihat Dia terduduk di kursi dengan air muka memutih. Dia tidak mengatakan apa pun. Ia menyerahkan ponsel ke tangan Bu Rina. Saat ini ia sedang tidak bisa berpikir.
"Iya, Pak polisi. Baik, saya akan menemani Ibu Dia ke rumah sakit. Terima kasih banyak, Pak Polisi." Setelah menutup panggilan, Bu Rina mengkoordinir semuanya. Dengan menumpang mobil Arman mereka bertiga bergegas ke rumah sakit.
***
Satu minggu kemudian.
"Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Dia.
Dia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab.
"Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Dia heran.
"Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini."
Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini.
"Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Dia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menempati rumah ini. Pak Abdi ini seorang produser film, bukan pemilik panti asuhan.
"Tapi, kamu harus mau saya orbitkan sebagai artis. Biaya perawatan rumah mewah ini sangat mahal, Dia. Gajimu sebagai seorang guru tidak akan cukup."
"Saya mengerti, Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya. Seperti yang Bapak bilang tadi, biaya perawatan rumah ini sangat mahal. Saya pasti tidak mampu merawatnya dengan layak, kalau hanya mengandalkan gaji saya. Sementara saya tidak berniat menjadi seorang artis. Saya minta waktu seminggu untuk mengosongkan rumah ini ya, Pak?" pinta Dia sopan.
"Kalau kamu mau, saya bisa kok membiayai perawatan rumah ini. Kamu juga tidak perlu menjadi artis. Saya akan memberikan rumah ini secara cuma-cuma untukmu... asal kamu mau menjadi istri ketiga saya. Bagaimana?"
Astaghfirullahaladzim! Aki-aki ini sungguh tidak tahu diri. Usia sudah senja, alih-alih mencari pahala, malah terus memupuk dosa.
"Mau ya, Sayang?" bujuk Pak Abdi halus. Duduknya mulai memepet-mepet Dia. Merinding, Dia sontak berdiri.
"Maaf, Pak Abdi. Saya belum berniat berumah tangga. Saya masih ingin mengabdikan hidup saya untuk mendidik anak-anak," tolak Dia tegas. Mendengar penolakan Dia, air muka Pak Abdi berubah masam seketika.
"Halah! Mengabdi... mengabdi. Mengabdi t**i kucing! Kamu ini sudah miskin, sombong lagi. Ibumu benar. Kamu itu anak keras kepala yang sok idealis. Pantas saja ibumu tidak menyukaimu. Dasar anak tidak tahu diuntung!" hardik Pak Abdi gusar. Sia-sia saja ia membuang uang dan waktunya selama ini untuk Sahila Rahman. Anak perempuannya ini tetap menolaknya. Padahal Sahila berjanji, akan melembutkan hati Dia untuknya. Tapi nyatanya, janji Sahila itu omong kosong belaka.
"Saya beri kamu waktu tiga hari untuk mengosongkan tempat ini. Ingat, kamu akan menyesal telah menolak bantuan dari saya. Asal kamu, ibumu itu hutangnya melilit pinggang karena gaya hidupnya yang hedon. Sementara job-nya sebagai artis makin sepi karena faktor usia. Lihat saja, sebentar lagi para debt collector pasti akan mengejar-ngejarmu. Nanti kamu yang akan mengemis-ngemis memohon bantuanku!" Pak Abdi meludah.
"Jangan-jangan sekarang ini pun kamu sudah diteror oleh mereka ya? Makanya kamu melelang barang-barang ibumu bukan?" seringai Pak Abdi sinis.
Dia terdiam dengan kedua tangan terkepal erat. Apa yang Pak Abdi katakan benar adanya. Para penagih hutang mulai mendatanginya ke sekolah dan juga merecoki rekan-rekan sesama gurunya. Rekannya-rekannya di telepon setiap hari, hingga mereka mengeluh padanya. Mereka semua merasa sangat terganggu.
"Kenapa wajahmu pucat begitu? Apa yang saya katakan benar bukan?" Pak Abdi tersenyum mengejek.
"Walaupun sombong dan menyebalkan, saya masih sangat menyukaimu. Telepon saja saya, kalau kamu berubah pikiran ya? Saya akan membereskan mereka semua untukmu. Saya permisi dulu ya, Bu Guru cantik?" Pak Abdi bermaksud untuk mengelus pipi mulus Dia. Namun Pak Abdi hanya menyentuh angin. Karena Dia dengan gesit memalingkan wajah.
"Ya Allah, ya Robbi. Kuatkan aku dalam menghadapi segala cobaan ini."
Notes. Hallo, Readers. Ini cerita baru author. Dibaca tanpa skip dan jangan lupa di tap love-nya ya? Terima kasih 😊