7. Karena lisan

1378 Words
Bukannya mengantar Rara pulang, Husein membawa Rara ke Apartemen sederhana yang Papa nya belikan. Sebelum ke Apartemen, tadi Husein sempat mampir ke minimarket untuk membeli bahan makanan. Rara protes karena Husein menipunya. Mau mengantar pulang, malah di belokkan ke tempat asing yang baru Rara kunjungi. "Ini apartemenku, ayo masuk!" Ajak Husein. Dengan terpaksa Rara menuruti. Kalau dia tidak nurut, dia sendiri yang bingung karena tak tau jalan pulang. Rara mengernyit saat memasuki apartemen Husein. "Kamu tinggal sendiri?" Tanya Rara dengan lancang. "Aku kesini cuma beberapa kali aja. Soalnya kasihan Mama di rumah sendiri." Tak sesuai dugaan Rara. Husein mau menjawab pertanyaannya yang cenderung sangat kepo. Rara menatap horor ruang tamu yang banyak berserakan bungkus snack dan minuman kaleng. Ada juga kaos yang tersampir di sofa. Rara tebak, kaos itu pasti bau asem. Husein yang berpenampilan Rapi, berbanding terbalik dengan kebiasannya yang sangat jorok. "Maklumi aja, aku cowok. Males kalau beres-beres." Ucap Husein bermaksud membela diri. Ia sebenarnya malu melihat Rara yang menatap ruangannya dengan ngeri. "Ayo ke dapur!" Ajak Husein. Lagi-lagi Rara menurut, ia membuntuti Husein persis seperti anak yang membuntuti ayahnya. Masuk ke dapur Husein, Rara makin menatap horor.  Piring, panci, gelas, semua berserakan di meja yang bahkan sudah di kerubuni dengan semut-semut kecil. Jijik, tentu saja. "Kak, itu gak di beresin dulu? Aku jijik banget lihatnya." Tanya Rara. Rara terlalu jujur mengungkapkan isi hatinya, hingga membuat Husein mendelik. "Yuadah bantuin!" Titah Husein. Rara mengangguk. Ia mulai memunguti gelas dan piring yang berserakan. Mencucinya di wastafel. Rara bekerja dengan hati-hati agar tidak memecahkan satu barang pun. Ia akan membuktikan pada Husein kalau dia bisa. Sedangkan Husein mengambil lap untuk mengelap meja yang banyak semutnya. Husein juga meringis geli, kenapa ia sejorok ini. Masih ada satu lagi kejorokan Husein yang ia sembunyikan. Dia sering meletakkan celana dalam di sembarang tempat. Husein celingak-celinguk. Takut ia lupa memberesi celana dalamnya. Bisa jatuh harga dirinya kalau terciduk dengan Rara. "Kak, udah semua?" Tanya Rara menatap sekeliling yang sudah bersih. Mungkin tinggal menyapu dan mengepel saja. Rara sangat bersyukur. Tangannya tidak memecahkan apapun, walau ia mencuci dengan tangan gemetar. Salahkan Mamanya yang tak pernah mengajarinya pekerjaan rumah. Ia jadi tak bisa apa-apa. "Udah. Aku aja yang nyapu." Jawab Husein. Husein mengambil sapu, mulai menyapu dapur yang debunya sudah lima centi. Setelah selesai, Husein segera mencuci tangannya. Perutnya juga sudah keroncongan. "Cepet masakin sesuatu!" titah Husen pada Rara. Rara mendongak. Menatap ngeri kearah Husen. "Rara gak bisa masak kak," jawab Rara. "Udah segede gini gak bisa masak? ck!. Coba dulu sana!" Husen mengeluarkan belanjaannya. Menyodorkan lebih dekat pada Rara. Dengan merinding, Rara mengambil wortel dan teman-temannya. Ia pernah melihat mamanya memasak sayur bening. Ia akan coba, tapi ia sama sekali tak tau bumbunya. "Kenapa bengong? Aku udah lapar. Kamu pasti juga sudah lapar, kan?" tanya Husein. Rara mengangguk. Modal nekat, Bismillah. Rara memotong wortel dengan perlahan. Ia tak takut tangannya kena pisau. Yang ia takutkan kalau potongan wortelnya salah. Mengingat Husein ini rajanya protes. Semua yang dia kerjakan, bisa salah di mata pria itu. Husein masih setia menatap gerak-gerik Rara. Rara sangat terlihat tak pernah memasak. Gerakan Rara yang takut dan sang kaku membuat Husein kasihan. Ia juga khawatir tangan Rara terkena pisau lagi. Gadis itu sangat ceroboh melebihi apapun. Tapi, lagi-lagi egonya terlalu tinggi. Rasa khawatirnya pada Rara, tertutup ego yang sangat besar. Rara sudah berhasil memotong wortel, kobis dan bunga kol dengan potongan yang sangat besar-besar. Ia juga telah mengorbankan dua jarinya yang harus terkena pisau. Rara mengalirkan air di kedua jarinya agar darahnya berhenti. "Makanya hati-hati!" ucap Husein menggeret tangan Rara. Husein menempelkan handsaplas pada kedua jari Rara. Meniupnya pelan berharap perih di jari Rara bisa hilang. "Cepet terusin masaknya!" titahnya lagi dengan tak berperasaan. Wajah Husein pun, juga tak memancarkan rasa bersalah sedikitpun. Rara jadi heran, sebenarnya Husein manusia apa bukan. Kenapa melihat jarinya terkena pisau, tidak bisa membuat Husein luluh. Husein terus saja memerintahnya dengan kejam. Rara ingin sekali menabok muka tak berdosa milik Husen. Sudah tau jarinya sakit, malah di suruh lanjutin. Dasarnya memang Husein bukan tipe laki-laki peka. Husein adalah tipe laki-laki kejam, semaunya dan dan tak berperasaan. Pokoknya, semua sifat b****k itu dimiliki Husein. Rara membaluri tempe dengan tepunh seraya meremas-remas dengan perasaan dongkol. Membayangkan tempe itu adalah Husein yang bisa ia remas wajahnya. Dengan kesal, Rara mencemplungkan tempe di minyak yang sudah panas. "Awww!" pekik Rara kala tangannya terciprat minyak, karena kecerobohannya memasukkan tempe dengan keras. Rara mengusap kasar tangannya, sedang Husen tersenyum kecil. Harusnya, Rara menggoreng tempe dengan kalem. Memasukkan dengan hati-hati lewat pinggir. Bukan malah melemparnya. Kan, yang celaka Rara sendiri. "Tempe kurangajar!" maki Rara dalam hati. Rara membalik tempe dengan takut-takut. "Manis sekali dia!" batin Husen. 'Plak tampar Husen pada pikirannya sendiri. Husein mengenyahkan wajah Rara dari pikirannya agar tak terus terusan membayanginya. Husein tidak mau terlalu terpesona dengan gadis imut, lucu nan menggemaskan yang sayangnya sangat ceroboh, bernama Rara Azizah. Rara memekik girang ketika berhasil menggoreng banyak tempe. Ia sudah merasa menjadi seorang koki yang handal. Sekarang, ia harus meracik bumbu untuk sayur bening. Mengandalkan perasaannya, ia menuangkan banyak gula dan sedikit garam pada air mendidih. Menambah dengan potongan bawang putih dan bawang merah yang lumayan banyak. Tiga puluh menit Husein masih setia menatap Rara. Kadang ia akan tersenyum sendiri seperti orang sinting. Wajah Rara berkali kali lipat lebih cantik kala tersenyum. Plak! sekali lagi, Husein harus menampar pikirannya sendiri. "Sudah siap!!" pekik Rara girang. Dengan segera ia menuangkan sayur bening di dua mangkuk. Satu untuk Husein dan satunya untuk dirinya sendiri. Tak lupa, ia juga menghidangkan banyak sekali tempe. "Hem, tidak buruk!" ucap Husein menilai. "Tapi mungkin, kalau aku jadi suamimu, bukannya tambah gemuk, tapi makin kurus. Hanya di kasih makan sayur bening sama tempe tiap hari." ucap Husein dengan wajah tak berdosanya. Rara mendongak, ingin rasanya menabok wajah Husein yang sayangnya sangat ia cintai. Rara tersadar, nasi belum ia hidangkan. Tanpa disangka, Rara menitihkan air matanya. Gagal sudah menarik perhatian Husein. Masalah sepele saja, sampai ia lupakan. Harusnya Husein menilainya gadis yang sempurna. Tapi, gagal sudah usahanya. "Eh eh, jangan nangis. Gakpapa ini aja. Kakak makan kok!" ucap Husein panik melihat Rara menangis. Entah kenapa ia jadi khawatir. Husein menyendok sayur bening dengan lahap. Ingin rasanya ia menyemburkan makanan yang rasanya membuat perut mual. Sayur yang masih mentah dengan rasa yang sangat manis, campur pedas dari bawang, potongan yang besar-besar juga tempe yang hambar, membuatnya ingin menyumpah serapah Rara. Tapi, ia tak tega dengan Rara. Hell! sejak kapan ia memikirkan Rara?. Rara juga menangis, membuatnya makin kalangkabut. "Enak kak?" tanya Rara sembari menghapus air matanya. "Enak kok. Ini buat kakak juga ya. Kakak pesankan ayam geprek buat kamu." ucap Husein merebut sayur bening bagian Rara. Mata Rara berbinar, tak menyangka untuk pertama kalinya, Husein memujinya. Tak terasa, hati Rara bagai dilambungkan setinggi-tingginya. "Kalau kaka mau, aku bisa kok masakin kaka tiap hari." ucap Rara tanpa sadar. Husein memelototkan matanya. 'Jangan sampai ya Allah. Batin Husein. Jangan sampai ia kritis gara-gara overdosis makanan beracun untuk perut, buatan rara ini. "Tidak perlu. Karena prinsip hidup kakak. Jangan menuntut istri untuk bisa masak, tuntutlah istri untuk selalu mencintaimu." ujar Husein menatap dalam manik mata Rara. Blush! Pipi Rara merah seketika. Apa Husein mengodenya? pikiran dan bayangan indah menari-nari di benak Rara. Husein yang mulai perhatian dan Husein yang mulai baik hati. Tapi, angan indahnya hilang seketika saat kalimat pedas Husein terdengar lagi. "Dasar bocah, baperan banget!" ujar Husein. Rara menundukkan kepalanya. Bagaimana dia tidak baper. Kalau Husein membahas masalah istri di depannya. Sebenarnya Rara ingin tanya dengan kelanjutan hubungan mereka. Tapi, Rara malu. Rara tak bisa menyebut Husein sebagai calon suaminya, kalau Husein saja seakan menggantung hubungannya. Rara bingung dengan dirinya sendiri. Disisi lain, ia ingin menjadi istri Husein. Disisi lain, ia juga takut. Takut kalau ia sudah terlalu dalam jatuh pada pesona Husein. Husein akan meninggalkannya begitu saja. Apa hati Rara akan baik-baik saja saat Husein pergi? Rara menggelengkan kepalanya. Mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang menari-nari di pikirannya. "Apa hobbymu itu melamun?" tanya Husein yang membuat Rara mendongak. Bahkan Husein sama sekali tidak peka telah melukai perasaan Rara. Wanita itu mahluk baperan. Tapi, laki-laki mahluk tidak pekaan. "Setelah ini, aku antar pulang!" ucap Husein. Rara hanya mengangguk tanda setuju. Husein melihat perubahan pada wajah Rara. Tadinya, Rara kelihatan senang dan berbinar. Tapi, kenapa gadis di depannya ini kembali sedih lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD