46. Masalah masih berlanjut

2170 Words
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Deema saat ini sudah berada di dalam mobil Celline. Celline mengajak dirinya agar pulang bersama. Berakhirlah ia di dalam mobil Celline saat ini. ''Rumah Lo di mana?'' tanya Celline yang belum mengetahui dimana rumah Deema. ''Anter aja Gue ke Toko kue The K. Gue ada perlu ke sana.'' ''Toko kue? Ngapain,Deem? Lo punya acara?'' Deema menggeleng. Mungkin ini saatnya ia harus berbicara kepada Celline jika ia bekerja di sebuah toko kue. Ia akan melihat reaksi temannya itu. ''Emmm ... Udah tiga minggu Gue kerja di sana.'' ''Hah? Serius?'' Deema mengangguk. ''Gue mau nyalurin hobi menggambar, menghias di sana.'' ''Ya ampun ... Lo hebat banget bisa hidup mandiri.'' Ada sedikit kelegaan melihat Celline yang mendukungnya. Ia kira, jika ia memberitahu tentang profesinya, teman-temannya itu akan menjudge dirinya, tapi ternyata tidak. ''Ya ... Seperti itulah keadaannya.'' Celline memeluk Deema dengan senang. ''Gue bangga banget punya temen kaya Lo. Dan ... Gue ngerasa semenjak Lo ketemu sama Pak Aiden, sikap dan sifat Lo jadi berubah.'' ''Pak, antar dulu ke toko The K ya,'' kata Celline yang berbicara ke supirnya. Deema hanya tersenyum membalas ucapan Celline. ''Gak usah lebay deh ah ... Hahaha ....'' ''Ih, bener tau. Gue selama ini merhatiin Lo kali. Gue juga bayangin gimana nanti kalau Lo udah jadi nyonya Aiden. Uuuwuuu ....'' ''Hahahaha ...'' Mereka pun tertawa bersama karena membahas hal konyol seperti itu. ''Lo kalau kerja pulang jam berapa?'' ''Emm ... Setutupnya toko aja. Kalau orderan banyak Gue bisa pulang jam dua belas malam.'' ''Ya ampun ... Pasti Lo capek. Kapan-kapan Gue mau ke sana ya.'' Deema mengangguk. ''Iya. Lo wajib ke sana. Kalau ada acara apapun, jangan lupa pesen di sana ya.'' ''Cie promosi ....'' ''Hahaha ... Biar makin terkenal.'' Mereka pun kembali mengobrolkan hal-hal lainnya. Jika ada yang bertanya mengapa Deema tidak diantar oleh Aiden, jawabannya adalah ... Deema kabur dari hadapan Aiden dan menghindar. Bukan apa-apa ia melakukan ini, ia hanya tidak ingin merepoti Aiden yang sepertinya sedang sibuk itu. Ditengah-tengah mereka mengobrol, suara dering ponsel Dewma berbunyi ia pun melihat siapa yang menelponnya, ternyata itu Aiden. Deema buru-buru mematikan ponselnya dan pura-pura tidak tahu dengan adanya panggilan itu. ''Loh, kok dimatiin? Itu dari Pak Aidenkan?'' Celline sudah tidak terkejut lagi dengan kedekatan antara Aiden dan Deema. Bahkan ketiga temannya itu mendukung penuh hubungan antara Aiden dan Deema. ''Enggak apa-apa gak perlu.'' ''Emmm ... Lo lagi marah ya?'' tanya Celline sambil mencolek-colek dagu Deema. ''Enggak, Celline. Gue cuma gak mau ganggu dia aja. Dia lagi sibuk. Gue takut ngerepotin dia terus.'' Celline yang tadi wajahnya bercanda, kini mulai serius. ''Loh kok gitu? Dia telpon Lo berarti dia peduli dan sayang dong sama Lo.'' Deema melihat ke arah Celline. ''Iya, Gue tau banget kalau dia peduli sama Gue. Tapi ... Gue selalu ngerasa gak enak kalau dia sejauh ini berhubungan sama Gue. Karena apa? Karena Gue ngerasa kalau ... Gue ya gak pantes buat dia.'' Celline menepuk pundak Deema. ''Lo harus bedain mana orang yang tulus dan serius sama Lo. Kalau dia bersikap lebih dekat sama Lo, berarti dia serius dan sayang sama Lo. Ngerti? Lo itu aslinya baik, Deema, Gue tau itu. Lo itu jahat karena Lo gak bisa jaga emosi Lo sendiri. Lo cantik, Lo pinter, Lo punya bakat. Gak pantesnya dimana?'' Deema sedikit terharu mendengar Celline yang memuji dirinya dengan tulus. ''Gitu ya, Cell?'' ''Iyalah! Lo harus perjuangin Pak Aiden. Gue dukung Lo.'' ''Kenapa gitu, kok semangat banget?'' ''Enggak apa-apa. Gue suka aja liat Lo sama Pak Aiden. Buktinya Gue udah liat sikap Lo berubah menjadi baik, pasti ada hubungannya sama Pak Aiden.'' ''Hehehe ... Jadi lebay gini ya ....'' ''Hahaha ... Gak apa-apa, kali-kali. Btw Lo belum cerita jidat Lo kenapa bisa di pasang layar gitu,'' tanya Celline yang hendak memegang jidat Deema yang tertutupi oleh perban. Deema pun menghindar, agar keningnya tidak di sentuh oleh Celline. ''Tadi pagi, Gue ngambil baju di rak bawah. Pas bangun pala Gue kepentok rak bagian atasnya.'' ''Aduh ... Sakit banget pasti. Tapi udah di obatin?'' tanya Celline. ''Udah, kok. Udah pake gel.'' ''Sudah sampai, Non.'' ucap supir Celline yang menginterupsi kegiatan mengobrol mereka. ''A ... Iya, Pak.'' ''Cell, Makasih ya udah nganterin Gue.'' Celline tersenyum manis. ''Iya santai aja. Semangat ya kerjanya. Nanti weekend Gue ke sana bawa adik Gue.'' Deema mengangguk. ''Gue turun duluan ya.'' '''Bye-bye Deema ...'' Deema melambaikan tangannya disaat mobil Celline melaju pergi di hadapannya. Seperti biasa, Deema masuk ke dalam toko. Ada Arin yang tengah membersihkan etalase toko dengan lapnya. ''Siang, Kak Deema,'' sapanya sambil tersenyum. ''Siang, Rin. Pada kemana? Kok sepi.'' ''Ohh ... Itu, seperti biasa Kak Kaila sama Mas Riki beli bahan-bahan kue. Emm, Mbak Nomi ada di atas sendiri lagi buat adonan.'' ''Teman kamu yang laki-laki itu mana?'' ''Lagi antarkan beberapa pesanan, Kak.'' ''Oalah ... Kamu jaga di bawah sendiri enggak apa-apa? '' ''Enggak apa-apa, Kak. Nanti kalau ramai aku pasti butuh bantuan. Kata Kak Kaila kalau Kak Deema datang, di suruh hias mini cake yang udah di sediain di dalam lemari pendingin.'' ''Oke siap. Aku ke atas dulu ya. Semangat kerjanya,'' ucap Deema yang tersenyum sambil mengangkat dan mengepal tangannya. Deema berjalan menuju lantai dua, dari sini ia sudah mendengar suara mesin pembuat kue. Sepertinya Nomi memang benar-benar sedang membuat adonan kue. ''Selamag siang, Mbak.'' ''Hei ... Siang, Deem. Capek ya pulang sekolah.'' Deema tersenyum. ''Enggak kok, Mbak.'' ''Bagus deh kalau masih tetep semangat. Oh iya ... Kak Kaila bilang kamu dekor mini cake ya ... Langsung di masukan ke dalam mika berwarna pink itu. Jangan lupa di kasih pita kecil yang warna kuning.'' ''Iya, Mbak. Arin udah ngasih tau di bawah. Tapi ... Tumben banget sekarang pakai mini cake.'' ''Iya, Kak Kaila mau ikut trend sekarang. Kue itu jadinya yang mini-mini gitu, tapi estetik. Harganya juga murah-murah. '' Deema mengangguk-angguk, ia sambil mengambil bajunya yang ada di dalam tas, untuk berganti pakaian. ''Aku ganti pakaian dulu, Mbak.'' Deema berjalan ke arah toilet untuk mengganti pakaiannya. Tak butuh waktu lama, Deema sudah siap dengan alat tempurnya. Langsung saja ia mengeluarkan banyak sekali kue-kue mini yang ada di dalam lemari pendingin untuk di hias. ''Mbak, ini contoh dekornya dimana?'' ''Kata Kak Kaila. Sesuka kamu aja mau dekor kaya gimana.'' ''Aduh ... Aku jadi bingung sendiri. Yauda, aku buat aja ya. Tapi kalau ada yang salah tolong kasih tau ya, Mbak.'' ''Iya, Deema ....'' Deema terlebih dahulu memilih untuk mengoleskan butter cream berwarna dasar pada semua kue-kue yang akan ia hias nanti. Nomi pun membantu Deema menyiapkan alat dan bahan yang akan Deema gunakan untuk menghias kue. ''Biasannya kue-kue kaya gini itu buat perayaan ngedadak ya, Mbak?'' ''Iya. Kadang orang udah mesen dari jauh-jauh hari. Malah ini sebuah request dari salah satu pembeli Kak Kaila, katanya tolong adain mini cake kaya gini.'' ''Iya, bagus juga sih, Mbak. Aku juga suka.'' ''Mau bikin berapa warna, Deem? Biar aku yang buat.'' ''Emm .. Untuk tema hari ini, tolong buatkan warna cream, peach, pink, hijau muda, cokelat muda dan ... Ungu tua. Aku mau main di semua warna itu. Tentunya warna itu bukan dicampurin di satu kue ya, Mbak. Hahaha ...'' ''Hahaha ... Iya, terserah kamu aja. Aku ngikut kamu. Aku buatin ya.'' Deema semakin nyaman bekerja di sini karena bekerja sama dengan orang-orang yang selalu menghargai pendapatnya. Itulah fungsinya saling mengobrol dan mengetahui keadaan masing-masing agar tidak ada suatu persinggungan di sana. Apalagi di dalam dunia kerja. Deema memulai menghias kue pada pukul 2 siang, dan saat ini jam sudah menunjukan pukul 17:20 Arin menyuruh Deema dan Nomi untuk beristirahat karena itu perintah dari Kaila. Seperti biasa, mereka akan bergantian untuk beristirahat. ''Ada berapa lagi kue, Deem?'' ''Sekitar tujuh lagi. Aku barusan udah buat lima belas kue.'' ''Waw ... Terhitung cepet loh, apalagi bagus-bagus banget warnanya.'' ''Ah, Mbak Nomi ... Aku jadi malu, padahal yang lebih pro di sini Mbak Nomi.'' ''Yaudah ayo, kita makan bakso sore-sore gini enak loh. Aku traktir ....'' Dengan semangat 45, Deema langsung membuka sarung tangan dan sarung kepalanya, membuka apron ia pun langsung menggandeng lengan Nomi. ''Ayo, Mbak kita makan!'' ..... ''Kak Deema sudah sholat?'' tanya Arin yang sedang berada di belakang kasir. Deema baru saja datang bersama Nomi setelah pergi ke kedai bakso untuk mengisi kekosongan perut dan tak lupa mereka pun pergi ke mushola untuk langsung menunaikan shalat maghrib. ''Sudah, Rin. Bareng Mbak Nomi di mushola depan. Kamu mau sholat?'' tanya Deema. ''Iya, Kak, aku belum sholat.'' ''Yaudah, kamu makan terus sholat dulu. Toko biar aku yang jaga. Deema, kamu lanjut hias aja ke atas.'' ''Siap, Mbak Nomi. Aku langsung ke atas ya.'' Deema bejalan ke atas sambil membenarkan ikatan rambutnya yang terasa longgar. Tapi ... Kegiatannya itu terhenti disaat mendengar suara yang ia kenal sedang mengobrol dengan nada yang cukup tinggi. Deema memilih untuk melangkahkan kakinya dengan perlahan, dan sembunyi di balik tembok tangga sebelum ia naik ke lantai dua. Dari sini ia bisa mendengar percakapan Aiden dan Kaila yang sangat serius. ''Kamu pikir hal kaya gitu gak main-main?'' Deema bisa mendengar jika itu suara Kaila. ''Aku gak minta kejadiannya kaya gitu, Kak.'' Deema pun mendengar, jika Aiden menjawab. Ia belum berani keluar dari persembunyiannya, ia ingin mendengarkan semua masalah Aiden dan Kaila secara diam-diam. ''Ayah sudah menjodohkan kalian. Sampai-sampai, wanita itu datang ke rumah bertemu dengan bunda.'' Deema terkejut mendengar hal itu, ia memegang erat pinggiran tangga, agar tak terjatuh. Kakinya sudah terasa lemas mendengar obrolan Aiden dan Kaila. ''Aku gak peduli. Bukan aku yang minta.'' ''Iya, Kakak tau. Tapi kamu harus selesain dulu semuanya. Kaisan ayah, dia gak mungkin harus sekejam itu sama temannya yang tiba-tiba ngebatalin semuanya.'' ''Kak! Ayah yang mulai, kenapa jadi aku sasarannya.'' Deema tersenyum miris mendengar percakapan ini. ''Aku gak mau nyamperin wanita itu, sampai kapan pun.'' ''Kamu pikirkan lagi, bagaimana posisi ayah.'' Deema memberanikan diri untuk kembali melanjutkan jalannya, ia tersenyum ke arah Kaila. ''Selamat malam, Kak, Pak ...'' sapa Deema yang langsung memakai apron dan sarung tangannya. Aiden dan Kaila saling bertatapan. Mereka sangat terkejut dengan kehadiran Deema yang tiba-tiba. ''Ah ... Iya, selamat malam, Deema. Kamu baru datang?'' tanya Kaila berbasa-basi. ''Iya, Kak. Aku baru aja dateng habis makan bakso dan sholat bareng Mbak Nomi.'' ''Aaa ... Bagus deh kalau gitu. Kamu mau lanjut hias kue?'' ''E? Emm ... Iya, Kak. Masih ada sedikit lagi.'' ''Okey ... Kamu bisa sekalian hias cup cake? Hanya untuk pesanan besok, dua box saja.'' Deema mengangguk. ''Bisa, Kak.'' Aiden melihat wajah Deema yang tatapan matanya kosong, senyum yang Deema berikan seperti tidak ada artinya. ''Oke, sebentar ya aku ambil dulu cup cakenya.'' Kaila pergi menuju ruangan sebelah untuk mengambil barang yang akan ia bawa. Aiden yang tahu akan hal itu, berjalan mendekat ke arah Deema, namun Deema dengan cepat menjauhkan sedikit badannya. ''Saya lagi kerja, Pak. Jangan ganggu.'' Aiden mengangkat alisnya. ''Kamu kenapa? Saya telpon gak aktif, dan sekarang bertemu malah seperti ini.'' ''Saya sedang kerja, Pak,'' jawab Deema satu kali lagi. Aiden yang tidak bisa melihat Deema seperti ini, ia pun memegang tangan kekasihnya. ''Ada masalah?'' Dengan cepat, Deema melepaskan genggaman Aiden itu. ''Lepas!'' Mau tak mau, Aiden harus melepasnya. ''Ada apa, Deema?'' Deema menggeleng. ''Kerjaan kamu banyak? Selesaikan saja. Saya juga sedang bekerja.'' Aiden mengusap wajahnya, ia bingung harus bagaimana menghadapi Deema jika seperti ini. Wajah dingin Deema pun tidak seperti biasanya. Pasti ada hal yang tidak beres. Apa ... Deema mendengar percakapannya dengan Kaila tadi? ''Sayang ...'' panggil Aiden dengan sangat lembut, berharap Deema dapat melihat ke arahnya. Seharian ini ia sangat lelah dan kurang tidur. Aiden datang ke sini hanya ingin melihat wajah Deema agar tubuhnya kembali segar lagi, tapi ternyata ... Deema sepertinya sedang marah kepadanya. ''Minggir, Pak. Saya lagi kerja.'' ''Sayang ...'' Aiden kembali memanggil Deema dengan sebuah rengekan yang menggelikan telinga Deema. ''Saya salah?'' tanya Aiden yang tidak tahu dimana letak kesalahannya. ''Enggak. Saya lagi enggak mau di ganggu. Pergi, Pak.'' Di dalam hati Deema bertanya, mengapa Kaila sangat lama sekali mengambil cup cake yang ada di ruangan sebelah? Padahal jaraknya itu sangatlah dekat. ''Sebentar ... Saya cari kesalahan saya dulu, biar saya bisa minta maaf.'' Deema pun terdiam, ia melanjutkan kembali pekerjaannya sambil menunggu ucapan Aiden. ''Emm ... Apa ya?'' Ya ampun, jangan sampai hati Deema luluh karena melihat kelucuan Aiden yang sedang kebingungan itu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya yang akan menyembur. ''Eee ... Ten--tang Pa--gi?'' tanyanya berhati-hati. Benar. Deema menjadi teringat tentang kejadian tadi pagi, dimana dengan asyiknya Aiden bermain basket dengan gerombolan wanita, walaupun di sana ada dirinya, tetap saja, itu adalah hal yang menyebalkan. ''Hmm ...'' ''Tentang tadi pagi?'' tanyanya yang sedikit terkejut. ''Saya minta maaf. Saya enggak tahu.'' ''Oke. Sikahkan pergi. Atau saya lapor Kak Kaila?'' ''Silahkan lapor, saya tidak takut.'' ''Pergi, Pak. Saya masih baik.'' ''Maaf, sayang ... Besok-besok enggak lagi kaya gitu.'' Deema menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa ia melihat Aiden yang merengek seperti ini di depannya. Aiden yang selalu menjaga image di depan orang lain, kini malah merengek meminta maaf di hadapannya. Ah ... Jangan, jangan mengharapkan hal yang berlebih. Deema harus tau batasan, apalagi ... Ia baru saja mendengar jika Aiden sudah di jodohkan. Haha ... Ternyata kebahagiannya tidak akan bertahan lama. Sangat miris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD