3. Salah Paham.

1932 Words
"Kamu yakin mau ke Cisarua sendiri, Di? Naik angkutan umum lagi? Kamu tidak takut nyasar?" Oma Wardah memandangi Dia yang sedang bersiap-siap ke Cisarua. "Yakin, Oma. Dia dulu kan pernah tinggal di sana juga. Masa nyasar sih?" tukas Dia sambil menggelung rambutnya menjadi sanggul chignon ala Prancis. Gaya rambut ini membuatnya terlihat rapi dan elegan. "Tapi kamu tinggal di sana saat masih berusia sepuluh tahun, Di. Itu artinya lima belas tahun yang lalu. Pasti sudah banyak perubahannya sekarang. Oma telepon ayahmu saja agar menjemputmu, ya?" usul Oma Wardah. "Jangan dong, Oma. Dia tidak mau merepotkan Ayah. Dia sudah tahu kok jalannya. Dari sini Dia akan naik bus sampai ke Terminal Baranangsiang, Bogor. Lalu Dia akan melanjutkan perjalanan ke Cisarua dengan angkot kode 02 ke rumah Ayah. Zaman sekarang ke mana-mana itu gampang, Oma. Ada Google Maps, jadi tidak akan nyasar. Nanti, saat Dia sudah dekat dengan rumah Ayah, baru Dia akan menelepon Ayah. Oma tenang saja, Dia sudah besar. Oma tidak perlu khawatir." Setelah rambutnya rapi, Dia memeriksa penampilannya sekali lagi. Saat ini ia mengenakan setelan celana bahan berwarna hitam dan blazer tweed branded milik ibunya. Oma Wardah melarangnya menggunakan pakaian-pakaian sederhana miliknya sendiri. Menurut omanya, ia harus tampil rapi dan cantik. Konon katanya, ayahnya dulu langsung jatuh cinta saat melihat penampilan berkelas ibunya. "Kenapa kamu menyusahkan dirimu sendiri sih, Di? Ayahmu kemarin bilang kalau ia akan langsung menjemputmu dari sini, kalau kamu sudah siap tinggal di sana. Ngapain kamu menyusahkan diri seperti ini?" tanya Oma Wardah lagi. "Lah kan tadi sudah Dia bilang, Dia tidak mau menyusahkan Ayah, Oma. Dia sudah dewasa. Masa sudah berumur dua puluh lima tahun masih diantar-jemput juga?" kata Dia lagi. "Oma, apa penampilan Dia ini tidak berlebihan? Dia jadi mirip artis sinetron yang akan syuting di desa daripada tinggal sementara di sana." Dia ngeri melihat logo dua huruf C yang saling membelakangi di blazernya. Ibunya memang penggemar pakaian-pakaian mewah sejati. "Dia pandang-pandang, Dia jadi mirip sekali dengan Ibu." Dia menatap sendu bayangan wajahnya di kaca. Ia seperti melihat ibunya dalam versi lebih muda. "Memang itulah tujuan Oma. Oma ingin ayahmu mengingat ibumu. Dengan begitu, ia akan mengingat tanggung jawabnya atas dirimu. Makanya Oma memintamu membawa pakaian-pakaian ibumu. Kamu berhak bahagia, Di. Kamulah anak kandung Suhardi, bukan dua anak tirinya itu. Mengerti, Di?" Oma Wardah mengelus pipi halus Dia dengan perasaan sayang. Gadis ini sesungguhnya sangat menderita. Sejak kecil, Dia tidak pernah diperhatikan. Setelah bercerai dan kembali ke Jakarta, Sahila, yang seorang artis, sibuk dalam dunianya sendiri. Dia kecil selalu kesepian karena ibunya tidak pernah ada di rumah. Setelah remaja, ibunya juga tidak suka disaingi oleh kemolekan putrinya sendiri. Mereka berdua bagai air dan minyak, tidak bisa menyatu. Sifat keduanya sangat bertolak belakang. "Kalau menurut Oma seperti itu, Dia menurut saja. Nah, itu Grab Dia sudah datang. Dia pamit ya, Oma. Doakan agar Dia betah di sana." Dia menyalimi omanya dengan suara tersendat. Entah kapan ia bisa melihat omanya lagi. Mengingat begitu banyak masalah yang disebabkan oleh ibunya, sepertinya ia tidak bisa kembali dalam waktu dekat. "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Titip salam untuk ayahmu." Oma Wardah mencium kedua pipi Dia sebelum sang gadis muda masuk ke dalam taksi online. Oma Wardah seperti melihat Sahila muda saat Dia masuk ke dalam taksi dengan sebuah koper besar. Sahila dulu juga seperti itu saat berpamitan untuk syuting ke luar kota. Baru saja taksi online berlalu, sebuah mobil memasuki halaman panti—mobil si penagih utang. Oma Wardah mengelus d**a lega. Untung saja Dia sudah pergi. Selanjutnya, Oma Wardah duduk santai sambil menunggu tiga orang laki-laki yang baru keluar dari mobil itu menghampirinya. Ia siap kembali berperan sebagai lansia yang pikun dan tuli. Cara ini biasanya sukses untuk menghalau para penagih utang, karena mereka kehilangan kesabaran menghadapinya. *** Dia mengamati berbagai macam tingkah penumpang di dalam bus. Ada yang sedang menelepon, mendengarkan musik, atau bermain game. Di bagian belakang bus terdengar canda tawa dari beberapa penumpang yang saling mengenal. Begini rupanya keseruan bepergian dengan bus antarkota. Di saat tengah asyik menikmati perjalanan, ponselnya terasa bergetar. Tatkala mengecek ponsel, Dia melihat nama ayahnya di layar. "Assalamualaikum, Yah." "Walaikumsalam. Dia, tadi Ayah menelepon ke panti. Kata Bu Wardah kamu sudah dalam perjalanan ke Cisarua. Kenapa kamu tidak mengabari Ayah sebelumnya? Kan kamu bisa Ayah jemput dari Jakarta?" "Dia tidak mau merepotkan Ayah. Rencana Dia, sesampai di terminal nanti, Dia akan menghubungi Ayah kok." "Tapi Ayah khawatir, Di. Nanti kamu menunggu di terminal saja ya? Bayu akan menjemputmu. Ayah sedang ada kegiatan saat ini. Kita nanti bertemu di rumah ya?" "Baik, Yah." Setelah percakapan dengan ayahnya berakhir, Dia melayangkan pandangan ke jendela. Ia kembali menikmati suasana hiruk pikuk di dalam bus. Saat bus mulai memasuki jalan tol Jagorawi, suara-suara obrolan penumpang mulai mereda. Sepertinya mereka sudah mulai lelah. Suasana perjalanan pun mulai berubah. Pemandangan perkotaan yang tadinya didominasi oleh gedung-gedung tinggi berganti dengan kawasan hijau dan perbukitan. Udara dalam bus juga mulai terasa sejuk. Bus terus melaju hingga tiba di Terminal Baranangsiang, Bogor. Suasana kembali ramai. Terdengar suara para sopir angkot yang memanggil-manggil calon penumpang, menawarkan rute, sementara para pedagang kaki lima menjajakan berbagai macam makanan. Saat bus yang ditumpangi Dia berhenti, para penumpang mulai turun satu per satu. Dia ikut turun sambil membawa koper milik ibunya dengan hati-hati. Baru saja satu kakinya menginjak anak tangga bus, seseorang tiba-tiba mengambil kopernya begitu saja. Astaga, baru saja tiba di Bogor, dirinya sudah dirampok! "Rampok! Tolong!" Dia berteriak sekuat tenaga. "Rampok? Mana rampoknya, Teh? Mana?" tanya beberapa orang penumpang yang satu bus dengannya. "Rampok... rampok... rampok matamu!" Seseorang memaki tepat di telinganya. "Saya, Bayu, orang yang ditugaskan ayahmu untuk menjemputmu, Tuan Putri sombong!" Dia kembali menjerit saat tubuhnya diangkat begitu saja dari tangga bus ke tanah. Orang utusan ayahnya rupanya. Syukurlah ia tidak dirampok. "Maaf, Bapak-Bapak. Bukan rampok rupanya, tapi orang yang diutus untuk menjemput saya," Dia segera mengklarifikasi. Bisa gawat kalau orang utusan ayahnya ini dikeroyok massa. "Huuuuu..." Teriakan mencemooh dari para penumpang membuat Dia tersenyum kecut. "Lewat sini!" Dia nyaris terjerembab saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram erat. Ia ditarik ke arah yang berlawanan. Tersaruk-saruk karena sepatunya yang berhak tujuh senti, Dia mengikuti Bayu. "Kamu ini hampir saja membuat saya dikeroyok massa. Dasar gadis kota sombong!" desis Bayu geram. Jikalau bukan Pak Suhar yang langsung memintanya untuk menjemput putrinya yang egois ini, ia tidak akan sudi menjadi kacungnya. Lihatlah penampilan gadis kota ini—berdandan seperti layaknya seorang sosialita yang sedang hang out di pusat perbelanjaan. Padahal ia sedang berkunjung ke pegunungan. Luar biasa... bodohnya! "Anda mengambil koper saya begitu saja tanpa pemberitahuan apa pun. Perbuatan Anda itu bisa dikategorikan sebagai aksi perampokan. Makanya saya refleks menyebut Anda perampok. Mengerti?" Dia menjelaskan alasannya. Sebagai seorang guru, ia terbiasa menasihati orang-orang yang telah melakukan kesalahan. "Jadi menurutmu saya salah?" Sambil berkacak pinggang Bayu memelototi si gadis kota. Dia termangu sejenak. Untuk pertama kalinya ia memandang orang yang ia kira akan merampoknya. Mengenakan celana jeans dan kaos, laki-laki ini memiliki postur tubuh tegap, berambut cepak, serta tatapan mata yang tajam. Alih-alih perampok, laki-laki ini lebih mirip dengan seorang polisi. "Bukan menurut saya, Pak Bayu. Tapi menurut hukum dan adab yang berlaku. Lain kali kalau Anda ingin membantu seseorang, katakan niat Anda kepada orang tersebut. Perkenalkan diri Anda baik-baik. Mengerti?" Dia mengacungkan jari telunjuknya pada Bayu, ciri khasnya apabila sedang menasihati murid-muridnya. "Bapak... Bapak... memangnya saya ini bapakmu?" Bayu kembali menggerutu. "Ayo, ikuti saya ke mobil!" bentak Bayu dengan nada tinggi. Semakin ia melihat penampilan wah gadis ini, semakin membuatnya darah tinggi. Kasihan Pak Suhar. Kantongnya pasti akan robek dalam, selama putri sosialitanya ini tinggal bersamanya. Ingatan itu membuat Bayu semakin muak. Ia berjalan dengan langkah panjang yang sengaja ia hentakkan kasar. Mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata makian. "Lain kali juga, Anda lebih baik menolak jikalau diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak Anda inginkan. Daripada Anda menyanggupi tetapi tidak ikhlas melakukannya. Ayah saya pasti bisa meminta pekerja lain untuk menjemput saya," tegas Dia. Gadis ini mengira bahwa dirinya adalah kacung ayahnya rupanya! "Tutup mulutmu, cerewet!" hardik Bayu gusar. Ia pusing mendengar cerauan si gadis kota. Ia juga tidak berusaha mengoreksi kesalahannya. Biar saja gadis sombong ini nanti tahu sendiri, siapa dirinya yang sebenarnya. Dia menarik napas panjang. Ia sekarang merasa ragu. Jangan-jangan keputusannya untuk berlindung ke Cisarua ini bukan hal yang tepat. Mengingat bahwa orang gajian ayahnya saja berani memperlakukannya dengan tidak hormat, apalagi dengan keluarga ayahnya yang lain. "Mengapa kamu berhenti? Mobil kita yang di depannya." Bayu kembali mengomeli Dia. "Oh, salah mobil ya?" Dia yang tadinya berhenti di samping sebuah mobil jeep, kembali melanjutkan langkah. "Iya, salah. Mobil kita yang itu." Bayu menunjuk mobil truk milik Pak Suhar yang paling tua. Senyum puas tersungging di bibirnya tatkala melihat Dia terdiam di depan mobil. Pasti gadis kota ini shock dijemput dengan sebuah truk tua. Ditambah dengan ceceran rerumputan dan kotoran hewan di bak belakangnya, mobil ini sungguh mantap jiwa bagi orang-orang kota. "Kenapa bengong? Kamu tidak mau naik mobil antik yang harum semerbak ini?" Bayu menganalogikan aroma kotoran hewan dengan kalimat sarkas harum semerbak. Sementara Dia, ingatannya seketika kembali ke masa lalu. Di mana dirinya dan sang ayah dulu kerap berjalan-jalan dengan pickup tua ini. Lima belas tahun lalu saja, pickup ini sudah sangat tua. Sekarang penampilan pickup merah tua ini jadi semakin mengenaskan. "Jangan letakkan koper itu di sana!" Dia refleks menahan lengan Bayu yang ingin melemparkan kopernya ke bak belakang pickup. Koper dengan logo inisial huruf L dan V yang saling bertautan ini adalah koper kesayangan ibunya. Dia tidak tega membiarkan koper pinjamannya ini bercampur dengan segala macam kotoran di belakang sana. "Kenapa? Kamu takut koper mahalmu ini bau kotoran?" Bayu berkacak pinggang. "Iya. Selain itu, nanti sisi-sisi kopernya bisa lecet kalau terus bergesekan dengan besi bak mobil," ungkap Dia terus terang. "Begini saja, kopernya saya pangku di depan saja." Dia mengambil keputusan yang ia anggap paling tepat. "Hah, pangku di depan? Kamu yakin? Asal kamu tahu, perjalanan ke Citeko itu jalannya berkelok-kelok dan banyak tikungan tajam. Duduk biasa saja bisa membuatnya pusing, apalagi ditambah beban koper di pangkuanmu." "Tidak apa-apa. Saya bisa menahannya," sahut Dia yakin. "Baik. Itu pilihanmu sendiri ya? Jangan sampai setengah jalan, kamu mengeluh berat, tidak nyaman, atau ini itu. Mengerti?" ancam Bayu. "Mengerti," Dia mengangguk tegas. "Oke. Sekarang kamu masuk dulu. Baru setelahnya saya akan meletakkan kopermu." Bayu menunggu hingga Dia duduk. Ia kemudian meletakkan koper di pangkuan Dia dan segera menjalankan kendaraan. Aduh!" Baru beberapa menit berkendara kepala Dia terantuk kaca mobil. Jalan yang berkelok tajam membuat mobil bergoyang mengikuti lekukan jalan.. "Berpegangan eratlah ke handle mobil. Agar tubuhmu tidak ikut oleng saat jalan berkelok," usul Bayu. Dia pun mengikuti instruksi Bayu. Saat jalan tiba-tiba menurun dan Bayu berpapasan dengan kendaraan lain, kening Dia menghantam keras pegangan koper. Dia merasa pusing sesaat. Namun Dia tidak bersuara. Ia menahan rasa sakitnya dalam diam. Bayu tadi sudah memperingatkannya. "Kok berhenti? Apa kita sudah sampai?" Dia heran karena tiba-tiba saja Bayumenghentikan kendaraan di pinggir jalan. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia turun dan memeriksa sesuatu di belakang mobil. Ia kembali dengan membawa sebuah karung goni di tangannya. "Buka pintunya." Bayu mengetuk kaca mobil. Dengan tangan kirinya, Dia pun membuka pintu mobil. "Eh mau dibawa ke mana koper saya?" Dia bingung saat Bayu meraih kopernya begitu saja. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia kemudian memasukkan koper ke karung goni dan menempatkannya ke bak belakang mobil dengan hati-hati. Ia kemudian mengikat karung goni dengan tali erat-erat agar tidak berlari ke sana sini. "Saya meringankan bebanmu. Sekarang duduk yang benar, agar kamu tidak lagi memar-memar. Nanti ayahmu sedih karena putri kesayangannya yang lupa pulang, terluka." Dia diam saja. Namun menangkap satu hal. Bahwa Bayu ini menganggapnya telah mengabaikan ayahnya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD