Rara melamun di bangku tempat duduknya. Memikirkan segala tingkah Husein yang tiba-tiba perhatian padanya. Mungkinkah Husen mulai menyukainya? Rara menggelengkan kepala pelan. Itu tidak mungkin. Daripada sakit karena baper. Mending Rara berhenti berharap. Memang dia siapa, berani-beraninya berharap pada seorang pria yang sebentar lagi menyandang setatus Dokter, yang hadirnya banyak di damba para wanita.
"Rara, kok diem aja sih?" Rara mendongak, menatap pria yang wajahnya mirip dengannya.
"Gakpapa kok." jawab Rara lesu.
"Oh iya. Kamu kenal sama kak Husein?" tanya Aldrik penasaran. Bagaimanapun, ia harus memastikan adiknya baik-baik saja.
"Kenal, dia anak teman mama."
"Ada hubungan apa kamu sama orang tempramen itu?"
"Jangan ngatain sembarangan ya! Kak Husein tuh yang selalu bantuin aku." sewot Rara. Sebenci apapun ia pada Husein. Tapi, ia tak rela Husein di jelek-jelekkan orang lain.
"Bantuin gimana? aku lihat sendiri kalau dia kasar sama kamu." ucap Aldrik.
"Itu yang kamu lihat, sebenarnya dia itu baik. Lagian kamu kenapa sih ngurusin aku." Rara kesal dengan pria yang di hadapannya itu.
"Maaf, gak maksud. Kamu masih mau kerja di cafe kemarin?" tanya Aldrik mengalihkan pembicaraan. Rara bingung. Ia memikirkan konsekuensi yang akan terjadi bila ia melanggar aturan yang di buat Husein. Tapi, kalau ia tidak lanjut kerja. Ia malu pada Husein. Masak ia harus bergantung pada Husein. Yang setatusnya saja belum jelas.
"Iya, nanti aku datang kok." jawab Rara pada akhirnya.
"Berangkat sama aku aja!" ajak Aldrik.
"Iya deh."
Rara berfikir, tak selamanya ia bergantung pada Husein. Ia harus punya penghasilan sendiri. Kebutuhan dirinya yang sebenarnya banyak, tak melulu bisa ia kesampingkan. Rara tak sabar menunggu waktu siang, saat jam pelajarannya habis.
****
Husein menggaruk pipinya kesal. Ia sudah menunggu Rara di depan gerbang selama dua jam. Tapi, belum ada tanda-tanda munculnya si unyil yang ia cari. Dengan kesal, Husein menendang-nendang ban mobilnya. Banyak gadis-gadis yang histeris melihat tingkah menggemaskan Husen. Wajah Husen yang tampan, juga kemeja biru muda yang cocok untuk kulit putihnya, yang masih melekat pas di tubuhnya, membuat para gadis meleleh.
"Mas mas, lagi kumat ya? kok marah-marah gak jelas." ucap salah satu gadis diantara lima orang gadis yang melintas. Mereka semua terkikik geli melihat wajah merah Husein.
"Iya, emang gue lagi kumat. Ngapain lo?" Husein memelototkan matanya. Sedangkan gadis-gadis tadi berlari sambil tertawa.
"Rara! kamu udah permaluin aku. Awas aja kalau ketemu. Aku kasih pelajaran." gerutu Husein sebelum memasuki mobilnya.
"Uh malu sekali diketawain ciwi-ciwi tadi," geram Husein menepuk-nepuk pipinya gemas.
Kak Regan is calling....
"Wah nih orang nyari gara-gara juga. Ngapain telfon sih." dengan Memaki maki, Husein tetap saja mengangkat telfon dari kakanya.
"Apa?" ketus Husen.
"Gak sopan banget kamu sama kaka ipar!" teriak Mika di sebrang sana. Husein memandang hp nya. Bener Regan kan yang telfon? kenapa jadi Mika.
"Eh kamu Mik. Aku kirain Kak Regan."
"Mas Regan lagi sama Keenan. Aku cuma mau tanya. Teman deket kamu kerja di cafe aku sejak kapan?" tanya Mika.
"Hah maksudnya? emang aku punya temen deket? ngawur aja kamu."
"Si Rara itu loh."
"Heh jangan sembarangan kalau ngomong. Kemarin Rara udah aku bilas saat berani kerja di cafe kamu." teriak Husein. Tanpa mematikan panggilan, ia menancap gas ugal-ugalan untuk segera menuju ke cafe milik kakaknya.
Di dalam, ia di hadang oleh Mika. "Mana Rara?" tanya Husein tanpa basa basi.
"Ceritain ada apa? aku denger kemarin kamu buat keributan perkara gadis itu." tuntut Mika.
"Aku gak setuju ya kamu terima Rara kerja serabutan disini. Gadis itu sangat payah. Gak bisa lakuin apapun dengan benar. Buat rusuh aja bisanya." ucap Husein. Tanpa sadar, Rara mendengar semuanya. Kembali hatinya harus merasa sakit. Bukankah itu hal biasa. Lalu kenapa ia sedih?. Ia memang gadis yang payah yang tak bisa mengerjakan apapun dengan benar. Rara kembali ke dapur, mengerjakan apa yang ia bisa.
"Aku malah gak tau kalau dia kerja disini." ucap Mika. dia saja baru datang hari ini dan mendapati Rara.
"Tanyakan saja pada Aldrik. Dia yang merecoki Rara kerja disini." sewot Husein. Ia benci menyebut nama Aldrik. Husein seakan cemburu, Rara terus di tatap oleh Aldrik.
"Lalu apa masalahnya denganmu?" pancing Regan yang tiba-tiba datang. Husein menggaruk pipinya. Ia bingung harus menjawab apa. Iya juga, kenapa dia mempermasalahkan semua itu. Emang apa hubungannya dengan Rara, hingga ia melarang Rara untuk tidak ini itu.
"Ini gak masuk akal. Kenapa aku peduli dengan Rara." batin Husein. Tanpa mau pusing memikirkan semua itu, ia beringsut menuju dapur. Amarahnya memuncak kala melihat Aldrik memeluk tubuh Rara. Dengan kasar, Husein menarik Aldrik dan melayangkan pukulan bertubi-tubi.
Mendengar kegaduhan, Regan menyusul ke arah dapur. Semua staf sibuk melerai adiknya yang terlibat baku hantam sepihak. Tubuh Aldrik yang tak sebesar Husein kalah telak. Wajahnya babak belur.
Tak menghiraukan Aldrik. Husen segera menarik Rara pergi. Rara pasrah, ia tak punya keberanian melawan Husein yang diselimuti amarah.
Husein membanting Rara kasar di jok mobil, sebelum ia menyusul untuk duduk di balik kemudi.
"Sudah berapa aturan yang kamu langgar?" desis Husein tajam tanpa melirik Rara. Rara ketakutan, sungguh. Tak pernah ia lihat Husein semarah ini. Otak Rara juga tak sampai untuk memikirkan asal muasal Husein marah. Kejadian ini terlalu cepat untuk bisa Rara cerna.
"Pertama, kamu melanggar untuk tidak bekerja lagi. Kedua, kamu dengan lancang membiarkan tubuhmu di peluk laki-laki lain. Semurah itukah dirimu?" Husein mencengkram dagu Rara dengan erat, membuat Rara meringis kesakitan.
"Katakan sesuatu bodoh! benar tubuhmu semurah itu?" bentak
Husein.
Rara diam menangis, ia memejamkan matanya berharap akan mengurangi sedikit luka yang memporak-porandakan hatinya. Luka dihati memang yang paling sakit. Lisan itu seperti pedang. Kalau tak hati-hati bisa melukai siapapun dengan atau tanpa sengaja.
"Kakak tau apa yang aku benci? aku benci menangis di hadapan kakak. Kaka akan terus menindasku dengan kejam. Dan tangis ku ini selalu karena kakak. Aku memang bodoh, tapi aku gak murahan. Saat aku merasa bahagia, karena ada yang mengaku sebagai kaka kandungku, tapi kak Husein malah melukaiku dengan omongan kaka yang kesekian kali sangat menyakitiku. Aku tidak murahan kak. Jangan katakan itu! hiks ... hiks .." runtuh sudah pertahanan Rara. Ia menangis terisak. Hatinya akan selalu sakit karena Husein.
Husein mengendurkan cengkraman tangannya pada dagu Rara. Ia menatap wajah Rara yang terisak. Amat sangat menyedihkan. Husein merutuki mulutnya yang terlalu pedas. Mulutnya selalu tak bisa di kontrol, padahal dia cowok.
"Maaf!" hanya satu kata yang bisa Husein ucapkan. Rara memalingkan wajahnya. Ia masih terkejut dengan pengakuan yang Aldrik lontarkan. Aldrik mengaku sebagai saudara kembarnya, lengkap dengan bukti akta lahir dan foto-foto mereka. Tapi, kenapa ia tak ingat sesuatu. Rara memfokuskan pikirannya menjelajah beberapa tahun silam. Hanya ada kepingan-kepingan kecil yang sulit ia gabungkan. Ingatan Rara hanya jelas tentang perlakuan kasar mamanya dan papa nya yang terlalu pilih kasih dengan Tiara. Kalau benar Aldrik adalah kakaknya. Benarkah orang tuanya sejahat itu. Kepala Rara rasanya makin berputar. Kepingan kecil bagai puzzel yang terlintas membuat ia pusing. Rara, mama, papa, Tiara, Aldrik. Semua ada di situ. Aldrik yang selalu menjadi tamengnya saat kecil. Rara bersyukur, Aldrik memang kakanya. Di dunia ini, ia jadi merasa tak sendiri. Ada alasan untuk dia kembali bangkit. Yaitu kakanya.
"Ra, kamu kenapa?" panik Husein saat Rara memegangi kepalanya. Rara menggelengkan kepalanya pelan Sebenarnya dia pusing. Tapi, kalau ia bilang, pasti akan menyusahkan Husein lagi.
"Ra, jawab dong! kamu kenapa?" panik Husein saat Rara menepuk nepuk kepalanya.
"Kamu jangan buat aku khawatir!"
Rara tergugu. Benarkah Husein khawatir padanya? atas dasar apa pria itu khawatir? padahal jelas sekali hubungan mereka sangat tidak pasti.
"Yaudah, aku minta maaf. Aku antar pulang sekarang. Sampai rumah istirahat, makan. Uang yang aku kasih, kamu pake sepuasnya."