45. Emosi di pagi hari

1894 Words
Dering alarm terdengar begitu nyaring di telinga Aiden yang baru saja tertidur dua jam lamanya. Azan subuh sudah berkumandang, mau tidak mau Aiden harus menjalankan perintah agamanya untuk menunaikan shalat dua rakaat itu. Bangun dengan mata yang sangat berat. Ia baru sempat tidur jam 3 pagi, dan jam 5 pagi seperti ini ia harus sudah membuka matanya kembali. Aiden mengambil air mineral yang ada di meja hadapan nya, meneguk habis air yang ada di dalam botol itu, sebelum ia turun ke bawah untuk shalat di mushola rumahnya. Sebelum turun, Aiden lebih memilih mencuci mukanya di wastafel karena ia tidak ingin melihay Yara khawatir dengan matanya yang sembab akibat kurang tertidur. Selesai, ia pun mengelap wajahnya dengan tissue. Lalu, Aiden keluar dari Kamarnya untuk beribadah di mushola. Semua lampu di rumah ini sudah menyala, tapi tidak ada seorangpun yang ia lihat di sini. Aiden menghiraukan itu semua, ia lebih baik berwudhu dan cepat-cepat menyelesaikan shalatnya. Butuh waktu 12 menit, Aiden menyelesaikan semuanya. Ia melipat alas shalat yang ia gunakan dan ia simpan di tempatnya kembali. Aiden memakai sandalnya dan berjalan ke lantai dua untuk pergi ke ruang gym, ia ingin membuat tubuhnya lebih segar dengan berolahraga. ''Banyak banget debunya, berapa hari gak kepake,'' gumam Aiden disaat pertama kali menyalakan lampu ruangan ini. ''Bibi enggak bersihin tempat ini apa?'' Sebelum memulai olahraganya, Aiden memilih untuk mengambil sapu, dan membersihkan lantai ruangan ini yang sudah di lapisi debu. ''Baru aja beberapa hari enggak di pakai, udah berdebu kaya gini.'' Selesai, Aiden terlebih dahulu mencuci tangannya. Dan ia pun memulai berolahraga. Hanya olahraga ringan yang sering ia lakukan di waktu senggang. Tapi karena beberapa hari belakangan ini ia sangat sibuk, dan waktunya sedikit ketika berada di rumah, Aiden jadi tidak melakukan kegiatan rutinnya itu. Walaupun begitu, tubuhnya yang sudah terbentuk oleh otot-otot sempurna, tidaklah berubah. Pintu ruangan ini tiba-tiba terbuka, Aiden yang sedang berlari di atas treadmill-nya harus menurunkan kecepatan, karena ia melihat Yara yang masuk menghampirinya. ''Pagi, Bunda,'' sapa Aiden dengan senyum manisnya. Yara pun ikut tersenyum, dan kembali menyapa Aiden. ''Pagi, Nak ...'' untung saja Yara memberanikan diri untuk menghampiri Aiden pagi ini. Ia takut jika Aiden akan menolak bertemu dengannya karena masalah semalam. Tapi, syukurlah Aiden ternyata tidak memiliki dendam. ''Sudah lama kamu enggak olahraga di sini ya?'' ''Iya, Bun. Makanya aku olahraga sekarang. '' ''Kamu tidur jam berapa semalam? Bunda semalam keluar dan masih liat lampu kamar kamu menyala.'' ''Aiden tidue kok, Bun,'' jawab Aiden seadanya. Yara mengangguk. Ia ingin menanyakan sesuatu kepada Aiden, tapi takut jika anaknya itu murka dan marah kepadanya. Aiden yang tahu ekspresi Yara kebingungan itu pun, langsung bertanya. ''Bunda mau tanya apa? Tanya aja,'' kata Aiden yang meyakinkan Yara untuk bertanya. ''A--emm ... selesaikan saja dulu olahraga kamu. Bunda tidak akan mengganggu,'' kata Yara yang memilih berbalik badan. ''Bunda ...'' ingat Aiden dengan nada lembutnya. Yara yang sangat ragupun akhirnya kembali membalikan badannya lagi ke arah Aiden yang masih berada di atas treadmill-nya. ''Emm ... Kamu marah sama ayah?'' tanya Yara hati-hati. Aiden menggeleng. ''Kenapa harus marah, Bun? Ayah masih ayah Aiden,'' katanya yang menjawab dengan santai. Ada kelegaan di hati Yara mendengar ucapan Aiden. Untung saja Aiden tumbuh menjadi laki-laki yang sangat sopan. Tidak sia-sia dirinya mengajarkan dengan sabar anak laki-lakinya itu untuk tumbuh menjadi orang baik. ''Kamu gak marahkan sama ayah kamu? Maafkan ayah kamu ya. Kamu tau sendiri, egois kalian itu sama.'' Aiden mengangguk mengerti. ''Iya, Bun. Aiden paham. Ayah pasti marah karena ulah Aiden yang ceroboh. Udah ngilangin uang sebanyak itu.'' Setelah berbicara itu, Aiden memilih untuk mematikan treadmill-nya dan menghampiri Yara. Yara yang melihat tubuh Aiden berkeringat, ia pun memberikan anaknya itu handuk kecil berwarna putih. Aiden menerima handuk kecil itu dengan baik. ''Terimakasih, Bunda ....'' Yara menepuk pundak Aiden. ''Kamu jadi anak laki-laki harus kuat ya. Bunda dan ayah bakalan seneng kalau kamu bisa meneruskan usaha yang sudah ayah perjuangkan dari nol. Kalaupun tidak, Bunda tidak akan marah. Karena bunda masih menghargai kemauan kamu.'' Aiden yang mendengat itu, memegang kedua tangan Yara. ''Aiden mulai membuka hati untuk bisa menjalankan usaha ayah. Aiden mulai terima dengan senang hati. Hanya saja, Aiden tidak suka dengan cara ayah yang selalu saja seperti itu.'' ''Ayah mau yang terbaik sama kamu.'' ''Aku ngerti, Bun. Tapi ... Tentang permasalahan hubungan pribadi Aiden, Aiden enggak suka kalau ayah ikut campur tentang hal itu.'' Yara mengangguk dan mengerti. ''Untuk urusan itu, biar Bunda yang bicara baik-baik dengan ayah. Bunda yang akan menghampiri anak dari rekan ayah yang katanya akan di jodohkan dengan kamu.'' ''Enggak perlu sejauh itu, Bunda.'' ''Perlu, Aiden. Rencana ini sudah dibuat oleh ayah sejak lama. Perempuan itu tau akan di jodohkan dengan kamu. Bahkan ayah kamu dan rekannya itu sudah menyiapkan tanggal pertunangan tanpa sepengetahuan Bunda.'' ''Jadi, cuma Aiden yang enggak tahu di sini? Kenapa harus sejauh itu? Bahkan Aiden tidak tahu siapa nama perempuan itu.'' Yara mengangguk dengan ragu. ''Iya, Nak.'' Aiden menatap wajah Yara dengan tatapan kosong. Ini yang ia tidak suka dengan permainan bisnis. Selalu saja menghubungkan satu hal dengan hal lain. ''Aku gak mau Deema tau tentang hal ini. Dan ... Bunda pasti sudah tau rasa sayang aku untuk Deema sebesar apa.'' Hati Yara tersentuh sampai tak sadar mengeluarkan air matanya. Ia tahu ketulusan hati antara Aiden dan Deema. Ia paham bagaimana perasaan anaknya, tapi di sisi lain, Yara tidak bisa membantah tentang perintah dari suaminya. ''Bunda akan mencoba mencari jalan yang terbaik buat kamu.'' .... Pagi hari dengan cahaya matahari yang sangat terik ini, menemani pembelajaran olahraga di sekolah SMA Cahaya 2. Kelas Deema yang kali ini berolahraga di lapangan outdoor. Doa dari teman-teman sekelas Deema yang ingin meminta hujan turun, ternyata tidak terkabul. Pagi ini cuaca ternyata sangatlah cerah. ''Ayo semuanya cepat berkumpul.'' Suara besar Aiden sudah menginterupsi mereka untuk segera berjajar sesuai arahan ketua kelas yang memimpin pemanasan kali ini. ''Pak, ganti dong. Masa ketua kelasnya yang mimpin pemanasan terus ...'' suara Lola tiba-tiba terdengar di semua telinga manusia yang ada di tempat ini. Aiden yang mendengar itu pun menjawab ucapan Lola. ''Okey. Kamu yang gantikan.'' Betapa bahagianya Lola di sana, sampai-sampai ber-tos ria dengan Aya dan Celline. Ketika ia melihat Deema yang sudah melipat tangannya di depan, Lola pun menjulurkan lidahnya. ''Wle ... Gue pinjem dulu ya laki Lo.'' Sambil tertawa senang ia pun maju ke depan. Deema tidak benar-benar marah, ia hanya bercanda. Lagipun melihat Lola yang seperti itu ternyata hiburan bagi semua orang. Huft ... Resiko memiliki kekasih yang tampan. ''Oke, semuanya ikuti gerakan Lola. Saya pantau dari sini.'' Lola mulai memimpin pemanasan olahraga teman-teman kelasnya kali ini. ''Sat ... Tu ... Du ... A ... Ti ... Ga ... Ba ... Pak ... Gan ... Teng ....'' Semua orang yang ada di sana tertawa terbahak-bahak karena mendengar teriakan Lola. Alih-alih menghitung, Lola malah memuji Aiden. ''Wah ... Si Lola sudah mengibarkan bendera perang,'' ucap Aya yang memanas-manasi Deema. ''Hajar aja, Deem. Jangan di kasih ampun,'' kini Celline ikut berbicara. Bukannya mengikuti pemanasan yang kembali dilanjutkan, Deema malah mengepalkan tangan kanannya yang ia pukul-pukul ke telapak tangan kirinya. ''Biar Gue jadiin perkedel lama-lama si Lola.'' ''Itu yang di ujung sana, kenapa diam saja?'' Aiden menunjuk ke arah Deema menggunakan kertas yang ia gulung-gulung. Sontak semua perhatian pun kembali teralihkan. Saat ini semua murid kelas Deema pun menatap keduanya. ''Cie ... Bapak jangan marahin pacarnya gitu dong ... Masa dimarahin sih ...'' kompor salah satu siswi yang sama-sama memiliki mulit rumpi seperti Lola. ''Iya nih, Pak. Enggak udah di umpet-umpetin kali hubungannya ....'' ''Cie ...'' semua murid kembali berbicara hal yang sama. Deema sudah sibuk dengan menyimpan jari telunjuknya di depan mulutnya agar semua teman-temannya itu diam, tapi usahanya tidak membuahkan hasil. ''Sudah ... Sudah ... Kalian lari delapan putaran lapangan ini. Cepat.'' ''Hah? Serius, Pak? Lapangan segede ini delapan kali putaran?'' Lola kini membuka suaranya memprotes. ''Iya, nih Pak. Dua putaran aja keringet udah ngalir.'' ''Oh ... Saya tam--'' Belum sempat Aiden menyelesaikan ucapannya, Aya berteriak kepada semua teman-temannya untuk menerima perintah dari Aiden. ''Ayo teman-teman! Kita lari!'' Sontak semuanya pun menjalankan tugas mereka untuk berlari keliling lapangan sebanyak 8 kali putaran. Aiden kadang-kadang memang tidak memiliki hati. Deema yang melihat Aiden hanya duduk santai sambil menuliskan sesuatu di kertas pun sedikit kesal. Bagaimana bisa Aiden menyuruh dirinya dan teman-teman sekelasnya untuk berlari sebanyak ini? ''Ah ... Pak Aiden memang gak punya hati,'' kesal Lola yang kini ikut berlari di gerombolan teman-temannya. ''Iyalah. Orang hatinya udah diambil Deema,'' jawab Celline. Semua yang mendengar itupun tertawa. Deema hanya bisa sedikit tersenyum, karena ia sudah lelah berlari padahal baru saja satu putaran. Apalagi ditambah dengan kepalanya yang sedikit pusing, karena luka benturannya semalam belum pulih. ''Heh ... Huft ... Heh ... Heh ... Bisa-bisa asma Gue ...'' Lola kembali mengeluh. ''Kalian sih pada ngeledek. Jadi aja doi murka.'' ''Bukan Gue ya,'' kata Lola yang tidak ingin di salahkan, padahal awal mulanya ia yang memancing teman-temannya untuk mengompori. ''Gara-gara, Lo, Lola. Kalau Lo gak ngomong semua pasti diem,'' kini Aya berbicara. ''Hehehe ... Iya sih ... Sorry guys ....'' ''Sudah ... Sudah ...'' Aiden langsung meniup peluitnya. ''Baru tiga puteran, Pak.'' Aiden mengangguk. ''Sudah. Berkumpul.'' ''Huft ... Akhirnya ...'' Deema mengusap keringatnya yang bercucuran. Untung saja ia tidak memakai make up kali ini, ia tidak bisa bayangkan jika tadi ia merias wajahnya. Pasti bentukan wajahnya selesai olahraga sangat aneh. ''Materi kali ini, bermain basket.'' ''Dari SD loh, Pak. Masa materinya gak ganti-ganti ...'' Aya yang tak suka bermain basket pun protes. ''Pelajaran pendidikan kesehatan jasmani kan memang seperti itu.'' ''Di lapangan dalem aja yuk, Pak. Di sini panas ....'' Deema sudah menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah tidak mengerti, mengapa ketiga temannya itu sangat suka sekali berbicara dengan Aiden tanpa memperdulikan perasaannya. Sedikit lebay, tapi kenyataannya seperti itu. ''Matahari pagi, sehat. Okey, saya bagi ke dalam enam kelompok.'' ''Karena ada satu kelompok yang hanya berisi empat orang, jadi saya masuk ke sana.'' Hati Deema sudah tidak enak. Ia tidak banyak bicara saat ini, Deema hanya memperhatikan wajah Aiden selaku gurunya itu yang sangat serius. Deema bisa mendengar semua orang sengaja mengurang-ngurangi kelompoknya agar Aiden bisa masuk ke dalam kelompoknya. ''Ayo, Gue, Deema, Lola, Aya dan Nida.'' kata Celline yang sudah mengelompokkan mereka. Setiap kelompok memberikan kertas kepada Aiden agar mereka bisa saling mencari lawan satu sama lain. ''Jangan risau, Deem. Ada Celline sama Nida yang jago basket,'' kata Aya sambil merangkul pundak Deema. Bukan ... Deema bukan risau tengang hal itu. Tapi ternyata, Aiden masuk ke dalam salah-satu kelompok perempuan yang ada di kelasnya, yang akan melawan timnya nanti. ''Wah ... Wah gi-la ... Ini sih bakal ada perang dunia ke dua belas,'' kata Lola yang menutup mulutnya tak percaya, melihat tulisan nama-nama pemain yang tercetak jelas di papan tulis. ''Sabar, Deem. Kita harus lawan mereka.'' Kata Celline dengan semangat membara. ''Tenang, guys. Enggak perlu khawatir. Gue baik-baik aja.'' Deema mulai melakukan aksinya, menebarkan pesonanya dengan membuka ikatan rambutnya sambil berjalan ke arah tengah lapangan. Tak lupa, sebelum itu ia dipakaikan terlebih dahulu lipstik oleh Celline dan Aya memakaikan Deema perfume yang bisa memikat hati banyak pria. Sorak sorai suara tepuk tangan pun menggema. Apalagi kaum laki-laki yang melihat kelompok Deema maju ke tengah lapangam, untuk bertanding melawan kelompok ciwi-ciwi kelasnya yang isinya pun terdapat Aiden di sana. Aiden menahan kekesalannya, karena tidak suka dengan penampilan Deema kali ini yang sangat mencolok. Apalagi dengan kaos olahraga berwarna putih ini, ah ... Sudahlah Aiden tidak ingin mencari masalah di sini. Ia akan menyelesaikannya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD