2. Masa Lalu.

1618 Words
Dia menyeka peluh dengan handuk kecil sebelum meneguk air dingin dengan rakus, langsung dari kemasannya. Rasa dahaganya seketika hilang seiring tubuhnya yang terduduk kelelahan di lantai. Harus mengosongkan rumah dalam waktu tiga hari, sungguh menguras energinya. Padahal ia sudah dibantu oleh Yuyun, Mang Kosim, dan juga Oma Wardah. Yuyun adalah asisten rumah tangga ibunya, Mang Kosim sopir, dan Oma Wardah adalah pemilik panti asuhan Cinta Kasih. Ibunya yang sebatang kara dulu tinggal di panti asuhan Cinta Kasih milik Oma Wardah ini. “Mbak Di, kata bapak-bapak pemulung di depan, majalah-majalah dan koran-koran bekasnya ikut dibuang tidak? Kalau iya, mau mereka angkut sekalian katanya,” Yuyun muncul dari teras. “Tidak, Yun. Majalah dan koran-koran itu kesayangan Ibu,” Dia menggeleng. “Lha, kalau tidak diambil, nanti rumah ini tidak bersih, dong. Bukannya Mbak Di bilang kita harus mengosongkan sekaligus membersihkan rumah ini sampai kilat?” ujar Yuyun bingung. “Nanti saya akan menitipkan majalah-majalah dan koran ini pada rekan mengajar saya. Begitu juga dengan foto-foto Ibu dan barang-barang kesayangan Ibu lainnya. Setelah pulang mengajar, mereka akan ke sini membawa mobil pickup,” terang Dia. “Oh, baiklah kalau begitu. Saya dan Mang Kosim lanjut bersih-bersih rumah dulu ya, Mbak.” Yuyun kembali melanjutkan pekerjaannya. Remaja putri yang sudah lima tahun menjadi asisten rumah tangga ibunya itu memang sangat rajin dan cekatan. “Apa yang kamu lakukan memang sudah benar, Di,” sela Oma Wardah yang mengikuti percakapan antara Dia dan Yuyun. “Majalah dan koran-koran itu memuat artikel tentang ibumu. Ibumu mengoleksi semuanya sejak di panti dulu,” Oma Wardah memandang langit-langit ruangan. Rasanya baru kemarin ia melihat Sahila melompat-lompat kegirangan karena masuk surat kabar. Rupanya 40 tahun telah berlalu. “Ceritakan lebih banyak tentang masa lalu Ibu, Oma. Saya ingin tahu. Dulu Ibu selalu marah kalau saya ingin tahu tentang masa kecilnya,” Dia mendekati sang Oma yang duduk di kursi plastik. Dia kemudian duduk di lantai dan menyandarkan lengannya di sisi kursi. "Ibumu itu primadona panti, paling cantik dan paling disayang se-panti. Ibumu sangat menyukai keindahan dan kemewahan. Ketika suatu hari seorang pencari bakat menemukan ibumu di panti, sejak itu ibumu tidak pernah berhenti bekerja. Cita-cita ibumu hanya satu: menjadi orang kaya." Baru saja bercerita, Yuyun masuk sambil berlari kencang. "Mbak Dia, cepat sembunyi! Para penagih hutang datang lagi." Secepat Yuyun datang, secepat itu juga ia berlalu. Dia tahu, Yuyunlah yang akan menghadapi para debt collector seperti biasanya. Anak remaja itu sungguh pemberani. "Ayo, Oma, kita sembunyi di kamar saja." Dengan tangan gemetar, Dia membimbing Oma Wardah yang sudah sepuh ke dalam kamar. Jantung Dia berdetak kencang saat mendengar para debt colletor itu membentak-bentak Yuyun. "Majikanmu mau melarikan diri ya, makanya rumah ini sekarang kosong? Panggil majikanmu keluar! Bayar segera hutang-hutang ibunya!" Tangan Dia tidak hentinya bergetar mendengar suara-suara dengan nada tinggi di depan. "Majikan saya tidak ada di rumah, Pak. Orangnya lagi kerja. Lagi pula yang meminjam uang 'kan Bu Sahila, ya Bapak menagihnya pada Bu Sahila. Masa pada Mbak Dia. Mbak Dia kan tidak tahu apa-apa." "Diam kamu! Bu Sahila sudah mati. Bagaimana kami menagihnya? Lagi pula anak majikanmu juga ikut menikmati uang pinjaman itu bukan? Sekarang beritahu saya di mana majikanmu atau saya patahkan batang lehermu!" "Astaghfirullahaladzim," ucap Dia kaget. Ia harus menyelamatkan Yuyun. Biarlah dirinya sendiri saja yang akan menghadapi debt collector itu. "Mau ke mana kamu, Di? Sini!" panggil Oma Wardah melambaikan tangannya. "Mau ke depan, Oma. Saya kasihan melihat Yuyun dibentak-bentak." "Jangan, Di! Biar saja Yuyun yang menghadapi mereka. Yuyun itu cuma pembantu di sini. Mereka tidak akan bisa memaksa Yuyun. Tapi kalau kamu, beda. Kamu itu anak Sahila. Sudah, biarkan saja. Lagi pula Yuyun itu pinter dan pemberani. Kita tetap sembunyi saja sampai mereka pergi." PRANG! "Astaghfirullahaladzim! A--apa lagi itu, Oma?" Dia kembali kaget saat mendengar suara barang-barang yang dibanting. Ia benar-benar ketakutan sekarang. "Pak, kami ini cuma pemulung. Kami tidak tahu apa-apa. Kami mohon, jangan merusak barang-barang kami!" PRANG! "Kalau kami mau merusaknya, kalian mau apa hah? Barang-barang yang kalian ambil, seharusnya menjadi milik kami. Karena pemiliknya berhutang kepada boss kami!" "Kalau kalian menghalang-halangi, akan kami hancurkan kalian semua seperti barang-barang ini!" Dia memejamkan mata saat mendengar suara barang-barang yang dibanting. "Sebaiknya kita ke sekolah tempatnya mengajar saja, Jose. Kita bikin ribut besar di sana. Pasti nanti dia keluar juga. Baru kita serahkan dia kepada boss!" "Kalian jangan ke sekolah, Mbak Dia. Mbak Dia tidak salah apa-apa. Jangan hancurkan nama baiknya!" Suara Mang Kosim! "Dasar tua bangka sialan. Jangan ikut campur!" "Jangan sakiti, Mang Kosim. Tolong! Tolong! Ada rampok!" Teriakan Yuyun. "Ya Allah, lindungilah kami semua." Dia dan Oma Wardah saling berpegangan tangan ketakutan. Suasana semakin mencekam. "Ayo, kita obrak-abrik sekolahannya!" Suara-suara itu perlahan menjauh. Dia menarik napas panjang berkali-kali. Paru-parunya baru bisa mengembang setelah tercekat beberapa saat. Terdengar suara langkah-langkah kaki. Yuyun masuk ke dalam kamar. "Kamu tidak apa-apa, Yun?" Dia menghampiri Yuyun, seraya mengamati keadaan sang gadis remaja. "Saya tidak apa-apa, Mbak," ucap Yuyun menenangkan. "Mang Kosim?" tanya Dia lagi. "Mang Kosim juga baik-baik saja. Mereka semua sudah pergi kok, Mbak. Tapi sebaiknya Mbak tetap di dalam saja. Siapa tahu nanti mereka datang lagi," usul Yuyun. Dia mengangguk setuju. Keadaan sekarang semakin genting. "Saya beres-beres di depan lagi ya, Mbak. Nanti kalau teman-teman Mbak datang, saya panggil mereka langsung masuk ke dalam saja." "Iya, Yun. Terima kasih banyak ya?" Dia menggenggam tangan Yuyun tulus. "Iya, Mbak. Sama-sama." "Dia, Oma rasa kamu tidak bisa lagi tinggal di kota ini. Nyawamu terancam, Nduk. Apalagi kalau kamu sampai diculik oleh orang-orang jahat itu. Oma tidak bisa membayangkan penderitaanmu nantinya," usul Oma Wardah setelah Yuyun berlalu. Rasa ketakutan Oma Wardah belum sepenuhnya hilang. Ia mengkhawatirkan keadaan Dia. "Dia harus ke mana, Oma? Apa Dia boleh tinggal di panti bersama Oma?" tanya Dia penuh harap. "Boleh saja, Di. Pintu panti selalu terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Tapi, tidak ada gunanya kamu bersembunyi di sana. Mereka sudah tahu tempat itu. Asal kamu tahu, dua hari yang lalu, ada beberapa penagih hutang yang mencarimu ke sana. Oma hanya tidak mengatakannya padamu saja." "Jadi Dia harus sembunyi di mana, Oma?" Dia putus asa. "Kamu mencari perlindungan pada ayahmu saja." Setelah berpikir sejenak, Oma Wardah mengambil keputusan yang ia anggap paling baik untuk semuanya. "Ayah? Dia sudah lima belas tahun tidak pernah berkomunikasi dengan ayah, Oma. Apa Oma lupa, sejak ibu dan ayah bercerai, tidak sekali pun ayah mencari Dia. Ibu bilang ayah sudah melupakan Dia karena sudah punya keluarga baru," tutur Dia sedih. "Tapi ia tetap ayahmu. Ia bertanggung jawab untuk melindungimu. Apalagi sekarang ibumu sudah tiada." Oma Wardah tetap dengan pendiriannya. "Iya, Dia mengerti. Masalahnya Dia tidak tahu ayah tinggal di mana sekarang. Bagaimana caranya Dia bisa meminta perlindungan ayah?" "Serahkan pada Oma. Sebentar, Oma akan mencari nomor telepon Ayahmu di buku catatan Oma. Oma Wardah membuka tas tangan di pangkuannya. Mengeluarkan notes kecil lusuh yang penuh dengan catatah nomor telepon. Setelah memeriksanya dengan cermat, Oma Wardah menyerahkan notes kecil itu pada Dia. "Ini, telepon lah nomor dengan nama Suhardi ini." Oma Wardah menunjuk pada satu nama. Dia menerima notes dengan perasaan shock. Ia tidak menyangka kalau Oma Wardah mempunyai nomor telepon ayahnya. "Ternyata Oma punya nomor telepon ayah? Oma mendapatkannya dari mana? Dia pernah meminta nomor ayah pada ibu bertahun lalu. Ibu bilang, ibu tidak tahu," tanya Dia seraya menekan nomor-nomor sesuai dengan catatan Oma Wardah. "Ibumu tahu. Dia cuma tidak mau kamu menghubungi ayahmu. Bagaimana, Di. Tersambung tidak?" tanya Oma Wardah harap-harap cemas. Waktu sudah berlalu begitu lama. Bisa saja Suhardi telah mengubah nomor ponselnya. "Tersambung, Oma," ucap Dia lega. Selama menunggu panggilan diangkat, jantung Dia berdetak. Setelah 15 tahun, baru kali inilah ia kembali berinteraksi dengan sang ayah. "Hallo, siapa ini?" Mendengar suara ayahnya, Dia kian gugup. Tanpa menjawab pertanyaan ayahnya, Dia menyerahkan ponsel pada Oma Wardah. "Kenapa teleponnya dikasih ke Oma. Kamu jawab sendiri saja. Katakan apa keperluanmu. Dia kan ayahmu." Oma Wardah menolak telepon dari Dia. "Hallo, Anda siapa? Kalau tidak ada jawaban, saya tutup teleponnya." "Saya... Dia," jawab Dia gugup. "Dia siapa?" "Dia Nan Dinanti Suhardi, putri Ayah." Hening. Tidak terdengar jawaban apa pun dari seberang sana. Dia tertunduk lesu. Jangan-jangan ayahnya tidak suka ia menelepon. Baru saja Dia bermaksud mematikan panggilan, ayahnya mulai berbicara. "Hallo, Dia. Apa kabar... Nak?" Dia tidak bisa menjawab. Mendadak seperti ada segumpal batu yang menyumbat tenggorokannya. Dia menangis tanpa suara. Hanya air matanya yang berjatuhan satu persatu. Ternyata ia serindu itu pada ayahnya. "Hallo, Dia. Kamu masih di situ, Nak?" "Masih, Yah." Berjuang agar suara tangisnya tidak lolos, Dia mencoba menjawab pertanyaan ayahnya. "Ayah sedang menelepon siapa? Kok ayah manggilnya, Nak?" Dia menajamkan pendengaran. Ada suara manja seorang perempuan yang juga memanggil Ayah pada ayahnya. Pasti itu adalah anak sambung ayahnya. Menurut artikel yang dulu ia baca, ayahnya menikah dengan seorang janda beranak dua. Nama perempuan itu adalah Isnaini Iswandari. Sementara dua putrinya bernama Kencana dan Dahayu. Usia keduanya hanya terpaut satu dan dua tahun di bawahnya. "Karena Dia ini memang anak Ayah. Kamu ada perlu ada dengan Ayah? Tunggu di luar sebentar ya?" "Oh, anak Ayah yang sombong itu? Yang ibunya artis yang baru meninggal 'kan? Untuk apa dia sekarang baru mencari Ayah? Mau minta warisan ya?" Mendengar percakapan ayahnya dengan putri sambungnya, Dia langsung menutup telepon. Sepertinya usul Oma Wardah agar ia berlindung pada ayahnya tidak tepat. Ayahnya sudah memiliki anak yang lain. "Kenapa ditutup teleponnya, Di? Kan kamu belum ngomong apa-apa pada ayahmu?" tanya Oma Wardah keheranan. Belum sempat Dia menjawab, telepon di tangan Dia kembali berdering. Ayahnya meneleponnya! "Oma saja yang berbicara. Dia percayakan semuanya kepada Oma." Dia menyerahkan ponsel pada Oma Wardah. Selanjutnya ia membuka pintu dan menutupnya kembali. Ia akan membantu Yuyun dan Mang Kosim bersih-bersih, sembari menunggu teman-temannya datang di ruang tamu saja. Ia sudah tidak berhasrat untuk bertemu dengan ayahnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD