"Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Dia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Dia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Dia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya.
"Tanya saja, Yah." Dia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini-berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu.
"Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" Pak Suhardi mulai menginterogasi putrinya.
"Tidak, Yah." Dia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran.
"Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan.
"Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Dia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu.
"Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Dia?" jawab Dia asal. Ia kecewa ayahnya malah membahas soal uang alih-alih menanyakan kabarnya.
Putrinya ini tidak suka basa-basi rupanya, sifat yang sama persis dengan ibunya, batin Pak Suhardi.
"Benar. Katakan berapa jumlah keseluruhan hutangmu. Ayah akan melunasinya dengan satu syarat." Pak Suhardi merasa sudah waktunya ia mendidik Dia. Semoga saja apa yang ia lakukan ini belum terlambat. Putrinya terlalu dimanja oleh Sahila.
"Bilang dulu apa syaratnya, Yah?" tanya Dia sambil terus memutar-mutar gelas. Ia sengaja membuat ayahnya kesal. Kepada Kencana dan Rahayu, ayahnya bisa bersikap selembut itu, namun kepadanya dingin dan datar. Dia cemburu.
"Kamu tidak boleh kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini. Kamu akan menggantikan Kencana untuk membantu pekerjaan Ayah di Citeko. Sebagai kompensasi, Ayah akan menggajimu lima belas juta setiap bulan, sesuai dengan uang bulanan yang kamu terima dari almarhumah ibumu. Bagaimana, kamu setuju?" Pak Suhardi membuat penawaran.
Dia tersenyum tanpa merasa ada yang lucu. Lima belas juta sesuai dengan uang bulanan yang diberikan ibunya? Ayahnya tidak tahu saja bahwa sejak SMA, ibunya tidak pernah lagi memberinya uang saku.
"Mengapa Ayah tiba-tiba ingin menggeser Kencana? Nanti dikira Kencana, Dia yang merebut posisinya."
"Kencana mungkin akan segera dilamar oleh Bayu. Otomatis, ia akan tinggal di Jakarta. Bayu itu kediaman utamanya memang di Jakarta; ia ke sini hanya untuk urusan bisnis. Kedua orang tuanya yang menetap di sini," terang Pak Suhardi.
"Dalam waktu dekat ini maksudnya berapa lama, Yah? Berikan Dia jangka waktu yang pasti." Dia meletakkan gelas kembali ke meja. Pembicaraan mulai serius.
"Minimal tiga tahun. Anggap saja itu kompensasimu pada Ayah, karena Ayah telah membayar semua hutang-hutangmu. Tetapi kalau kamu menemukan jodoh dan pacarmu mengajakmu menikah, Ayah tidak akan menghalangimu. Kamu boleh meninggalkan tempat ini kapan saja."
Ayahnya bukan membayar hutang-hutang ibunya, melainkan memindahkan krediturnya saja. Setelah hutang-hutang ibunya pada rentenir lunas, ia ganti berhutang pada ayahnya. Setali tiga uang, alias tidak ada bedanya.
"Kalau Dia bisa melunasi hutang sebelum waktu tiga tahun itu, bagaimana, Yah?" tanya Dia lagi.
"Ayah tidak memintamu membayar hutang. Ayah hanya ingin kamu tinggal di sini selama tiga tahun, sebagai kompensasi karena Ayah sudah membayar hutang-hutangmu. Yang Ayah pinta itu waktumu, bukan uangmu."
"Dia paham. Yang ingin Dia bahas, kalau Dia ingin kembali ke Jakarta sebelum tiga tahun dan bisa bisa membayar sejumlah uang itu pada Ayah, bagaimana?"
"Terserah padamu. Toh kamu sudah memenuhi tanggung jawabmu," ujar Pak Suhardi kecewa. Almarhumah istrinya benar. Dia memang tidak suka dekat-dekat dengannya.
Akan halnya Dia, ia menjadi sedih seketika. Ayahnya menahannya karena hutang rupanya, bukan karena ingin memperbaiki hubungan antara ayah dan anak.
"Kalau Dia menolak, bagaimana?" tantang Dia.
"Maka Ayah tidak akan membantu membereskan masalahmu. Ayah juga tidak akan memberikan uang sepeser pun untukmu. Kamu harus mulai belajar bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri," jelas Pak Suhardi tegas.
Ayahnya menganut sistem no free lunch. Semua ada harganya.
"Baiklah. Dia terima tawaran Ayah dengan satu syarat juga: genapkan gaji Dia menjadi dua puluh juta," pungkas Dia setelah berpikir sejenak. Hutang ibunya sudah berkurang setengahnya setelah ia lunasi dengan cara menjual semua aset-aset ibunya. Dengan gaji dua puluh juta sebulan, ia bisa mencicil sisa hutang ibunya. Ya, ia memang berencana membayar hutang ibunya. Namun, ia tidak akan mengatakan soal rencananya ini kepada siapa pun. Ia masih ingin membuat keluarga baru ayahnya kejang-kejang karena emosi padanya. Mereka semua memusuhinya bukan? Kalau begitu ia akan membuat mereka stroke saja sekalian!
"Mengenai total hutang, jumlah yang harus Ayah bayar adalah 1,1 miliar dari lima kreditur yang berbeda." Dia menghentikan kalimatnya ketika mendengar suara langkah kaki. Kencana menghampiri dengan langkah tergesa. Ada Bayu yang mengekor di belakangnya. Sepertinya keduanya sudah menguping cukup lama pembicaraannya dengan ayahnya.
"Teh Dia mau merampok Ayah? Gaji dua puluh juta sebulan? Belum lagi membayar hutang 1,1 miliar. Teteh benar-benar anak durhaka!" Kencana menatap Dia penuh kebencian.
Satu korban mulai kepanasan.
"Kenapa kamu marah-marah? Apa yang saya minta itu uangmu?" tanya Dia dengan nada mengejek.
"Memang bukan! Tapi apa Teteh tidak kasihan melihat Ayah? Selama ini Ayah bekerja mati-matian, sementara Teh Dia datang-datang hanya untuk meminta uang!" Kencana membentak Dia. Ia tidak terima Dia memeras uang ayahnya.
"Yang saya minta adalah uang ayah saya sendiri. Ayah juga tidak keberatan memberikannya. Kenapa kamu yang kebakaran jenggot? Takut tidak kebagian, ya?" Dia menjelingkan matanya. Melalui sudut mata, Dia melihat Bayu membuang muka. Jelas sekali kalau Bayu muak melihat tingkahnya. Peduli setan, ia toh tidak punya urusan dengan Bayu.
"Jangan khawatir, Cana. Harta Ayah masih banyak kok. Kalian semua tidak akan jatuh miskin dengan sedikit uang yang Ayah berikan pada saya." Dia mengedikkan bahu. Ia sengaja membuat bahasa tubuh paling menyebalkan agar Kencana makin panas.
"Poinnya bukan itu, Teh. Saya tidak mempermasalahkan soal uang!" Wajah Kencana merah padam karena emosi.
"Heh, tidak mempermasalahkan soal uang? Kamu ini pikun atau bagaimana? Kamu marah karena Ayah akan melunasi hutang-hutang dan perihal gaji saya, bukan? Itu semuanya kan uang, bukan daun?" Dia membuat ekspresi pura-pura polos. Di hadapannya, Kencana megap-megap menahan amarah. Kakak tirinya ini pintar sekali membuat dirinya emosi.
"Lagi pula kalian kan sudah menikmati uang Ayah sebelas tahun lamanya. Sekarang gantian dong, saya yang menikmatinya. Jangan serakah jadi orang. Orang serakah itu, kalau mati, kuburanmu jadi tambah sempit, lho. Tidak takut kamu?" Dia menggoyang-goyangkan telunjuknya.