26. Setengah Buaya

1856 Words
Deema memoleskan sedikit lipstik di bibirnya, dan memakai bedak tipis agar wajahnya sedikit berwarna. Saat ini ia sedang berada di toilet sekolah, bel pulang sudah di bunyikan beberapa menit yang lalu, dan Deema mendapat pesan dari Aiden, jika Aiden sedang menunggunya di gerbang depan sekolah. Biarlah, sepertinya sebagian warga sekolah sudah tau tentang kedekatan dirinya. Apalagi mendengar ocehan-ocehan murid-murid pagi tadi, yang menggosip tentang dirinya dengan Aiden. Atau bahkan, semua warga sekolah ini sudah tau tentang kedekatan mereka. Secara semua orang tau siapa Deema dan Aiden. Deema yang terkenal akan ketidak sopananya, dan Aiden si guru baru yang sangat tampan. Semua orang sepertinya sudah tau, apalagi kemarin Aiden menghampiri dirinya yang sedang ada di dalam kelas. Lalu, pagi tadi ia turun dari mobil Aiden. Selesai, Deema memasukan lipstik mahal pemberian Aiden itu ke dalam tasnya. Ia pun berjalan untuk keluar gerbang dan mencari dimana mobil Aiden. "Anjir ... Kok masih banyak orang," gumam Deema pelan di saat masih melihat banyak orang. Deema fokus melihat ponselnya untuk kembali menghubungi Aiden, sampai ada satu bahu yang menabrak tangannya, hingga ponselnya terjatuh. "Bit--" Deema menahan sumpah serapahnya karena orang yang menabraknya adalah adik kelasnya. "Lo punya mata liat-liat kalau jalan!" Kesal Deema sambil mengambil ponselnya, untung saja ponselnya tidak apa-apa. Perempuan yang sudah menabraknya itu pun menunduk. "Maaf, Kak ... Aku gak sengaja." "Mata Lo gak sengaja! Jelas-jelas liat Gue segede gini!" Deema masih sangat kesal. "Maaf, Kak ... Maaf ...." "Pergi Lo sono!" Kata Deema lagi. Adik kelasnya itu pun langsung berlari karena takut dengan Deema. "Ada-ada aja yang bikin emosi. Ini lagi, gak bales chat Gue." Deema sangat merasa kesal sekali kali ini. Mungkin karena hormonnya yang sedang tinggi, jadi ia sangat mudah emosi. Tanpa memperdulikan banyak orang di sini, Deema pun berjalan ke arah mobil Aiden yang sudah ada di luar gerbang. Ia pun membuka dan masuk ke dalamnya. Deema tahu, jika banyak pasang mata menatap aneh ke arahnya. "Pergi, Mas ..." Kata Deema dengan nada btnya. "Kamu kira saya mas-mas taksi?" "Pergi, Pak ...." "Kamu kira saya bapak-bapak." "Aish! Dahlah Gue turun aja," kesal Deema yang amarahnya hampir meledak. Hendak membuka pintu mobil, Aiden sudah menguncinya terlebih dahulu. "Iya-iya ini berangkat ... Jangan marah terus, nanti cepet tua." "Hm ... Biarin ...." Saat ini Deema lebih memilih untuk diam, bersandar dan menutup matanya. Ia harus meredamkan emosinya yang selalu meledak-ledak ini. Atau ... Deema harus mengecek darahnya? Siapa tau ia terkena darah tinggi. Tapi ... Kemarin dokter bilang ia mengalami darah rendah. "Kenapa marah-marah terus?" Tanya Aiden dengan nada sabarnya. "Enggak ..." Kata Deema. "Yaudah ... Mau apa?" Tanya Aiden lagi. Mendengar suara Aiden yang sabar dan lembut itu, perlahan amarah Deema tenang. Biasanya jika sedang seperti ini, Deema mengandalkan air hujan yang turun, atau ia mengguyur kepalanya agar pikirannya kembali dingin. Tapi anehnya, suara Aiden yang lembut itu dapat menenangkan hatinya walaupun sedikit. "Aku libur hari ini." "Iya, Kaila sudah bilang kalau kamu libur." "Hm ... Antar aku pulang aja." "Serius mau pulang? Gak mau jalan-jalan dulu? Kamu lagi BT gitu juga." Deema membuka matanya, dan menengok ke arah Aiden. Mengapa Aiden berubah drastis seperti ini? Aiden sangat-sangat baik kepadanya, dan bicaranya pun sangatlah lembut. "Kamu dulu buaya ya?" "Hah? Saya manusia. Masa buaya." "Habisnya ... Kamu gombal terus. Terus ... Kamu juga suka baik-baikin cewek ya ...." Aiden menahan tawanya. "Kamu gak suka aku baik-baikin?" Deema menggeleng. "Enggak. Aku suka kok. Tapi ... Aku aneh ..." Katanya dengan suara kecilnya. "Aneh?" Tanya Aiden. "Kita belum punya hubungan tapi kaya gini." Aiden pun tidak bisa menahan tawanya karena melihat ekspresi Deema yang sangat lucu menggemaskan. "Hahahha ...." "Kok ketawa?" Tanya Deema. "Kamu mau punya hubungan sama saya?" "Ha? Eng--enggak gi-tu maksudnya ... Ya ...." "Kenapa jadi terbata-bata gitu? Malu ya?" "Mas ..." Rengek Deema yang tidak suka di pojokan seperti ini. "Iya ... Iya ... Kita cari waktu yang pas ya. Nanti." Aiden masih sama. Masih terus menunda-nunda waktu. Deema takut, jika mereka terus seperti ini tanpa hubungan, Aiden bisa saja pergi menghilang tanpa kabar, bahkan meninggalkan dirinya yang sudah nyaman. "Emm ... Iya, Mas ..." Kata Deema sedikit tidak enak hati. Lagi pun, Deema merasa dirinya terlalu menuntut Aiden. Padahal Deema tahu sendiri, jika mereka bertemu belum lama ini. "Suara kamu tadi bangus banget," ucap Aiden yang memuji dirinya. "Oh ya? Kamu diem-diem ngikutin aku ya ..." Kata Deema. Moodnya perlahan membaik karena Aiden mengajaknya berbicara. "Enggak, Kok. Saya kebetulan lewat aja. Lagian studionya ada di samping ruangan saya." "Hahaha ... Bohong banget, orang aku liat kamu lagi baca-baca di kertas waktu aku lewat ruangan kamu," ujar Deema sambil tertawa. Aiden jadi ikut tersenyum karena ucapan Deema yang bercampur tawa itu. "Kamu liat saya di ruangan? Saya ketauan ngintipin kamu dong ...." "Tuhkan ... Ketauan. Lain kali kalau mau liat aku nyanyi masuk aja jangan diem di depan jendela, jadi serem liatnya." "Serem apa grogi?" Goda Aiden. "Emm ... Mas maunya apa?" "Maunya kamu." "Ya ampun. Hahaha ... Kamu ternyata gini ya, blak-blakan." "Saya gini gak kesembarang orang." Deema tersenyum kecil. Entah mengapa dirinya merasa beruntung karena di spesialkan oleh Aiden. "Bener nih ... Nanti aku kepedean lagi ...." "Bener, Deema ... Kamu mau hadiah apa? Sayakan janjiin kamu hadiah kemarin." "Kapan, Mas? Aku gak inget." "Waktu kamu di UGD, kan saya bilang kalau kamu makan banyak kamu dapet hadiah." "Oalah ... Aku lupa. Emm ... Enggak perlu deh, Mas. Kamu udah sering aku kasih hadiah." "Bener gak mau hadiah dari saya?" Deema pun menggelengkan kepalanya. "Pemberian kamu kemarin saja udah lebih dari cukup." Aiden pun mengangguk. "Hari Minggu mau ikut saya?" Deema melihat ke arah Aiden. "Hari Minggu? Kemana, Mas? Akukan kerja." "Urusan kerja bisa di atur. Ikut saya ke luar kota mau?" Deema teridam sebentar, hatinya meronta-ronta mendengar ajakan dari Aiden saat ini. Ia senang, sangat senang sekali. Aiden benar-benar mengubah hidupnya menjadi lebih bahagia. "Ke luar kota mau ngapain, Mas?" Tanya Deema. "Urusan pekerjaan." "Nanti aku ganggu kamu lagi," ucap Deema. Aiden menggeleng. "Tidak mengganggu. Saya bosan kalau ke luar kota sendiri. Kamu mau ikut?" Tanya Aiden satu kali lagi. "Kalau aku dapet izin kerja dari Kak Kaila, aku ikut, Mas ...." "Oke. Saya pegang janji kamu." Deema mengangguk. Ia kembali melihat jalanan yang sedang mereka lewati, setelah tadi berbincang dengan Aiden, ia menjadi tidak fokus dengan jalanan. Sampai, Deema tersadar, jika gang menuju rumahnya sudah terlewat. "Loh ... Mas, kok ke sini? Gang rumah aku di sana loh ...." "Kita jalan-jalan sebentar." Deema tersenyum kegelian. "Kamu sebenernya lucu. Terus nyenengin. Tapi ... Mukanya jangan datar-datar gitu, orang jadi takut ngeliat kamu." Aiden tersenyum kecil. "Yang penting tampan." "Dih, kamu kepedean banget sih jadi orang." Obrolan mereka terhenti karena telpon Aiden berbunyi, Aiden meminta bantuan kepada Deema untuk mengangkat telponnya itu. "Tolong di lihat siapa yang telpon." "Dari Bunda, Mas." "Angkat saja." Deema pun menerima panggilan itu, dan menaikan volume agar Aiden bisa mendengarnya. "Assalamualaikum. Bunda ...." "Waalaikumsalam ... Kamu di mana?" "Baru selesai ngajar, Bund. Ada apa?" "Pulang ke rumah ya, ajak Deema juga. Bunda lagi bikin makanan banyak. Lagi bikin kue juga." Aiden melirik ke arah Deema untuk meminta persetujuan, tapi Deema menggelengkan kepalanya. Dan berbicara menggunakan mulutnya tanpa suara, katanya ia tidak ingin ikut. "Iya, Bunda, aku ajak Deema ke sana. Bunda mau nitip apa?" "Bener, ya ... Kamu ajak Deema. Bunda kesepian di rumah. Bunda gak nitip apa-apa. Hati-hati, ya ... Bunda tutup. Assalamualaikum ....." "Waalaikumsalam ...." Deema pun mematikan ponsel Aiden. "Kenapa bilang iya sih, Mas ...." "Biarin. Bunda sendiri yang minta." "Tapi aku masih pake seragam SMA ...." Ia tidak membawa baju ganti sebab Deema rasa dirinya libur bekerja hari ini. "Kamu taukan? Baju Kaila menumpuk satu ruangan. Kamu ambil satupun dia gak tau. Nanti aku pinjamkan." Aiden pun membelokan mobilnya untuk mengganti arah jalan, untuk pulang menuju rumahnya. .... Setelah menit-menit berlalu, akhirnya Deema dan Aiden sampai di rumah saat ini. Aiden turun terlebih dahulu dan membukakan pintu mobil untuk Deema. "Berlagak romantis ya," ucap Deema sambil menahan tawanya. "Cewek lain kalau saya seperti itu langsung nurut, bukan meledek seperti kamu." Deema memajukan bibirnya. "Yaudah, sama cewek lain aja sana," katanya dan mogok berjalan. "Itu perumpamaan, Deema ... Enggak ada cewek lain. Udah, jangan marah ya. Ayo masuk, bunda udah nunggu." Baru saja Aiden berbicara seperti itu, Deema langsung tersenyum dan melanjutkan kembali jalannya. "Makanya, jangan bahasa-bahasa lain." "Kamu yang pancing." "Bukan kok ... Orang kamu yang pancing." "Iya-iya ... Saya yang salah," kata Aiden yang lebih baik mengalah. Namun mengalahnya itu tidak berlaku jika ia berdebat dengan Kaila, kakaknya. Satu asisten rumah tangga membukakan mereka pintu. "Selamat sore, Mas, Mbak ... Sudah di tunggu bunda di dapur." "Tuh. Bunda nunggu kamu, bukan nunggu saya." Deema terdiam. Ia masih malu berada di sini, dan ini kali keduanya ia menginjakkan kaki di rumah mewah ini. Dengan santainya Aiden berjalan ke lantai atas dan meninggalkan dirinya. "Loh, kok diem? Saya ganti pakaian dulu, kamu ke Bunda aja. Atau mau ikut saya ke kamar sa--" Deema menempatkan tangannya di depan Aiden. "Stop. Aku lebih baik ke Bunda," ucapnya. Aiden menahan tawanya. "Iya, silahkan. Bibi, tolong antarkan." "Mari, Mbak." Deema pun merapihkan sedikit dandanannya, untung saja sebelum ke sini ia memakai sedikit make up, jadi wajahnya saat ini tidak terlihat terlalu kusam. "Assalamualaikum, Bunda ..." Sapa Deema disaat melihat Yara tengah berada di depan oven. "Waalaikumsalam, sayang ... Akhirnya datang juga ...." Deema mencium tangan Yara, dan Yara mencium pipi kiri dan kanan Deema secara bergantian. "Bunda kangen banget sama kamu, makanya suruh Aiden bawa kamu ke sini," ucap Yara dan membawa Deema untuk duduk di kursi pantry. "Iya, tadi pak Aiden bilang kalau Bunda ngajak aku buat ke rumah." "Iya, kamu sering-sering ke sini. Jangan cuma di ajak aja. Kalau bisa tinggal di sini. Hahaha ...." "Aduh, Bunda ... Kalau tinggal di sini gimana urusannya." "Habisnya Bunda kesepian, Kaila sibuk di tokonya, dan Bunda cuma diem di rumah seperti ini. Bunda ajak kamu ke sini karena tau kalau kamu libur kerja, Kaila yang bilang." "Oh ya? Kak Kaila yang bilang?" "Iya," ucap Yara. Deema melihat banyak sekali dessert yang sedang di buat oleh Yara. "Bunda ini buat apa? Mau ada acara?" Tanya Deema. "Ini, buat besok. Ada santunan anak yatim di masjid depan katanya. Bunda mau bikin ini. Kalau pesen ke Kaila, dia gak sanggup, kebanyakan katanya. Ya sudah Bunda bikin sendiri." "Bunda bikin sebanyak ini? Enggak capek, Bund?" Tanya Deema. "Di bantu sama bibi juga." "Deema bantu hias ya. Kayanya itu belum di kasih butter cream ya?" "Aduh. Kamu tau banget, Bunda juga gak jago hias. Kamu mau bantu?" "Mau dong, kenapa enggak, Bund." "Tapi, nanti Aiden marah gimana?" "Ha? Enggak mungkin marah dong, Bunda ... Masa marah," kata Deema sambil tersenyum. Yara pun mengajak Deema untuk duduk di meja makan yang sudah terisi oleh kue-kue kecil yang harus di hias. "Bunda sudah buat butter creamnya, Bunda pasrahkan sama kamu." "Siap, Bunda. Aku hias apa aja ya." Deema pun melipat sweaternya agar tidak terkena kue. Ia mulai menghias kue-kue kecil itu menggunakan bahan-bahan yang sudah di sediakan oleh Yara. Deema mengesampingkan rasa lelahnya. Ia ingin membantu Yara, sekaligus rasa untuk mengucapkan terima kasihnya karena sudah menerima Deema dengan baik-baik. Ini, benar-benar ciri calon mertua idaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD