"Astaghfirullahaladzim!"
Dia refleks mengucap saat mobil yang ia tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri. Belum juga duduk dengan benar, mobil tiba-tiba terjun bebas karena turunan tajam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan karena indahnya pemandangan tidak bisa ia nikmati karena cara menyetir Bayu yang ugal-ugalan. Alhasil, selama berkendara, Dia terus memejamkan matanya sambil berdoa; semoga anggota tubuhnya tetap utuh sesampainya di rumah sang ayah.
Lima belas menit kemudian, mobil berbelok dan langsung berhenti tanpa aba-aba. Akibatnya, tubuh Dia melaju ke depan dan nyaris membentur dashboard. Untungnya ada sabuk pengaman yang menahan laju tubuhnya.
"Buka matamu, kita sudah sampai." Suara dengan nada kesal terdengar dari sampingnya. Bayu memang tidak pernah ramah padanya.
"Alhamdulillah hirobbil alamin." Dia membuka mata sambil mengucap syukur. Ia bersyukur karena selamat sampai tujuan dengan anggota tubuh yang masih utuh. Cepatnya mereka tiba membuat Dia penasaran. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 17.15 WIB. Bukan main. Pada umumnya, perjalanan dari Cisarua ke Citeko adalah empat puluh lima menit atau paling cepat setengah jam. Mereka menempuhnya hanya dalam waktu lima belas menit. Tidak heran, mengingat cara menyetir Bayu yang seperti kesetanan.
"Rumah ini sudah berubah. Aku tidak lagi mengenalinya," gumam Dia pelan saat memandang rumah asing di depannya. Seingatnya, dulu rumah ayahnya kecil dan mencerminkan gaya tradisional Sunda yang kental, berbahan alami seperti kayu-kayuan, bambu, dan juga batu-batu lokal. Dan yang paling Dia ingat adalah atap rumahnya yang khas, berbentuk pelana atau limasan. Namun kini, semua itu tidak terlihat lagi. Rumah yang ada di hadapannya menjelma menjadi rumah yang sangat luas dan modern.
"Tentu saja berubah. Ayahmu sekarang adalah seorang pengusaha kaya raya, bukan peternak dua tiga ekor sapi seperti dulu. Karena ayahmu sudah kaya, makanya baru sekarang kamu mencari ayahmu, bukan?" sindir Bayu. Ia sungguh-sungguh muak melihat keserakahan si sosialita pengangguran ini. Menilik media sosial sang gadis yang pernah ia intip karena penasaran, gadis ini adalah sosialita hedon yang terlalu dimanja ibunya. Setelah ibunya tiada, pasti gadis ini kebingungan mencari penyokong hidupnya, makanya ia pun mencari ayahnya. Dengan begitu, ia bisa melanjutkan kehidupan hedonnya tanpa harus bersusah payah bekerja. Gadis ini sama materialistisnya seperti ibunya, sama-sama ingin hidup enak tanpa perlu bekerja keras.
Dia tidak merespons sindiran Bayu. Ia membuka pintu dan berjalan ke bak belakang mobil, membuka ikatan koper, dan menurunkannya sendiri dengan susah payah. Ia tidak meminta bantuan Bayu, karena laki-laki itu pun tidak memperlihatkan sikap ingin membantu.
"Terima kasih atas tumpangannya," ucap Dia ala kadarnya pada Bayu. Setelahnya, ia merapikan rambut dan pakaiannya sebentar sebelum berjalan anggun menuju rumah megah di depannya.
"Sombong!" geram Bayu ketika Dia berlalu begitu saja. Dia bahkan tidak menunggu dirinya membalas ucapan terima kasihnya.
"Semoga saja Pak Suhar tidak kembali jatuh miskin karena menampungmu di sini," desis Bayu sambil mengertakkan gerahamnya. Ia juga mengekor di belakang Dia. Sesuai dengan pesan Pak Hardi, ia harus mengantarkan Dia sampai di rumah.
Sementara itu, jantung Dia berdegup kencang tatkala melihat tiga perempuan cantik berbeda generasi menunggunya di teras rumah. Mereka pasti istri baru ayahnya beserta dua orang anak perempuannya.
"Halo, Dia, selamat datang di Citeko. Semoga kamu betah liburan di sini ya?" Bu Isnaini mengembangkan tangannya, menyambut Dia dengan ramah.
Liburan? Itu artinya ayahnya tidak mengatakan pada Bu Isnaini kalau dirinya akan menetap sementara di sini.
"Terima kasih..." Dia menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu harus memanggil apa pada ibu tirinya.
"Panggil saja saya Tante Iis atau Ibu kalau kamu mau," Bu Isnaini memahami keraguan anak tirinya.
"Terima kasih... Bu." Dia memutuskan memanggil Bu Iis dengan sebutan "Ibu." Seketika, senyum Bu Isnaini mengembang. Ia senang sekali dipanggil Ibu.
"Kencana, Dahayu, sini. Beri ucapan selamat datang pada teteh kalian." Bu Isnaini melambaikan tangan pada kedua anak gadisnya. Kencana dan Dahayu saling bertatapan sebelum berjalan ogah-ogahan menuju kakak perempuan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
"Selamat datang, Teh." Kencana menyalami Dia setengah hati. Setelahnya, ia langsung menghampiri Bayu.
"Kang Bayu kelihatannya capek sekali. Saya buatkan minuman segar ya?" tawar Kencana penuh perhatian.
"Tidak usah, Cana. Saya masih banyak kerjaan." Bayu menolak halus.
"Dahayu, ayo sini. Salami tetehmu." Bu Iis kembali memanggil putri bungsunya. Seperti Kencana, Dahayu juga ogah-ogahan menghampiri Dia.
"Ngapain Teh Dia ke sini? Mau minta warisan ya?"
Berarti Dahayulah yang waktu itu bersama ayahnya, saat ia menelepon.
"Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya.
"Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Dia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Dia.
"Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Dia dingin.
"Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Dia tegas.
"Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot.
"Saya tidak membahas ibumu," ujar Dia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada.
"Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bungsunya bisa bersikap sekurang ajar itu.
"Tapi, Bu-"
"Masuk, Ibu bilang!" Bu Isnaini menunjuk pintu. Dahayu benar-benar keterlaluan. Walau kesal, Dahayu menuruti juga perintah ibunya. Ia sadar kalau ibunya benar-benar marah kali ini.
"Saya ingin beristirahat, Bu. Bisakah Ibu menunjukkan kamar untuk saya beristirahat?" Dia langsung berbicara pada intinya. Ia sudah bisa menilai karakter ibu dan adik-adik tirinya ini bahwa berbasa-basi bukanlah gaya mereka.
"Tentu saja bisa. Tunggu sebentar ya, Dia. Ibu akan memanggil Bik Titin. Biar Bibik yang akan melayanimu." Bu Isnaini berlalu. Sekarang di teras rumah hanya tinggal Dia, Bayu, dan Kencana.
"Cana, saya agak haus. Saya terima tawaranmu yang ingin membuatkan minuman," kata Bayu pada Kencana. Mendengar permintaan Bayu, air muka Kencana menjadi semringah.
"Baik, Kang. Tunggu sebentar ya. Saya akan membuatkan minuman spesial untuk Akang." Kencana segera berlalu. Ia akan membuatkan minuman untuk Bayu dengan tangannya sendiri.
"Saya harap kamu tidak akan membicarakan soal warisan saat bertemu dengan ayahmu nanti," ancam Bayu setelah Kencana berlalu.
"Apa pun yang akan saya bicarakan dengan ayah saya, itu bukan urusanmu," sahut Dia datar. Sungguh ia muak sekali karena semua orang bersikap seolah-olah dirinya adalah seorang anak durhaka. Mereka semua tidak tahu apa-apa, namun merasa berhak menghakiminya.
Akan halnya Bayu. Mendengar tanggapan dingin Dia, emosinya tersulut. Dengan cepat, dirinya mendekati Dia.
"Siapa bilang bukan urusan saya? Saya adalah saksi hidup bagaimana Pak Suhar jatuh bangun dalam merintis bisnisnya. Pak Suhar bisa sukses seperti ini karena kerja kerasnya yang tiada henti. Tidak adil rasanya kalau kamu datang-datang ingin merampas semua jerih payahnya. Punya empatilah sebagai seorang manusia!" Bayu meremas kedua bahu Dia dengan geram.
"Lepaskan!" Dia mengernyit. Kedua bahunya terasa sakit.
"Maaf." Bayu melepaskan cengkeramannya. Emosi membuatnya kehilangan kontrol diri.
"Ayah saya adalah teman baik ayahmu. Makanya saya tahu sekali perjuangan ayahmu dari nol sampai sesukses sekarang."
Bayu rupanya bukan anak buah ayahnya. Ia sudah menduganya saat melihat Kencana tadi begitu mengistimewakan Bayu.
"Saya tahu kamu terlalu dimanja oleh ibumu sehingga kamu tidak pernah melakukan apa pun untuk dirimu sendiri. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Cobalah untuk berdiri di atas kakimu sendiri. Belajar bekerjalah untuk mengisi perutmu. Jangan membuat ayahmu jatuh bangun lagi demi memenuhi gaya hidup hedonmu." Bayu mencoba menasihati Dia walau ia tahu mungkin nasihatnya hanya dianggap angin lalu. Tapi setidaknya ia sudah berusaha.
Dia tidak menjawab karena mendengar suara langkah-langkah kaki. Bu Isnaini keluar bersama dengan seorang wanita paruh baya berparas ramah.
"Ini, Bik Titin, Dia." Bu Isnaini memperkenalkan Bik Titin. Dia mengangguk sekilas.
"Ayo ikut dengan Bibik, Neng. Bibik akan membawa Eneng ke kamar Eneng yang lama. Kopernya, sini Bibik bawa saja." Bik Titin ingin meraih pegangan koper.
"Tidak usah, Bik. Biar saya sendiri saja." Dia mempertahankan kopernya. Ia tidak mau menyusahkan Bik Titin yang sudah tua.
"Jangan terlalu angkuh, Tuan Putri. Bik Titin pasti akan hati-hati memegang koper mahalmu. Jangan menganggap remeh orang kecil," desis Bayu lirih di sisi telinga Dia.
Dia tidak menggubris peringatan Bayu. Toh, dirinya tidak bermaksud angkuh. Ia memang terbiasa mandiri sedari kecil. Selagi bisa melakukan apa pun sendiri, ia tidak suka menyusahkan orang lain.
"Lewat sini, Neng." Bik Titin mempersilakan Dia melewati pintu samping. Dia mengikuti tanpa bertanya apa pun. Di belakangnya, ia mendengar Kencana memberikan minuman buatannya pada Bayu. Tawa kecil namun sarat bahagia terdengar saat Bayu memuji minuman Kencana. Dia langsung bisa menyimpulkan satu hal: Kencana ternyata sangat menyukai Bayu.
"Ini kamarnya, Neng. Semoga Neng Dia suka ya?" Bik Titin membuka sebuah pintu kayu berbahan jati. Sebelum masuk, Dia mengamati pintu yang bertuliskan Dia dengan huruf terukir. Ayahnya tetap mempertahankan ukiran kayu buatannya sendiri.
"Ayo masuk, Neng." Bik Titin melebarkan daun pintu. Dia menahan napas saat melihat penampakan kamar masa kecilnya yang sekarang. Walau telah direnovasi, namun beberapa elemen lamanya masih ada. Misalnya dinding kamar yang dulu dipenuhi dengan stiker kartun telah diganti dengan cat berwarna krem. Tetapi di sudut kamar dekat jendela, ada mural kecil bergambar seorang anak perempuan dan ayahnya, tetap dipertahankan. Mural itu dirinya yang menggambar.
Tempat tidurnya kini lebih besar. Namun seprai dan bantalnya tetap seperti dulu. Bermotif princess dengan warna dominan merah muda. Senyum Dia melebar tatkala pandangannya membentur rak di sudut kamar. Kotak musik dan boneka porselen penari baletnya masih ada di sana. Berikut buku-buku cerita yang dulu kerap dibacakan oleh ayahnya setiap kali ia menginap di sini. Dia sangat gembira karena barang-barang kesayangannya semua masih ada.
"Koper Neng mau dibongkar sekarang atau bagaimana?" Suara Bik Titin memupus lamunan Dia.
"Nanti saja, Bik. Saya ingin beristirahat sebentar."
"Baiklah. Kalau begitu Bibik permisi dulu. Kalau Eneng butuh apa-apa, cari saja Bibik di dapur ya?" Bik Titin meminta diri.
"Eh hampir lupa." Bik Titin membalikkan badan.
"Sebentar lagi Bibik akan ke sini lagi untuk mengantarkan minuman. Eneng pasti haus. Tunggu sebentar ya, Neng," ucap Bik Titin. Dia mengangguk. Ia memang haus walaupun ia belum lapar. Setelah kepergian Bik Titin, Dia merebahkan tubuh lelahnya ke kasur. Tidak perlu menunggu lama. Kedua kelopak matanya perlahan turun dan tertutup. Dia pun tertidur dengan lelapnya.