27. Perbincangan dari hati

2054 Words
Waktu terus berjalan, sambil bercerita, tertawa, dan membicarakan hal serius sampai tidak serius, sudah mereka lakukan. Deema dan Yara di bantu dua orang asisten rumah tangganya, saat ini tengah memasukan kue-kue ini ke dalam box. Dan akan di simpan di suhu ruangan agar tetap terjaga.  Yara membuat kue box ini kurang lebih sebanyak 500 box, tak hanya kue box ini, ia pun memesan catering untuk makanan utama.  "Acaranya besok jam berapa Bunda?" Tanya Aiden yang datang kembali ke ruang makan ini. Sedari tadi, manusia yang satu ini terus mondar mandir dari meja makan ke kamarnya.  "Besok jam delapan, Nak. Kamu ngajar ya?" Aiden mengangguk. "Iya, besok jadwalku full, Bund." Yara mengangguk. "Tidak apa-apa ... Nanti juga ada yang bantu." Diam-diam Deema memperhatikan interaksi keduanya. Sampai, mata Aiden dan Deema bertemu tak sengaja. Deema pun cepat-cepat mengalihkan perhatiannya dan kembali membungkus kue-kue itu.  "Istirahat kalau capek," kata Aiden yang sekarang menghampiri Deema, dan duduk di sebelahnya untuk membantu.  "Iya, Pak nanti aja," kata Deema. Yara melihat itu menahan senyumnya. "Aiden cocok ya di panggil pak," kata Yara.  Aiden yang sedang menyusun kue-kue di dalam box itu pun melihat ke arah Yara. "Dia susah, Bund kalau di kasih tau." Kini Aiden melirik Deema sekilas.  Deema yang sedang di bicarakan itu, melihat ke arah Aiden, sambil mengangkat alisnya. "Ini bukan sekolah, panggil aja seperti biasa," ucap Aiden.  "Aa? Emm ... Iya, Mas ..." Kata Deema sedikit malu-malu.  "Bunda liat kalian gemes banget sih ... Jadi inget masa muda ... Aiden itu sama kaya ayahnya, posesif, keras kepala, dan harus di turuti. Kamu harus banyak sabar-sabar ya ...." Deema bisa merasakan vibesnya saat ini sudah seperti seorang mantu yang sedang berhadapan dengan mertuanya. Padahal ... Yara harusnya tau, jika mereka memang tidak memiliki hubungan apa-apa.  "Iya, Bunda. Mas Aiden juga sok keren," ucap Deema.  Yara pun tertawa. "Hahahaha ... Oh ya? Aiden seperti itu? Ya ampun ... Kepedean juga ya kamu ...." "Memang keren, Bund," katanya dengan santai.  Melihat wajah Aiden yang sangat damai dan santai itu, ingin sekali Deema meremas wajahnya hingga menjadi seperti gumpalan koran.  "Jangan di liatin terus, nanti kamu naksir saya." "Tuhkan, Bund. Dia kepedean banget ya?" Yara sudah tertawa terbahak-bahak, melihat kelucuan anaknya dan Deema. Yara bisa menerima Deema dengan baik, karena ia bisa melihat jika Deema adalah perempuan cantik dan pekerja keras, tak lupa Deema pun memiliki sopan santun. "Udah mau Maghrib, ini sekitar ada empat puluh kotak lagi. Bi, bisa di lanjut?" Tanya Yara.  Kedua asisten rumah tangganya itu pun mengangguk. "Saya mau siap-siap shalat dulu. Deema, kamu belum ganti baju ya, ayo ikut Bunda." Deema melirik sebentar ke arah Aiden, untuk meminta pendapatnya, ia ikut dengan Yara atau tidak. Aiden yang tahu tatapan itu pun, ia mengangguk. "Ikuti Bunda saja," ucapnya.  "Iya, Mas." Deema mengikuti kemana Yara pergi. Yara mengajaknya ke sebuah kamar, yang sepertinya ini adalah kamar tamu. "Ini, Nak. Di dalam lemari itu ada beberapa baju perempuan. Kamu pilih aja yang mana yang mau di pakai." "Tapi, Bunda, ini kamar orang." Yara mengusap rambut Deema. "Ini kamar tamu, kamu pilih saja bajunya. Bunda tunggu di mushola ya ...." "Bunda, aku lagi dapet bulanan," ucap Deema dengan sedikit ragu.  "Oh ya ampun, Bunda enggak tahu. Yauda kamu ganti saja, pembalut juga di lemari itu ada kalau tidak salah. Bunda ke atas dulu ya ...." Deema mengangguk, ia pun masuk ke dalam kamar tamu itu, dan tak lupa untuk mengunci pintunya. Kamar tamu di rumah ini sangatlah luas.  Deema berjalan ke arah lemari yang besar ini. Ketika membuka lemari itu, ternyata benar, di sini ada banyak baju, baik baju laki-laki maupun perempuan. Ada satu baju yang menarik perhatiannya, outer dress yang memiliki tali spaghetti, berwarna hitam. Yang akan ia padukan dengan kaus panjang berwarna pink muda.  Deema pun berjalan ke arah toilet dan mengganti pakaiannya. Selesai, tak lupa ia pun bercermin untuk melihat penampilan dirinya kali ini. Takut jika ada yang aneh maupun kurang sopan. Baju ini panjang dan tertutup, Deema pun mengikat rambutnya, dan menyisakan anak rambutnya agar terkesan lebih santai.  Ia ragu untuk keluar dari kamar ini atau tidak, karena Deema sudah mendengar adzan Magrib, dan sepertinya Aiden, bunda dan ayahnya sedang berada di mushola.  Deema memilih untuk keluar dan berjalan menuju meja makan. Ternyata masih ada bibi yang tengah mengerjakan bungkusan kue itu. Deema pun kembali membantu, dari pada tidak ada kegiatan. "Masih belum selesai, Bi?" Tanya Deema. "Belum, Mbak. Ini masih banyak." "Iya, aku bantu lagi aja." "Eh, jangan, Mbak. Nanti kecapean." Deema tersenyum. "Enggak apa-apa kok, Bi. Aku sudah biasa bekerja," ucapnya dengan senyum ramahnya.  "Masyaallah ... Mas Aiden gak salah pilih calon yang seperti Mbak. Udah baik, cantik pula." Deema tersenyum. "Bibi bisa aja ...." ... Malam harinya, selesai makan malam, Deema di ajak oleh Aiden untuk duduk di pinggir kolam renang. Mereka sama-sama mencelupkan setengah kakinya ke dalam kolam, dan menikmati udara malam yang sangat damai ini.  Aiden merasa, ini baru pertama kalinya ia mengajak perempuan datang ke rumah, dan kedekatan mereka senyaman ini. Aiden baru merasakan itu di dalam hidupnya.  Lampu-lampu taman yang ada di rumah Aiden ini sangatlah cantik, sehingga menemani malam mereka dengan keindahan itu.  "Kamu dari kecil sudah bisa menyanyi?"  Deema mengangguk. "Dari lahir kayanya udah ditakdirkan punya suara seindah ini. Hahaha ...." Aiden ikut tersenyum. "Iya, indah banget." Deema melihat ke arah Aiden. "Gak usah kepaksa gitu ngomongnya ...." "Enggak, kok. Enggak kepaksa." Mereka pun kembali terdiam. Deema berusaha mencari topik obrolan mereka agar acara 'pendekatan' mereka malam ini berhasil.  "Mas, aku kok gak liat kamu suka pergi ke kantor sih?" Tanya Deema yang sedikit penasaran.  "Eh, pertanyaan aku ngusik pribadi kamu ya? Maaf, hehehe ...." Aiden tersenyum. "Kamu kepo?" Deema menggeleng. "Ha? Eng--enggak, kok ...." "Itu kepo ...." "Hmmm ... Yauda kalau gak mau jawab." "Hahaha ... Jangan marah gitu dong. Kantor guru maksudnya? Saya setiap hari masuk ke sana kok." Deema memutar bola matanya malas. Ia pun lebih baik meminum teh hangatnya untuk meredakan emosinya yang akan meledak sebentar lagi.  "Terserah, Mas aja. Aku diem." "Kalau udah jadi istri, aku bawa kamu ke atas," gumam Aiden kecil sampai-sampai Deema kurang mendengar. "Hah? Kamu ngomong apa tadi? Hah? Istri? Ke atas? Gimana maksudnya?" "Budek." "Ih. Bikin BT ..." Rengek Deema yang menggoyang-goyangkan kakinya. Sampai-sampai ... Ia hendak terjatuh, ke dalam kolam renang sedalam 1,5 meter itu.  "Mas!" Untung saja, dengan sigap, Aiden menahan tubuh Deema agar tidak tenggelam.  "Astagfirullah ... Huft ...." Aiden sudah memasang wajah galaknya. Tapi, ia masih memegang lengan Deema. "Di bilang jangan pecicilan. Susah. Kalau jatuh gimana? Memangnya kamu bisa berenang?" Deema pun terdiam, karena baru mendengar Aiden sedikit membentak dirinya. Saat ini ia menunduk, dan tak berani menatap Aiden.  Aiden yang merasakan perubahan ekspresi Deema, ia pun mengusap lengan Deema yang masih ia pegang. "Maaf, saya gak bermaksud bentak kamu. Saya cuma takut kamu tenggelam." "Pindah ke atas, kita duduk aja." Deema hanya mengangguk, dan menuruti semua ucapan Aiden. Dengan wajah hangatnya, Aiden mengeringkan kakinya dan kaki Deema dengan handuk, lalu mereka pun duduk di sebuah ayunan berbentuk katak yang lumayan besar.  "Jangan marah ... Saya bukan bentak kamu." Deema masih menunduk. Hatinya berdebar terkejut karena Aiden berbicara dengan nada tinggi kepadanya. "Maaf ya ..." Kini Aiden merendahkan tubuhnya di hadapan Deema.  "Deema?"  Deema melirik ke arah Aiden. "Maaf ya ...." "Ah ... So sweet banget sih doi Gue ... Jadi gak sabar pengen di halalin. UPS ....' "Pfttt ..." Deema menahan tawanya yang akan menyembur.  Aiden yang tahu dirinya di kerjai oleh Deema, ia langsung berdiri dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gak lucu." Katanya.  "Ih, kok kamu yang marah sih ...." "Gak lucu," ucap Aiden lagi.  "Yaudah ... Kamu juga gak lucu," ucap Deema yang kembali merasa kesal. Akhirnya, Aiden memilih untuk duduk di samping Deema. "Udah ya ... Baikan." Aiden memberikan jari kelingkingnya.  "Baikan?" Tanya Aiden lagi. Deema pun tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan Aiden. "Nah gitu ...." "Mas ...." "Hm?"  "Eh, enggak jadi deh ..." Kata Deema.  Aiden pun mengangguk. "Mau dengar cerita saya?"  "Boleh ... Cerita apa? Pasti seru ...." "Bukan cerita sih. Tapi tadi kamu nanya sayakan, kamu bilang kapan saya pergi ke kantor." Deema mengangguk. Aiden mulai menceritakan tentang dirinya yang tidak ingin bekerja menggantikan Papanya. Ia ingin mengejar cita-citanya untuk menjadi guru. Untung saja, kedua orangtuanya itu mengerti, tetapi di samping itu, Aiden masih memegang satu anak perusahaan yang ia kelola. Bagaimanapun, Aiden masih ingin menghargai hasil kerja keras ayahnya selama ini.  "Mas gak capek?" Tanya Deema. "Dulu capek. Pulang ngajar, terus ngerjain urusan kantor. Bahkan lagi ngajar pun, saya masih ngurusin kantor." "Kalau sekarang?" Aiden menggeleng. "Sekarang enggak capek. Ada kamu soalnya, bikin saya ketawa terus. Jadi enggak stress ...." "Yeu ... Nonton aja film lawak. Kamu juga bisa ketawa. Kenapa harus aku?" Aiden berpikir sebentar. "Emm ...." Ia pun mulai menjawab. "Saya juga enggak tau kenapa. Saya suka aja gitu, waktu pertama kali ketemu kamu." "Cie ... Langsung suka ya sama aku ...." "Suka? Saya gak tau gimana rasa suka." Deema memajukan bibirnya. "Ish. Gak asik banget." "Tapi saya nyaman di deket kamu." Seketika, jantung Deema berdetak sangat kencang. Aiden selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar kesenangan seperti ini. Apakah Aiden tidak tahu bagaimana rasanya merasakan jantung yang berdebar seperti ini?  'Tembak ... Tembak ... Tembak ... Gantung aja terus hubungan Gue." "Iya, Mas gombal. Hahaha ...." Mereka pun menjadi tertawa.  "Berarti, kamu kalau ngurusin kerjaan kantor itu malam?" Tanya Deema.  Aiden mengangguk, membenarkan pertanyaan Deema. "Kamu gak capek, Mas? Ya ampun ... Berarti aku ganggu kamu dong." "Enggak, saya sudah bisa membagi waktu. Kalau saya lagi stress saya males ngerjain pekerjaan saya." Deema pun mengangguk-anggukan kepalanya. "Ohhh ...." Deema baru mengerti, pantas saja Aiden suka menghambur-hamburkan uangnya. Karena pastinya, setiap bulan, bahkan hari, atau bahkan detik, pasti ada uang yang mengalir ke dalam kartunya.  Deema tidak bisa membayangkan nanti, ketika ia sudah menjadi pendamping hidup Aiden. Membayangkannya saja, sudah membuat Deema bahagia. Apalagi itu semua terjadi?  Ah, jangan terlalu berpikir lebih seperti itu. Hati manusia gampang berubah-ubah. Lagipun, keluarga Aiden belum tau, bagaima kondiri keluarga Deema yang sebenarnya. Mustahil sekali jika orang kaya raya seperti Aiden ini, keluarganya akan menyetujui hubungan mereka. Walaupun kedua orang tua Aiden baik, tapi ... Mereka belum tahu kondisi Deema yang sebenarnya.. Deema menggelengkan kepalanya. Membuang semua bayangan-bayangan yang ada di pikirannya.  "Mau saya antar pulang? Sudah malam," kata Aiden yang melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 9 malam.  Tanpa ragu, Deema pun mengangguk. "Iya, Mas. Sebentar, aku ambil tas dulu." Aiden pun berjalan di belakang Deema. Deema mengambil tasnya yang berada di kamar tamu. Ia pun kembali keluar dan mendapati Aiden yang sudah memegang kunci mobilnya.  "Bunda mana, Mas?" Tanya Deema. "Bunda udah tidur kayanya. Ayo langsung pulang aja." "Aku harus pamitan. Gak sopan kalau langsung pulang." "Yasudah, sebentar, saya panggil dulu." Deema menunggu Aiden kembali datang dari kamar orang tuanya. Dan tak lama, Yara pun datang bersama dengan Aiden.  "Bunda ... Aku pamit pulang ya ..." Ucap Deema sambil mencium tangan Yara.  "Kamu gak nginep aja?" Tanya Yara. Deema tersenyum. "Aku harus sekolah besok, Bunda ... Maaf ya sudah merepotkan." "Tidak merepotkan sama sekali. Terimakasih sudah membantu." "Iya, Bunda ...." "Aiden antar Deema dulu, Bund." "Iya, hati-hati, Nak ...." "Ayo." Aiden mengajak Deema untuk keluar rumah.  Ternyata mobilnya sudah di sediakan di depan rumah. Aiden pun membukakan pintu untuk Deema. "Makasih, Mas ...." Aiden pun mengendarai mobilnya untuk mengantarkan Deema.  Hari yang cukup baik, kata hati Deema. Akhirnya Deema bisa merasakan kesehariannya yang selalu di isi oleh hal-hal baik. Serta ucapan-ucapan baik pula. "Kalau ada yang gosipin kamu di sekolah. Udah diem aja. Enggak perlu di balas. Okey?" Deema mengangguk. "Iya, Mas."  "Eh. Tapi gak janji ya. Kalau aku lagi emosi beda lagi alur ceritanya." "Di kurangi emosinya. Inget, jangan nyakitin hati orang lain." Deema terdiam dengan ucapan Aiden. Aiden melirik sekilas ke arah Deema. Sepertinya ucapannya kali ini salah lagi. "Saya bukan menyalahkan kamu, ataupun mengatur hidup kamu. Tapi ... Saya hanya menasehati kamu. Mau kamu dengarkan atau tidak, itu hak kamu." "Iya, Mas ..." Mungkin seperti ini kali ya, resiko memiliki kekasih yang lebih tua dan dewasa darinya.  Sebentar-sebentar ... Kekasih? Sudahlah ... Anggap saja seperti itu.  "Maaf ya, aku terlalu kekanak-kanakan ...." "Tidak perlu minta maaf. Kamu memang masih kanak-kanak ...." Deema memukul pelan lengan kiri Aiden. "Ish! Enggak tau." "Iya. Wle ...." Deema tertawa melihat ekspresi Aiden yang sangat menggemaskan itu. Akhirnya ... Hari-harinya terasa lebih indah dari kemarin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD